Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Minema ( misteri ) part-2

29 Oktober 2015   09:43 Diperbarui: 10 Oktober 2016   12:44 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita sebelumnya

Sosok cahaya itu berpendar-pendar menyilaukan. Tidak ada bentuk wajah disitu. Tapi aku bisa merasakan ia sedang mengamatiku.

Aku mundur ketakutan. Punggungku membentur batu tempatku berpegangan sebelumnya. Aku melompat lagi ke samping. Tapi malah hilang keseimbangan dan terjatuh. Lututku mendarat tepat diatas batu-batu tajam. 

Cahaya itu bergerak mendekat.

Aku semakin panik dan berusaha berdiri. Namun kakiku terasa lemas. Kubuka mulut hendak menjerit minta tolong. Tapi tak ada suara yang keluar. Akhirnya dengan sekuat tenaga kutarik tubuhku menggunakan kedua lenganku yang gemetar.

Apakah makhluk bercahaya ini sama dengan yang kulihat malam itu ? Apakah ini minema ? Apa ia mau menculikku seperti yang ia lakukan terhadap ayah Andri ? Atau membunuhku seperti anak remaja itu ?  

Aku tak mau mati disini !

Sampai di tepi sungai, kupaksa kedua kakiku untuk berdiri dan segera berlari.

Tapi aku masih tetap bisa merasakan pancaran cahayanya dari belakang. Dia mengejar ! 

Aku berlari sekencang-kencangnya, berusaha secepat mungkin sampai di desa, sebelum makhluk ini sempat menyambar tubuhku. Kalau sudah memasuki area pemukiman yang ramai penduduk, ia pasti tak akan berani menculikku kan ?

Kupacu lariku lebih cepat lagi. Tak kupedulikan otot-otot kakiku yang sudah menjerit memprotes. Pokoknya aku tidak mau dibawa pergi oleh makhluk ini.

Beberapa langkah lagi aku akan sampai di gerbang masuk. Aku selamat ! Kulihat beberapa warga desa sedang duduk-duduk santai di teras rumah mereka.

Tetapi niat untuk berteriak minta tolong langsung kuurungkan saat melihat ekspresi keheranan di wajah mereka yang melihat kedatanganku dari jauh. Mereka hanya terlihat heran. Bukan takut. 

Beberapa orang yang kemudian berpapasan denganku di jalanpun hanya menatapku dengan pandangan aneh. Padahal aku masih bisa merasakan keberadaan makhluk itu di belakangku. Tapi mengapa mereka semua melihatku seperti itu ? Tidak adakah diantara mereka yang bisa melihatnya ?

Aku berlari terus.

"Ibuuuu !!” jeritku setelah akhirnya sampai dirumah. Aku menghambur ke pelukan ibu yang sedang duduk di ruang tengah.

“Sari ! Ada apa ? Kamu dari mana ?” ibu bertanya dengan wajah cemas. “Kenapa bajumu basah semua begini ? Lututmu terluka !"

“Hantu itu buu ! Hantu bercahaya itu mengejar Sari ! Dia ada di sungai ! Dia mengejar Sari dari sungai sampai kesinii ! Sari takut buu !” aku menjerit-jerit histeris seraya menunjuk-nunjuk ke belakangku, ke arah pintu rumah yang masih terbuka.

Ibu menjulurkan kepala melihat keluar beberapa saat sambil tetap memelukku. Napasku masih tersengal-sengal. Dadaku terasa sakit.

“Sari….” Ibu mengusap-usap punggungku berusaha menenangkan. “Tidak ada yang mengejar kamu Sari..."

“Ada buu ! Tadi adaa ! Sari kan ketiduran di sungai sejak sore, terus waktu Sari bangun cahaya itu ada disitu, dan dia mengejar Sari sampai masuk ke desa. Benar kok bu, Sari nggak bohong !"

“Ssshh… iya.. iya. Ya sudah kamu tenangkan diri dulu. Ibu buatkan teh hangat ya,” ujar ibu sambil memapahku masuk ke kamar.

Dengan gemetar kuganti bajuku yang basah tanpa mandi lagi dan langsung berbaring di tempat tidur. Pikiranku berkecamuk.

Apakah cahaya itu sudah berhenti mengejarku tanpa kusadari saat aku masuk ke wilayah perumahan penduduk ? Dan perasaan seperti diikuti itu hanya sugestiku saja karena ketakutan ? Atau memang makhluk itu hanya memperlihatkan diri kepadaku saja ?

