Dalam buku Sartono tadi ada diceritakan suatu "saat dramatik" ketika Rifangi berdebat, di depan umum, tentang agama, dengan seorang penghulu. Ia "kalah". Kita tidak tahu bagaimana isi debat besar itu, dan bagaimana ia kalah. Tapi, yang pasti, Rifangi tetap meyakini pandangannya, hingga akhirnya melahirkan hasil positif: berkembangnya "Rifangiisme" yang gigih mencoba mensterilkan ruang sejarah ketika mengarungi waktu.
***
BENANG merah dari "ilmu Gus Dur", dissenters, dan kondisi aktual dari nasib timnas Garuda di Piala AFF tadi, cukup nyata untuk dibentangkan di sini. Dari Gus Dur, ada satu pelajaran bahwa protes itu tidak akan ada artinya apa-apa kalau malah membuat kita lupa pada apa yang seharusnya kita lakukan, sekaligus meliburkan alat pikir untuk menciptakan hal baru sebagai teladan. Dari kaum dissenters, ada buah yang bisa dinikmati bahwa kita memang tidak boleh membiarkan sebuah ketidakpuasan di hati, lalu -- sebagaimana Haji Rifangi -- siap menanggung segala risiko dari kebenaran yang tengah diperjuangkannya dengan menyuguhkan bukti-bukti nyata.
Dalam konteks timnas di Bukit Jalil kemarin, nyata benar bahwa protes yang dilayangkan itu sama sekali bukan bagian dari "strategi". Terbukti, aksi protes itu bukannya meruntuhkan konsentrasi pemain-pemain Malaysia (yang justru makin termotivasi), tapi malah melahirkan situasi antiklimaks di tubuh Laskar Garuda sendiri. Pemahaman dan pemanfaatan yang akurat terhadap makna "protes" pun, ternyata, memang bukan soal kecil dan mudah. Butuh proses pendewasaan dan pematangan tersendiri...
* Yukie H. Rushdie, kolumnis dan eseis, tinggal di Bandung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H