Membaca tulisan GM tentang anak wanitanya yang L hadirkan beribu pemikiran di otak saya. Saya membaca tulisan tersebut dari share-an teman saya yang juga seorang L. Ada airmata, bagi teman saya selesai membaca tulisan tersebut. Mungkin karena penerimaan seperti itu adalah suatu keadaan yang dia harapkan dari keluarga, terutama ayahnya. Saya tidak terlalu akrab dengannya, namun cukup tahu bagaimana perjuangannya, setidaknya sampai beberapa tahun terakhir saat kami masih sama-sama mengecap ilmu di Jatinangor sana. Kebetulan saja, dia suka bergabung dengan kelompok saya -setiap ada tugas kelompok- dan suka ikut kalau kami nongkrong di warung makan sebelah masjid. Bahkan turut bersama kami berjamaah saat panggilan shalat telah berkumandang. Kami saling mengetahui posisi masing-masing dan mungkin karena itu bisa saling memahami. Tidak ada yang tersinggung, ketika masing-masing berargumen sesuai dengan cara pandangnya. Sang teman menjelaskan bagaimana kondisi dan keadaannya dan mengapa dia memilih jalan hidup tersebut dan kami pun menjelaskan bagaimana pemahaman dan posisi kami -yang kebetulan semua muslim- tentang pilihan hidupnya. Iya, kami berada diposisi berseberangan. Tapi... bukan karena semata-mata menilai dan melihat hal tersebut adalah hal yang tidak benar -sekali lagi dalam pemahaman kami- tapi karena... ada cinta di sana.
Sebelum saya berlanjut kepemaparan cinta di sini #ahey izinkan saya share kisah yang lain dulu. Teman lain, seorang pria yang H. Secara terbuka dia menceritakan kepada saya, kenapa dia memilih jalan hidup itu. Saya mendengarkan dengan seksama dan selalu bersedia menjadi teman curhatnya, namun tidak berarti membenarkan tindakannya. Saya selalu hadir dengan pemikiran saya dan cara pandang saya sesuai dengan pemahaman saya. Dia tidak pernah tersinggung dan beberapa kali mencoba untuk kembali ke kehidupan "biasa" yang tidak melawan arus. Berbagai cara dia lakukan, tumbang-jatuh-dan berdiri lagi. Namun yang bisa dia lakukan saat ini hanya melarikan diri. Melarikan diri dari kehidupan... dari kenyataan. Dan entah sampai kapan dia akan bertahan dan akan hidup dengan pilihan hidup yang mana. Hal senada juga terjadi pada teman saya seorang kebangsaan Perancis, yang juga muslim. Dia berakhir dengan sebuah kesimpulan, "Inilah hidup saya. Saya memang memiliki kecendrungan ini. Saya tidak bisa menyukai wanita, apalagi menikahinya. Saya tidak ingin melukainya dan diri saya sendiri. Biarlah saya dengan kesendirian ini, dan semoga saya mampu." Demikian pernyataannya, dia memilih untuk menjadi single selamanya daripada harus mengambil sebuah pilihan hidup yang satu dia tidak suka padanya dan satu lagi Tuhannya tidak suka akannya. Dengan berbesar hati dia berpositif thingking, mungkin ini adalah cobaan hidup baginya diantara sekian rahmat yang dia dapatkan -bekerja di NGO terkenal, mengusai tiga bahasa penting dunia-.
Kisah lain, seorang eksekutif muda dambaan banyak wanita. Tidak bisa menentukan pilihannya terhadap wanita yang mana, karena dia lebih merasa nyaman dengan pria. Â Kami berbagi cerita dan saling mendoakan dalam diam. Diapun tahu bagaimana dan dimana posisi saya. Sekali lagi, kami berada diposisi bersebrangan namun kami tidak bertentangan. Karena... cinta.
Beda dengan dua sahabat karib saya di Taiwan, yang kebetulan bukan muslim -tidak bermaksud mengdikotomikan pada agama tertentu, tapi ini ada korelasinya-. Di kedai kopi waktu itu dia menyatakan jatidirinya sebenarnya, bahwa dia seorang G. Saya tidak kaget, bahkan ketika dia memperkenalkan boyfriend-nya yang juga teman saya. Melihat reaksi saya yang biasa-biasa saja, dia jadi bersemangat bercerita tentang hubungan mereka. Karena pada awalnya dia khawatir, saya tidak bisa menerimanya karena saya seorang Muslim. Saya jelaskan, dalam pandangan saya yang Muslim, pilihan hidup tersebut memang bertentangan, namun penjelasan saya tidak akan masuk ke area berfikirnya, karena kami berada di jalur hidup yang berbeda dan menjalankan hidup dengan pegangan hidup yang tidak sama. Saya berpegang teguh pada Al Quran dan Hadist, sedang dia tidak. Ilmu saya yang tidak seberapa ini, tidak akan bisa bertemu dalam titik-titik universal untuk menyampaikan pandangan saya. Yang bereaksi keras justru teman saya yang seorang protestan dan tidak perlu saya uraikan di sini :)
***
Nah... masuk kepada Bab Cinta...
Membaca tulisan GM benar-benar membuka mata saya bahwa cinta ada banyak dimensinya. Dan bagaimanapun, cinta akan bergantung dari kacamata dan persepsi si pecinta. Dia begitu egois dan subjektif. Tidak ada seseorang yang dapat memaksakan, karena dia merupakan pancaran alami dari dalam diri seseorang. Di satu titik saya bisa merasakan cinta yang besar itu, walau benak saya masih menyimpan tanda, seberapa besar?
Sekali lagi... tidak ada seorangpun yang bisa men-judge wujud dan kadar cinta seseorang. Tidak seorangpun. Dan hanya orang yang bersangkutan dan Tuhan sajalah yang tahu. Maka.... izinkan saya memaparkan bagaimana wujud cinta saya terhadap teman-teman saya itu.
Begini, mungkin saya begitu naif, tapi memang inilah yang ada dalam pemikiran saya yang sederhana ini. Bagi saya, cinta yang terbesar itu adalah cinta kepada Pencipta saya. Jangan tanya apa dan bagaimananya, karena yang saya tahu sangat sedikit sekali. Kalau ibu saya memesankan, lakukan yang diperintahkan dan tinggalkan yang dilarang. Begitu resepnya.
Bukan berarti saya tidak cinta keluarga saya... tidak cinta teman-teman saya.... tidak... saya cinta! Namun ya itu, saya diajarkan untuk cinta pada takarannya, tidak berlebih-lebihan sehingga lebih mendahulukan cinta keluarga dan teman, daripada Pencipta. Standar takarannya? Ya itu tadi.... tidak menjebak saya pada hal yang Dia benci/tidak suka/larang dan melakukan yang Dia suka dan perintahkan.
Dalam pemahaman saya pilihan hidup yang "melawan arus" tersebut dilarang dalam agama kami. Saya pun secara blak-blak-an menyampaikan itu kepada teman-teman saya dan mereka mengerti (karena kebanyakan juga dari latar belakang pendidikan agama yang bagus). Namun ada dorongan dari dalam dan luar diri mereka yang membuat mereka tidak berdaya. Masih menurut saya yang cetek ilmunya ini, ketika seseorang melakukan hal yang dilarang ada balasan terhadap perbuatannya, dalam agama kami dikenal dengan siksaan di neraka.