 

Malam telah larut ketika aku terbangun. Samar terdengar suara orang-orang sedang mengobrol pelan diluar kamar. Sepertinya suara ibu yang sedang bicara dengan seorang laki-laki. Siapa ya…?

“Tapi ini sulit ...,” kata ibu.

“Ya ya…. memang sulit. Tapi tolonglah diusahakan, supaya warga desa tidak semakin resah. Dan ini demi kebaikan Sari juga.” 

Itu suara Pak Kepala Desa. Dan apa yang ia maksud dengan : ini demi kebaikanku juga? Memangnya apa yang sudah membuat orang-orang desa menjadi resah?

“Sejak dulu dia memang mudah terpengaruh dan sering berkhayal….,” lanjut ibu pelan.

Apa ?? Ooh jadi ibu tidak percaya dengan kejadian yang kualami di sungai tadi ? Aku dianggap cuma berkhayal ?  Dan untuk apa sih, sampai Pak Kepala Desa ikut-ikutan mengurusi urusanku ?

Tak lama kemudian terdengar Pak Kepala Desa berpamitan pulang. Kupaksakan diri untuk memejamkan mata. Besok, aku akan bertindak. Aku tidak mau dianggap orang aneh lagi di desaku sendiri, tekadku. Aku akan membuktikan kepada semua orang bahwa hantu bercahaya itu benar-benar ada.

 

***

 

“Woww…,” Andri berseru takjub setelah menyibak sulur-sulur pohon yang menjuntai sampai ke tanah. Dibaliknya nampak sebuah jalan masuk bagaikan terowongan alam yang diapit oleh deretan pepohonan rimbun yang menembus jauh ke dalam hutan.  “Ini jalan menuju ke desa kamu Sar ?”

Aku mengangguk agak malu. Malu karena akhirnya nekat mengundang Andri datang ke sini. Sepulang kuliah tadi aku sudah menceritakan kepada Andri pengalamanku sewaktu melihat cahaya yang beterbangan di puncak gunung beberapa waktu lalu.  Juga kejadian menghebohkan saat aku dikejar-kejar makhluk itu di sungai semalam. Dan Andri yang merasa sangat tertarik kemudian setuju untuk datang dan melihatnya sendiri.

"Hebat. Jalan masuknya sama sekali tidak terlihat dari luar ya,” ujar Andri terkagum-kagum, “ kalau kamu nggak menunjukkannya, pasti aku nggak akan bisa tahu lho.” 

Hebat ? Tunggu saja sampai kamu melihat desaku dengan segala keterbelakangan pola pikir penduduknya Ndri, batinku murung. 

Lalu kami masuk dan memulai perjalanan. Aku merasa sedikit tegang. Sementara Andri nampak cukup tenang meskipun aku tahu ia pasti juga merasakan suasana yang aneh sejak memasuki jalan setapak ini.

“Berapa jauh kira-kira panjang jalan ini Sar ?” tanya Andri.

“Mm… berapa ya….. sekitar seratus meter lebih mungkin,” jawabku sedikit ragu. Aku tak pernah merasa perlu untuk mengukurnya.

“Sepertinya disini memang jarang dilewati orang ya. Terlihat dari ranting-ranting dan dedaunan kering yang banyak menumpuk di tanah, tidak banyak bekas injakan diatasnya.”

“Iya Ndri. Kan memang cuma aku yang pergi kuliah ke kota. Warga desa lain tidak ada yang perlu pergi keluar. Mereka semua tidak mau menerima modernisasi. Kegiatan sehari-hari mereka hanya bertani dan berkebun saja,” jelasku. 

“Ooh… begitu,” Andri mengangguk-angguk.

Sesampainya di desa nanti, kami berniat hendak langsung pergi ke sungai dan mencari tempat bersembunyi untuk mengintai hantu bercahaya yang kemungkinan besar adalah minema itu. Lalu entah bagaimana caranya, kami harus mencari tahu apakah memang mereka yang menculik ayah Andri empat bulan yang lalu. 

“Nah, kita sampai nih Ndri,” aku menunjuk ruang terbuka tanpa pepohonan yang nampak di depan kami. Andri mengangguk. 

“Yuk,” ajakku sambil melangkahkan kaki keluar dari ujung jalan setapak.

Sebuah tangan yang kuat tiba-tiba menangkap pergelangan tanganku dan menarikku ke samping. “Aduhh !” aku berteriak dan menengadah menatap si pemilik tangan. “Agung ?”  

Agung menatapku dengan pandangan kecewa. Ia membuat tanda di depan mulutnya dengan tangan, menyuruhku diam. 

