Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Wewe Gombel

24 Februari 2020   09:00 Diperbarui: 24 Februari 2020   08:59 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Memangnya Wewe Gombel itu benar-benar ada, Bu?" Begitu selalu tanyaku pada ibu sewaktu aku masih kecil; setiap kali ibu berpesan: "Pulangnya jangan sore-sore ya, Nduk. Nanti diculik Wewe Gombel, lho..."

Sebagai anak perempuan yang mbeling atau nakal, aku selalu saja membantah atau mempertanyakan segala hal yang dikatakan oleh ibu.

Tetapi aku juga mengerti akan sikap ibu. Setelah bapak meninggal saat aku masih berusia beberapa bulan, ibu berperan sebagai orang tua tunggal. Beliau bekerja di ladang sebagai pekerja musiman; dengan susah payah mengumpulkan sedikit demi sedikit rupiah yang kemudian digunakannya untuk membeli bahan makanan kami sehari-hari. Dengan hanya memiliki satu orang anak, tentu saja membuat beliau menjadi sangat protektif terhadap diriku. 

Ditambah lagi, Bukit Gombel-bukit di mana desaku berada, memang terkenal dengan legenda Wewe Gombel, makhluk mitos yang berpenampilan seperti wanita tua menyeramkan.  Ia gemar menculik anak-anak untuk dirawatnya selama beberapa hari kemudian dipulangkan kembali; sekadar untuk memberi peringatan kepada orang tua mereka agar mengurus anak-anaknya dengan baik. Dan konon katanya, anak-anak itu diberi makan cacing dan kotoran; yang kemudian membuat pikiran mereka menjadi kacau. Sehingga biasanya saat dikembalikan, sang anak akan mengalami hilang ingatan selama beberapa hari, tergantung berapa lamanya mereka diculik.

Nah, jika anak-anak lain merasa takut mendengar kisah itu, aku justru merasa tak perlu takut pada Wewe Gombel. Karena ia hanya akan menculik anak yang tidak diurus dengan baik oleh orang tuanya. Sementara ibuku selalu mengurusku dengan baik.

Atas dasar pemikiran itu, maka hanya akulah anak di desa ini yang berani pulang ke rumah setelah senja tenggelam. Aku memang menyukai bermain di luar rumah dan melakukan kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan oleh anak laki-laki di desa. Bukan seperti anak-anak perempuan lain yang biasanya bermain boneka, dakon, cublak-cublak suweng atau masak-masakan.

Seringkali saat aku sedang sendirian di luar rumah, entah itu sedang memetik buah-buahan di pohon, mencabut umbi-umbian liar di kebun, atau menangkap ikan di sungai, aku berbohong pada orang-orang yang kutemui di jalan dengan mengatakan bahwa aku tidak diberi cukup makan di rumah sehingga aku harus mencari makanan tambahan di luar. Aku berkata begitu hanya supaya mereka tidak menyuruhku segera pulang ke rumah sebelum sore dan melewatkan kegiatan yang paling kusukai. Yaitu memanjat pohon untuk menikmati pemandangan langit senja.

Aku sangat menyukai proses perubahan warna langit dari warna jingga terang ke lembayung, kemudian perlahan meredup, dan akhirnya gelap. Duduk di atas dahan pohon sambil menyaksikan pemandangan indah itu adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagiku. 

Semua kebiasaan itu tetap kulakukan hingga bertahun-tahun kemudian sampai desa kami menjadi desa yang ramai.

Bukit Gombel sekarang telah menjadi tempat wisata yang banyak dikunjungi wisatawan dari dalam dan luar negeri. Cerita tentang Wewe Gombel pun masih bergaung dimana-mana, sampai ke kalangan anak-anak kecil yang lahir di era modern saat ini.

Bagi mereka, cerita-cerita legenda menyangkut makhluk mitos adalah suatu hiburan yang menarik. Meskipun menakutkan, tetapi tetap ditunggu untuk didengar. 

Aku sangat mencintai desaku. Di mana aku bisa menikmati indahnya pemandangan dari atas pohon seperti saat ini, sembari mengamati kegiatan sehari-hari para penduduk desa yang masih tetap sama seperti dulu. Termasuk rutinitas seorang nenek-yang sepertinya pernah kukenal namun tak kuingat namanya-yang saat ini sedang berjalan tertatih-tatih mengitari pelosok desa memanggil-manggil nama seseorang. Hal yang selalu dilakukannya setiap senja; sejauh yang bisa kuingat.

"Nak, ayo makan." Ibu datang menghampiri membawa makanan untukku.

"Terima kasih, Bu." Aku menerimanya dari tangan ibu dan mulai makan dengan lahap sembari masih memerhatikan sang nenek.

"Bu, nenek itu sebenarnya sedang memanggil-manggil siapa, sih?" tanyaku.

"Dia mencari anaknya yang hilang diculik," jawab ibu sambil duduk di sampingku.

"Diculik siapa?" tanyaku lagi.

"Wewe Gombel," jawab ibu.

"Oh, berarti beliau dulu tidak mengurus anaknya dengan baik ya, Bu?"

"Oh, tidak." Ibu menggeleng. "Nenek itu adalah orang yang baik. Anaknyalah yang nakal. Tidak menurut, suka berbohong, dan selalu menyakiti hati ibunya. Maka dari itu, anaknya tidak pernah dikembalikan sampai sekarang."

"Dikembalikan oleh siapa, Bu?"

"Wewe Gombel."

Aku melahap suapan terakhir makanan berwarna coklat yang menggeliat-geliat di atas alas makanku sembari menatap wajah ibu yang keriput, rambutnya yang panjang berantakan, bola matanya yang membelalak, serta sepasang taring yang menyembul dari kedua sudut bibirnya, dan bertanya, "Tapi... memangnya Wewe Gombel itu benar-benar ada, Bu?"

END

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun