Itulah mengapa putra sulung beliau, Gus Kafi berwajah rupawan. Gurat ketampanan Abah Fatah rupanya nitis padanya. Tak heran dari awal puasa ramadan, ia selalu menjadi topik utama perbincangan di kamar.
Tak terasa sudah dua minggu kami menjadi santri posonan. Entah bagaimana awalnya, dan siapa yang memulainya. Aku sering dibuat bahan candaan teman-teman, dijodoh-jodohkan dengan Gus Kafi.
Mungkin saja karena Abah Fatah sering memintaku memimpin membaca asmaul husna di awal pengajian. Karena tahu aku juga seorang santri tahfidz, beliau memintaku mengisi waktu luang untuk khataman alqur'an bil-ghoib.
"Cieee, Ima ... Gus Kafi lagi bersih-bersih kamar tuh. Sana bantuin!" Canda Hanik ketika kami sibuk mempersiapkan menu buka puasa di ruang tengah. Dari arah kamar Gus Kafi, memang terdengar bunyi-bunyian semacam kasur sedang dipukul-pukul.
"Nggak usah dibantuin. Kan Tuan Putri Syaima disuruh masuk kalau sudah bersih," timpal Nada dan disusul gelak tawa diantara kami.
"Ssst ... Jangan ngomong sembarangan. Nanti kalau Abah Fatah dengar gimana ?" Sahutku dengan nada khawatir. Tapi mereka tetap saja melancarkan gosip yang tak jelas sumber dan ujungnya ini.
Sampai suatu ketika lampu-lampu di musola tempat kami biasa mengaji bermasalah. Aku yang tak tahu menahu soal dilarang terlebih dahulu masuk ruangan luas itu, dengan santainya menuju ke dalam musola hendak meletakkan mushaf di lemari kaca dekat pintu. Lalu sebuah suara mengagetkanku. Membuatku terpaku.
"Lampu yang mana lagi yang mati ?"
Spontan aku mendongak dan kudapati Gus Kafi sedang berdiri di tangga lipat dekat pintu di mana aku berdiri.
Sejenak aku tercenung dan sedikit grogi. Lalu dengan asal menunjuk lampu neon yang terletak di sebelah kepala Gus Kafi. Betapa malunya aku ketika tahu lampu itu sudah menyala.
"Oh, berarti sudah tidak ada lagi lampu yang rusak, Gus," ucapku kikuk.