Tak sedikit orang-orang yang mendukung revisi KPK mengaduk-aduk pemikiran dan logika masyarakat Indonesia. Mulai dari sang menteri Yasona Laoly sampai dengan Profesor Romli Artasasmita.
Orang-orang "pintar" ini biasanya menunjuk orang yang berseberangan, yang notabene mahasiswa dan pegiat anti korupsi, sebagai seolah orang-orang bodoh, tidak mengerti. Bahkan disaat lain mereka menuduh belum membaca (isi revisi UUKPK).
Atau jurus lain dengan merendahkan kapasitas atau kapabilitas mereka, dengan menunjuk posisi seperti "Emang saya dan anggota DPR itu orang-orang yang bodoh?". Disaat lain menunjuk lawan dengan kata-kata yang berkonotasi lebih rendah seperti "adik saya", "murid saya dulu", dsb.
Strategi perang yang jika didalam dokumen "Psychological warfare" ala CIA ada dibawah bab "Implicit and explicit terror", MEMPERMALUKAN, MENGEJEK, MENGHINA pribadi seseorang. Mengurangi pengaruh seseorang dengan menunjuk kelemahannya.
- Shame, ridicule and humiliate the "personal symbols"...
- Reduce the influence of individuals in tune with the ..., pointing out their weaknesses
Strategi yang biasa digunakan ini merupakan teror psikologi untuk memenangkan peperangan. Dengan ini seolah-olah perdebatan selanjutnya tidak perlu karena lawan sudah kalah.
Inilah salah satu strategi yang biasa digunakan, dan cukup efektif saya kira, disaat masyarakat kita yang tak terbiasa dengan berfikir kritis dan memuja kedudukan UNTUK MENGALIHKAN PERSOALAN DARI SUBSTANSI MASALAH.Â
Strategi lain yang biasa digunakan adalah "penggelinciran" dan juga menggunakan "argumen yang tidak 'apel to apel' atau relevan" dan juga "penyembunyian" argumen atau fakta yang dibutuhkan.
Sebagai contoh, saat seorang Masinton mengambil hasil jajak pendapat bahwa hasilnya masyarakat mendukung revisi UUKPK. Akan tetapi ketika kita kritisi, jajak pendapat tersebut dilakukan sebelum DPR membahas apa isi revisi tersebut.
Penyembunyian akan fakta bahwa yang dijajak adalah soal perlu tidaknya revisi, bukan soal isi revisi. Disini terjadi penyembunyian fakta, sekaligus penipuan bahwa seolah jajak pendapat tersebut menyetujui keseluruhan revisi baik kepentingannya maupun isinya.
Argumen yang tak relevan (apel to apel) juga pernah digunakan oleh seorang Fahry hamzah, ketika dia tidak setuju dengan OTT. Ia menuduh seolah ott itu sama dengan menuduh bahwa orang Indonesia itu bangsa pencuri.