Revisi UU KPK, "Buruk muka cermin dibelah".
Upaya revisi UU KPK yang dilakukan oleh DPR dengan persetujuan pemerintahan Jokowi kali ini ibarat "buruk muka cermin dibelah".
Masyarakat pun terheran-heran dengan apa yang dilakukan Jokowi, Presiden yang santer mendengungkan revolusi mental itu ternyata, seolah mengiyakan apa yang dikatakan DPR bahwa KPK menjadi biang kerok tidak datangnya para investor, walau Jokowi sudah berkoar-koar kesana kemari mengundang mereka.
Alasan yang sering dipakai adalah begitu maraknya OTT yang dilakukan KPK, baik pada anggota DPR maupun pejabat dilingkungan pemerintah. Merasa seolah betapa buruknya diri mereka, hingga sudah tak punya wibawa, membuat investor ogah datang, begitu mungkin alur berfikirnya.
Tak sampai disitu, sang anggota DPR yang juga menjabat sebagai salah satu wakil ketua, banyak sekali menyudutkan KPK dengan retorikanya sendiri untuk menggalang opini. Seperti pada kicauannya, ia membuat polling seolah KPK menuding bangsa Indonesia punya bibit pencuri, sedangkan dia menuding KPK telah gagal secara sistem. **)
Apakah anda percaya bahwa bangsa Indonesia memang punya bibit pencuri...terutama para pejabat atau ini soal kegagalan sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi oleh KPK dan pemerintah?:--- #ArahBaru2019 (@Fahrihamzah) November 29, 2018
Sebuah upaya yang terbaca sekali sebagai nalar pincang yang tidak sehat, namun diwacanakan sebagai sebuah kebenaran. Seorang yang sedang menipu diri, dengan mencoba membodohi orang lain.
Ibarat sebuah kampung yang penuh maling, namun kepala kampungnya menyalahkan petugas yang menangkapi warganya karena kampungnya jadi tercemar. Sungguh ironis.
Pertanyaan sederhananya, "Lalu kerjaan dia apa ?"Â
Lebih mengherankan lagi, seorang presiden pun seolah turut mengamini karakter seperti ini. Apalagi yang bisa diharapkan jika garda terakhir, harapan rakyat melalui Pemilu yang dramatis dan membawa banyak korban, pun bersikap seolah menutup mata.Â
Dalam banyak kesempatan sering kita jumpai, sang Presiden ini suka menggunakan "Kita serahkan kepada koridor hukum yang berlaku". Â Sebuah kalimat normatif yang menunjukkan sikap yang sangat "ignorance", seolah tidak terjadi masalah didalam diri(baca: pemerintahan)nya.Â
Seolah kegelisahan rakyat, seolah gaung genderang reformasi, hanyalah angin lalu belaka. Setali tiga uang dengan sang anggota dewan, adalah orang yang tidak mau mengoreksi diri dengan merasa sikapnya sudah benar, orang lainlah yang bersalah.
Rupanya pelajaran bahasa kita sangat keren ya. Peribahasa "Gajah dipelupuk mata tak nampak, sedangkan semut diseberang lautan nampak" pun masih berlaku bagi para petinggi negeri ini.Â
Peribahasa yang dijulukkan bagi orang yang tak mau mengoreksi diri, lebih suka menunjuk kesalahan orang lain. Sungguh memalukan dan hina sesungguhnya jika peribahasa itu dialamatkan kepada orang-orang ditempat terhormat itu.
Tapi apa mau dikata, bangsa ini seolah sudah lama kehilangan rasa malu, sudah tak kenal lagi harga diri. Sudah lama kita menjadi bangsa murahan. Tak punya harga diri dan integritas.
Dengan mental karakter murahan, bagaimana kita berharap tamu yang terhormat akan datang. Yang ada orang akan pergi menjauh. Tanpa merengek kesana-kemaripun jika Anda seorang yang berkarakter dan berintegritas, orang akan mendatangi Anda tanpa diundang.
Hari ini, sang anggota Dewan mungkin sedang senang gembira, karena dendamnya seolah terbayarkan melalui Revisi UU KPK. Tetapi sangat kasihan, jika karena hasrat dan kesombongan itu, ia juga harus menanggung dosa atas uang-uang haram yang mengalir deras karenanya.
Semoga tulisan ini bisa menjadi cermin bagi kita. Semoga pula, kita masih terus berjuang menjadikan bangsa ini bangsa yang berkarakter, berintegritas, bangsa yang terhormat didepan bangsa-bangsa lain.
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H