“Eh…. mm… maaf, permisi…,” terdengar suara Andri yang baru saja muncul di ujung jalan setapak. Di hadapannya terlihat beberapa orang dewasa dari desaku yang berdiri membentuk setengah lingkaran menutupi jalan.   Di antaranya ada Pak Kepala Desa dan ibuku. 

Ibu ? Kenapa ibu juga ada disini ? Ada apa ini ? Apa mereka sengaja menghadangku disini karena tahu aku mengajak Andri datang ? Memangnya sejak kapan ada larangan membawa teman datang kesini ?

Aku membuka mulut hendak bersuara. Tapi Agung mempererat cengkeramannya di tanganku, menandakan aku tak boleh bicara sedikitpun. Aku  menoleh ke arah ibu. Ibu sedang menatap Andri dengan ekspresi ketakutan. 

“Selamat sore, saya kepala desa disini,” ujar Pak Kepala Desa sambil sedikit membungkuk kepada Andri. Andri balas membungkuk dengan sedikit kaku karena bingung. Dan pastinya juga terkejut karena melihat tiba-tiba ada banyak orang yang menyambutnya.

“Apakah ada yang bisa kami bantu ?” 

“Ehm, maaf mengganggu,” Andri membalas dengan sopan. “Nama saya Andri. Saya datang kesini ingin mencari informasi tentang ayah saya yang hilang di gunung ini  sekitar empat bulan yang lalu.”

Terdengar gumaman pelan dari orang-orang yang berdiri di belakang.

“Boleh saya tahu siapa namanya dan berapa usianya ?” tanya Pak Kepala Desa lagi.

“Namanya Bapak Sardi. Usianya 45 tahun,” jawab Andri.

Terdengar gumaman-gumaman lagi. Kali ini lebih keras. Ibu menunduk sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Pak Kepala Desa mengangkat tangan sedikit untuk meredam keributan di belakangnya.

“Kalau begitu, mari silahkan ikut saya,” ajaknya dengan ramah kepada Andri,” Kita berbincang-bincang sebentar."

Andri mengangguk.

“Hei, tunggu !” protesku keras. “Apa-apaan ini ? Ibu, ada apa ini ?”

Ibu diam saja tak mau melihat kearahku. Pak Kepala Desa menoleh kearahku dan berkata, “Sari ikut juga ya." Lalu berjalan mendahului. 

Ibu berjalan sambil menunduk di belakang Andri.  Yang lain mengikuti tanpa berkata apa-apa. Suasananya sangat kaku dan aneh.

Aku  berjalan di samping Agung sambil tak henti-hentinya berbisik meminta penjelasan. Tapi Agung terus menggeleng, menolak untuk menjawab sambil tetap menggenggam tanganku erat-erat. Kuperhatikan Andri yang berjalan dengan tenang sambil sesekali menyeka keringat yang bercucuran di wajah dan lehernya. Kenapa Andri tidak menoleh sedikitpun kepadaku ? Apa yang terjadi ?

Akhirnya rombongan kami berhenti di depan rumahku.

Aku terheran-heran. Kenapa kerumahku ? Kukira kami hendak diajak berbicara di rumah Pak Kepala Desa.

Kulihat kakek sedang bersantai duduk di kursi goyangnya seperti biasa, tak melihat kehadiran kami. Ibu berjalan perlahan memasuki halaman rumah dan menghampiri kakek. Wajah ibu terlihat sangat tegang. 

Lalu ibu menoleh ke arah Andri.

“Ini…. Pak Sardi.... ayahmu…”

Haa….? Apa ?

“Ini ayahmu, Andri….” ujar ibu lagi dengan wajah seperti hendak menangis. Sementara kakek masih terus saja menikmati ayunan kursi goyangnya.

Dengan ragu Andri melangkah perlahan mendekati kakek. Kemudian ia berlutut dan menengadah memandang wajah kakek. Menatapnya lama.

“A.. ayah…?” panggil Andri pelan.

Kakek menghentikan ayunannya.

“Ayah…?” Andri memanggil lagi.

Kakek menunduk memandang wajah Andri beberapa saat. Perlahan-lahan tatapan kosongnya mulai berubah. Tangan keriputnya yang gemetar terangkat dengan susah payah berusaha menyentuh wajah Andri. 

“An.. dri…?” ucap kakek hampir tak terdengar.

“Ini… ini benar ayah ?” Andri mendekatkan wajahnya ke wajah kakek. Mengamati lekat-lekat. 

