Akan tetapi, tak sampai enam bulan setelah peristiwa tersebut, terlihat kesibukan tukang membangun ruko di tanah yang dimaksud. Orang yang pernah mengatakan pemilik bodoh tersenyum sinis. "Ternyata mau juga dia menjual tanahnya", kata orang yang mencemooh.Â
Anggapan orang itu salah. Pemilik tidak menjual tanahnya. Investor menawarkan kerjasama untuk membangun ruko. Aturan mainnya (setelah negosiasi yang cukup alot) menyimpulkan bahwa investor akan membangun ruko sebanyak tiga petak (sesuai dengan luas tanah) ditambah uang terimakasih Rp. 100 juta. Tiga petak ruko dibagi dua. Harga satu petak ruko bernilai Rp. 600 juta. Investor membeli setengah ruko pemilik seharga Rp. 300 juta. Akhirnya pemilik memiliki aset satu petak ruko seharga Rp. 600 juta ditambah uang kontan sebanyak Rp. 400 juta hasil dari penjualan setengah petak ruko seharga Rp. 300 juta dan uang terimakasih Rp. 100 juta. Aset sang pemilik menjadi Rp. 1 Milyar. Dengan uang kontan Rp. 400 juta pemilik bisa memulai usaha di rukonya. Kalau pemilik tidak mampu membangun usaha, dia bisa menyewakan rukonya dengan nilai tidak kurang dari Rp. 20 juta sebulan.
Upaya ini merupakan murni upaya pemilik lahan tanpa ada campurtangan pemerintah. Bisa kita sebut sebagai Insiatif Rakyat Kecil (IRK). Ketika saya berkunjung di Padang Aro, Kabupaten Solok Selatan, juga ditemui pola IRK ini. Di beberapa tempat di Sumatera Barat, pola ini telah berkembang dengan baik. Investor dapat kesempatan mengembangkan usaha dan kepemilikan tanah rakyat tidak hilang percuma walaupun luasnya berkurang akan tetapi nilai dan dayaguna semakin meningkat. Yang lebih penting, rakyat dapat kesempatan membangun usaha atau sumber pendapatan untuk mendukung kehidupan.
Catatan Penutup
Pola IRK dapat menjadi salah satu acuan dalam mengundang investor untuk meningkatkan nilai tambah tanah ulayat. Pemerintah dapat menyusun peraturan daerah yang menguntungkan investor dan Datuak beserta kemenakannya. Hal ini tak lepas dari prinsip bahwa eksistensi Datuak di Minangkabau berada di atas keberadaan tanah ulayat. Tanah ulayat merupakan media menyambung silaturrahim Datuak dengan kemenakannya. Juga media silaturrahim Datuak dengan masyarakat salingka nagari. Hutan ulayat menghasilkan air yang dapat menghidupi sawah kemenakan dan masyarakat. Kemenakan tidak akan berani panen sebelum kehadiran Datuak yang dicintainya walaupun sang Datuak tidak turun ke sawah. Bila musim buah-buahan seperti durian, manggis, jengkol, petai, rambutan di tanah ulayat, hasil panen terbaik dikirimkan untuk keluarga Datuak.
Dengan tanah ulayat seorang Datuak memimpin kemenakannya. Dengan tanah ulayat, Datuak duduk sama rendah tegak sama tinggi dengan investor. Dengan tanah ulayat, Datuak bersama investor dan pemerintah membangun nagari dengan meningkatkan nilai tambah tanah ulayat. Bila tanah ulayat sudah hilang maka silaturrahim Datuak dengan kemenakannya bahkan dengan masyarakat habis terkikis. Datuak yang tidak memiliki tanah ulayat tidak memiliki tanah tempat mencekamkan kakinya. Wallahualam (Yuhirman, Direktur LPKM (Lembaga Pengembangan Kawasan dan Masyarakat)
Tulisan ini sudah diterbitkan pada Padang Ekpres, 3 Oktober 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H