Kakek tak menjawab. Hanya menggerak-gerakkan mulutnya yang kaku sambil menatap wajah Andri. 

“Ayaah ! Ayah kenapa jadi begini ??” Andri berteriak histeris dan langsung  memeluk tubuh kakek erat-erat. Kakek dengan tulang-tulang ringkihnya yang kaku karena tak pernah digerakkan juga merentangkan lengannya sebisa mungkin berusaha memeluk Andri.

“Ann... drii..... ken... napaa.... kessinnii....ay...yah.....sudd...dah..... kir...rim.. pes...san...” kakek berucap susah payah. Butir-butir air mata terlihat menetes dari kedua matanya. Andri juga terlihat terisak-isak di pelukan kakek.

Aku yang semakin tak mengerti segera menyentakkan cengkeraman tangan Agung sampai lepas dan melangkah maju.

“Ibu ! Apa maksudnya ini ? Mana mungkin kakek adalah ayahnya Andri ?” tanyaku dengan suara keras. Ibu hanya diam menunduk.

“Ndri ! Masa dia ayah kamu ? Bagaimana sih ? Dia ini kan kakekku !” kutarik bahu Andri yang masih berada di pelukan kakek. Andri menoleh. Air mata terlihat mengalir di kedua pipinya. 

“Siapa kamu ?” tanya Andri dengan ekspresi heran. “Beliau ini memang ayahku kok !”

Aku terkejut.  Andri tidak mengenaliku ? 

"Ayaahh,” Andri kembali memeluk kakek tanpa mempedulikanku. “Ayah kenapa jadi seperti ini yah ? Ayaah…”

Aku menarik lagi lengan Andri. “Ndri ! Ini aku Sariii. Aku kan yang mengajak kamu kesini ! Kita kan tadi jalan bersama lewat jalan setapak ??” ujarku setengah berteriak.

Andri menyentakkan lengannya dan menatapku sambil mengerutkan kening.  

“Apa sih maksud kamu ? Aku tadi datang kesini sendirian. Aku juga menemukan jalan setapak itu secara kebetulan. Dan aku nggak pernah kenal kamu tahu !” bentak Andri.

Aku tercengang.

“Sudah Sari !” ibu menarikku menjauh dari Andri. “Ini semua salah ibu... ibu minta maaf Sari…,” ujarnya sambil memandangku dengan mata berkaca-kaca.

“Dia bukan kakekmu Sari. Dia memang Pak Sardi, ayahnya Andri...."

Aku terdiam. Apa maksud ibu?

Andri melepaskan diri dari pelukan kakek kemudian berdiri dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.

“Ada yang bisa menjelaskan, bagaimana ayah saya bisa sampai disini ? Dan kenapa kondisi ayah saya seperti ini ?” tanyanya dengan nada tegas.

“Maaf… biar ibu jelaskan,” kata ibu sambil mengusap matanya.

Kepalaku terasa pusing. Kusandarkan tubuh ke dinding di belakangku. 

“Empat bulan lalu, saat ibu sedang tugas berjaga di hutan, ibu menemukan Pak Sardi dalam kondisi luka parah karena jatuh ke jurang. Kakinya patah dan bagian belakang kepalanya mengucurkan darah. Karena udara sangat dingin, dan melihat kondisi lukanya yang harus segera ditolong, ibu pikir terlalu lama kalau ibu harus mengambil obat-obatan dulu dari desa ..... jadi... ibu putuskan untuk... membawa Pak Sardi mm… melalui … lu ... lubang… di….” 

Aku menatap ibu bingung. Berjaga apa ? Lubang apa ?

“Lalu ??” Andri bertanya dengan gusar. “Kalau kalian tidak bisa mengobatinya, kenapa kalian tidak membawanya ke rumah sakit di kota saja ? Kenapa kalian kurung ayahku disini ? Dan kenapa kondisi ayah bisa seperti ini ?” lanjutnya penuh emosi.

“Ehm... maaf, biar saya yang meneruskan penjelasannya,” sela Pak Kepala Desa. Andri mengalihkan pandang ke arahnya.

“Maaf Nak Andri. Kami bukan bermaksud mengurung Pak Sardi disini. Begini…... Gunung Nawang ini sangat tinggi, luas dan berbahaya area pendakiannya, sehingga manusia beresiko tersesat di dalamnya. Nah, tugas utama kami penduduk desa ini adalah untuk membantu manusia yang tersesat supaya bisa bertahan hidup dan menemukan jalan pulangnya kembali.”

Mataku berkunang-kunang. Kepalaku semakin pusing.

“Sayangnya suatu hari, Bu Ratih ini,” Pak Kepala Desa menganggukkan kepala kearah ibuku,” Dengan segala ketidaktahuannya, telah membuat suatu kesalahan fatal yang mengakibatkan kondisi fisik Pak Sardi menjadi seperti ini."

Andri melipat  tangannya di dada, menunggu dengan tidak sabar. 

Cerita apa yang sedang dikarang oleh Pak Kepala Desa ? Kupejamkan mata menahan denyut berirama yang terasa semakin berat dikepalaku.

“Ia tidak tahu, bahwa alasan dibuatnya peraturan yang melarang membawa manusia masuk ke desa ini, adalah karena apabila ada seorang manusia yang sudah terlanjur melewati jalan setapak itu untuk masuk, maka ia tidak akan bisa keluar lagi dalam kondisi yang sama seperti sebelumnya,” lanjut Pak Kepala Desa.

“Maksud bapak apa sih ?” potong Andri. “Apa maksud bapak dengan ‘manusia dilarang masuk kesini’ ? Memangnya ini tempat apa? Dan memangnya kalian bukan manusia ??”

Semua terdiam mendengar pertanyaan Andri. 

Pak Kepala Desa mengangguk perlahan. 

“Ya. Kami memang bukan manusia.” 

 

Seperti ada sebilah pisau tajam yang membelah kepalaku. 

 

Andri mundur perlahan sambil meraih bahu kakek. 

“Tenang nak, tenang dulu. Kami ini tidak jahat,” ujar Pak Kepala Desa lagi.

“Seperti yang saya katakan sebelumnya, tugas kami ini justru menjaga manusia. Mungkin di dunia manusia beredar berita-berita yang tidak benar tentang kami. Namun kami memaklumi itu semua, karena merupakan hal yang sangat wajar bagi kita untuk merasa takut dan berburuk sangka terhadap hal-hal yang belum kita ketahui atau belum kita kenal.”

“Tetapi masalahnya, kalau sekarang Nak Andri pergi keluar lewat jalan setapak itu, usiamu akan bertambah sekitar tujuh puluh tahun, yaitu masa hidup rata-rata manusia saat  ini pada umumnya."

“Dan untuk ayahmu yang sekarang sudah berusia kurang lebih delapan puluh tahun, sebaiknya kamu tidak membawanya serta,”  lanjut Pak Kepala Desa dengan wajah menyesal.

Andri berdiri terpaku. Wajahnya memucat.

“Ayahmu ini sudah pernah berusaha dibawa keluar oleh Bu Ratih melalui jalan setapak itu setelah beliau selesai diobati. Tetapi… baru setengah perjalanan, usia ayahmu sudah bertambah  sekitar tiga puluh lima tahun. Dan menjadi renta seperti ini. Bu Ratih yang terkejut dan ketakutan membayangkan apa yang akan terjadi pada Pak Sardi jika perjalanan itu dilanjutkan, akhirnya memutuskan untuk membawa kembali beliau ke desa dan merawatnya di rumah.”

Andri menggeleng-geleng keras. “Nggak…! Itu nggak mungkin !!” teriaknya. 

Iya, itu tidak mungkin. Cerita konyol macam apa itu? Protesku dalam hati sambil menahan rasa ingin muntah akibat sakit di kepala yang semakin menjadi-jadi.

“Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya atas semua kesalahan yang telah dilakukan oleh warga kami. Dan karena tidak ada jalan keluar lain dari sini selain jalan setapak itu, maka kami hanya bisa menawarkan kepada Pak Sardi dan Nak Andri untuk tinggal saja disini. Karena ini semua kesalahan kami, maka kamilah yang akan bertanggung jawab untuk mengurus kalian,” ujar Pak Kepala Desa.

Andri mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dengan wajah masih tak percaya.

“Tetapi, kalau kalian tetap ingin pergi dari sini, kami juga tidak akan melarang,” tambah Pak Kepala Desa.

Mendengar itu, Andri langsung meraih lengan kakek dan memapahnya berdiri. “Ayo kita pulang ayah,” katanya tegas sambil menarik tubuh kakek ke atas punggungnya.   

Apa ? Andri mau pergi ? Tidak… tidak boleh ! 

“Jangan Ndri ! Jangan pergi !” teriakku berusaha mengabaikan sakit di kepalaku dan melangkah mendekati Andri. 

Andri tak menggubrisku. Ia menggendong kakek dengan susah payah dan mulai berjalan keluar dari halaman rumah. Ibu menangis terisak-isak. Pak Kepala Desa dan yang lainnya menyingkir memberi jalan pada Andri.  

Aku terus mengejar Andri. Berbagai kilasan peristiwa bermunculan di kepalaku. Kejadian-kejadian yang aku sendiri tidak bisa mengingatnya.  

“Andriii jangan pergii ! Tunggu !!” jeritku.

Andri terus saja melangkah cepat sambil sekuat tenaga menahan beban berat badan kakek di punggungnya. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Para penduduk desa yang sedang berada diluar rumah hanya mengamati kami dalam diam. 

Andri sudah melewati gerbang desa dan hampir sampai ke jalan setapak.

“Andri !!” teriakku putus asa. “Tunggu Ndri ! Kamu nggak boleh pulang ! Jangan pergi Ndri !!”

Akhirnya Andri berhenti dan menoleh. Menatapku tajam. 

“Maaf. Lebih  baik aku pulang dengan kondisi bagaimanapun, daripada harus hidup di dunia yang bukan duniaku. Dan aku yakin ayahku juga pasti akan berpendapat begitu,” ujarnya tegas.

“Nggak !! Aku nggak mau seperti ini !” teriakku. “Andriii !!”

Andri tak menoleh lagi.

Agung tiba di sampingku. Ia menarik dan mengguncang-guncang tubuhku.

“Sari ! Sari !! Sadarlah ! Sudahlah Sari, biarkan mereka pergi !” 

“Nggak !! Aku nggak mau disini ! Aku mau ikut Andri !! Aku mau ikut Andriii !!” aku menjerit histeris dan mulai menangis. 

“Kamu tidak bisa  hidup dengan mereka Sari ! Kamu bukan manusia !!” bentak Agung.

Kutatap wajah Agung dengan garang.

“Apa ?? Enak aja kamu ! Aku ini manusia tau ! Aku manusiiaaaaa !!” jeritku sambil meronta-ronta berusaha melepaskan pegangan Agung.

Agung menarik tanganku kuat-kuat lalu menyeretku kembali sampai ke gerbang desa. Kemudian ia meraih sebatang kayu panjang yang tergeletak di tanah. Diayun-ayunkannya kayu itu tinggi-tinggi diatas kepalanya. Ditengadahkannya kepalaku, memaksaku melihat keatas.

“Lihat itu !! Lihat itu baik-baik Sari !!” teriaknya sambil menunjuk gapura yang terletak tepat diatas kepalaku.

Dengan berurai air mata, kutatap bagian depan gapura desa yang tadinya tertutup lumut tebal dan tanaman menjalar itu.

Disitu tertulis : 

‘DESA MINEMA

 

***

 

Aku duduk termenung di dalam kamar. Sebuah ransel besar, pakaian-pakaian milik Pak Sardi, album foto dan sebuah buku novel berserakan di atas tempat tidurku. Kuraih novel horror berjudul ‘Rumah Hantu’ itu. Kubolak balik halamannya. 

Gara-gara membaca novel ini, aku jadi sering ketakutan pada hal-hal yang tidak perlu. Ketakutan pada kaumku sendiri. Sampai-sampai aku tak mengenali Agung yang datang kembali mencariku ke sungai malam itu karena cemas melihatku tak pulang-pulang juga. Pantas saja saat itu semua warga desa terheran-heran melihatku yang berlari ketakutan diikuti oleh Agung, sahabatku sendiri.

Kubuka album foto bersampul merah itu. Di dalamnya penuh dengan foto Andri dan kedua orang tuanya. Ada foto Andri saat masih kecil bersama  ibunya yang sedang berada di sebuah taman hiburan, Andri kecil yang sedang bermain mobil-mobilan bersama ayahnya di halaman rumah, Andri dan teman-teman sekolahnya, Andri saat sedang menerima piala juara sekolah, kemudian Andri, ayah dan ibunya yang sedang meniup kue ulang tahun bersama-sama. 

Aku mendesah dan menutup album foto itu. Terngiang penjelasan ibu tadi malam sewaktu aku baru sadar dari pingsanku.

“Saat ibu berusaha mengembalikan Pak Sardi ke dunia manusia dan ternyata gagal, kamu yang sebelumnya ikut membantu ibu mengobati beliau, menjadi terpukul melihat kondisinya. Kamu anak yang sangat baik, Sari. Hatimu mudah tersentuh. Setelah memeriksa isi tas dan melihat foto-foto keluarganya, kamu nekat ingin menemui mereka untuk memberitahu tentang kondisi Pak Sardi, walaupun kamu tahu adalah hal yang sangat terlarang bagi kita untuk pergi ke dunia manusia.

Dan kamu juga tahu manusia tidak akan dapat melihat dan mendengarmu didunia mereka. Tetapi saat itu ibu tak kuasa mencegah kepergianmu karena ibu juga masih sangat bingung karena harus memikirkan pertanggungjawaban terhadap nasib Pak Sardi.

Dan setelah melihat sendiri apa yang terjadi padamu kemudian, barulah kami semua mengetahui alasannya, mengapa sangat terlarang bagi kaum kita untuk bersentuhan dengan dunia manusia. Kamu menjadi sangat tertarik dengan pola pikir mereka, gaya hidup mereka, pergaulan mereka, dan sifatmupun semakin lama semakin mirip manusia. Kamu juga menjadi lupa akan tujuan awalmu pergi ke dunia mereka. Apalagi keputusan bapak untuk pergi meninggalkan kita membuatmu sangat terpukul dan pikiranmu menjadi semakin kacau.

Lalu kamu mulai merasa dirimu adalah manusia, dan Pak Sardi itu adalah kakekmu. Setiap hari kamu pergi ke dunia manusia dan berkhayal seolah-olah berteman dengan mereka. Percakapan mereka yang terdengar olehmu, kamu anggap sebagai dialog dua arah diantara kalian. Dan  tanpa disadari, lama kelamaan kamupun bisa mendengar suara hati mereka. Kamu juga sampai berani mencuri pakaian di desa manusia yang paling dekat dari sini untuk kamu pakai, dan mencuri buku-buku milik manusia di kota untuk kamu bawa pulang.

Ibu yang terlalu larut dalam perasaan bersalah terhadap Pak Sardi, menjadi terlambat untuk bertindak. Disamping itu ibu juga takut pikiranmu akan bertambah kacau kalau tidak berhati-hati dalam menyadarkanmu. Tetapi disaat ibu sedang mencari cara yang paling tepat, kamu sudah terlanjur mempengaruhi pikiran Andri untuk masuk kesini. Ibu sangat terkejut sewaktu kemarin Agung melaporkan melihat kamu datang dengan Andri melalui jalan setapak. Saat itu ibu baru menyadari telah membuat kamu melakukan kesalahan yang sama seperti ibu. Maafkan ibu, Sari…”

Aku ingat gedung putih berjendela banyak itu. Disitulah aku pertama kali menemukan Andri bersama teman-teman sekolahnya. Mereka semua sedang bersiap-siap mengikuti ujian akhir dan masing-masing merencanakan hal yang berbeda-beda untuk masa depannya. Semangat, cita-cita dan pemikiran mereka yang sangat beragam itu adalah hal-hal baru yang  terasa amat menarik bagiku. Dan yang pada akhirnya malah meracuni pikiranku dan menjerumuskanku dalam dunia khayalan yang kuciptakan sendiri.

Dan lorong penghubung yang seharusnya sangat terlarang untuk dimasuki itu malah kuanggap sebagai jalan yang wajar untuk kulalui setiap pergi ke kampus. Aku bahkan melewatinya dengan susah payah seperti manusia.

Tak heran semua warga desa selalu melihatku dengan tatapan aneh dan sering menghindar. Pasti aku sudah dianggap sakit jiwa.

Kasihan Rini. Dia pasti kerepotan sekali karena harus mengeluarkan biaya banyak untuk membeli lagi buku-bukunya yang kuambil.

Dan pantas saja Andri selalu merasa kepanasan. Itu karena aku selalu mengikutinya kemana-mana.

“Kalau sudah selesai, berikan ke ibu ya Sari,” ujar ibu dari depan pintu kamar sambil tersenyum lembut padaku. “Biar ibu singkirkan barang-barang itu.” 

Ibu melangkah masuk sambil membawa tumpukan baju berwarna hijau yang serupa dengan yang kukenakan saat ini.  Bahannya yang terbuat dari anyaman dedaunan terasa halus dan nyaman dipakai. Sama nyamannya dengan sandal tali dari  serat kayu yang melilit di kedua kakiku.

“Ibu tak menyangka Sari sudah mampu mempengaruhi pikiran manusia sampai sejauh itu. Kemampuan yang seharusnya baru muncul setelah kamu dewasa itu ternyata telah kamu kuasai dengan baik di usia remaja. Kamu berbakat Sari,” lanjut ibu sembari duduk disampingku.

Aku menggeleng. "Itu bukan suatu hal yang patut dibanggakan bu.... Sari sudah membuat banyak orang menderita......"

"Yah..... memang tak ada yang bisa kita lakukan. Semua sudah terlanjur. Kalaupun Andri kemarin setuju untuk tetap tinggal disini, dia tidak akan bisa lama bertahan hidup. Kondisinya juga akan cepat menurun, seperti yang telah terjadi pada Pak Sardi. Kamu ingat kan, awalnya Pak Sardi juga masih bisa berjalan-jalan sendiri di  dalam rumah meskipun tertatih-tatih. Bahkan pernah juga berjalan sendiri sampai ke sungai. Tapi beberapa saat kemudian kondisinya sudah sangat jauh berbeda. Alam kita memang tidak cocok untuk mereka, Sari."

Aku mengangguk perlahan.

“Mengenai jalan setapak itu,” sebuah suara datang dari arah belakang, ”Bapak sudah berunding dengan para tetua desa untuk memberi penjelasan yang lebih rinci kepada seluruh warga, supaya tidak ada lagi yang mencoba menggunakannya untuk pergi ke dunia manusia atau membawa manusia masuk ke desa ini, apapun alasannya.”

Pak Kepala Desa yang sebenarnya adalah bapakku yang masih hidup, berdiri di depan pintu kamar.

“Dan setelah kejadian yang dialami Pak Sardi waktu itu, kami juga telah memberlakukan peraturan baru. Yaitu berjaga berpasangan supaya dapat saling membantu apabila ada kesulitan. Dan sanksi tegas juga akan diberikan kepada petugas jaga yang lupa membawa  perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan.” 

“Bapak juga ingin meminta maaf karena telah melakukan kesalahan besar dengan meninggalkan kalian. Saat itu bapak terlalu egois, karena hanya memikirkan pandangan warga desa terhadap bapak sebagai pemimpin. Bapak merasa malu karena terpaksa harus memelihara manusia dirumah kita. Ditambah lagi dengan Sari yang telah melanggar larangan desa dan pergi ke dunia manusia. Keduanya adalah perbuatan yang sangat tercela bagi kaum kita. Tetapi bapak juga tidak menyangka Sari bisa terpengaruh oleh manusia sampai sejauh itu. Bahkan sampai melupakan bapak.”

Aku hanya diam. Tak tahu harus berkata apa.

“Sari, jalan setapak itu memang sudah ada sejak awal kehidupan. Dan akan terus ada sampai kapanpun. Terhadap manusia sudah ada pengamanan dengan penambahan usia maksimal agar jika karena suatu sebab mereka bisa masuk kesini dan berhasil keluar lagi, mereka tidak bisa dengan mudah memberitahukan kepada orang lain tentang keberadaan kita. Sedangkan kita sendiri sebagai makhluk yang berhati lurus, seharusnya bisa lebih mentaati peraturan."

"Dan mengenai lubang yang terjadi akibat kesalahan di masa lalu itu, seharusnya bisa menjadi pengingat supaya kita tidak melakukan kesalahan  lagi. Bukannya malah mempergunakannya….”

Ibu menunduk mendengar kalimat terakhir bapak.

“Kita dan manusia memang tidak pernah ditakdirkan untuk bersatu….”

 

Kuraih buku berwarna coklat tanah yang diletakkan oleh Ibu di samping tempat tidurku. Buku pelajaranku saat masih kecil. Judulnya : Ilmu Sosiologi, Antropologi dan Budaya Dasar. 

Kubuka  bab pertama :

MINEMA. Adalah makhluk sosial penjaga Gunung Nawang.

Tugas utama : membantu menunjukkan arah yang benar kepada manusia yang tersesat di area Gunung Nawang, serta memberikan penerangan dan kehangatan untuk bertahan hidup.

Ciri-ciri : masa hidup 120-128 tahun, bentuk tubuh ramping, warna kulit dan rambut kecoklatan, sayap lebar dan kuat ( dapat melipat ke belakang punggung saat sedang tidak digunakan ) , dapat mengangkat beban yang lebih berat daripada berat tubuhnya sendiri, suhu badan panas ( dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan ), dapat memproduksi cahaya yang sangat terang dari tubuhnya, dapat melihat dalam gelap, dan dapat terbang dengan kecepatan tinggi. Tidak dapat dilihat oleh manusia di siang hari, tetapi bisa dilihat di malam hari dalam bentuk cahaya.

Sifat : berpikiran lurus, taat pada peraturan, penyabar, lemah lembut dan menyukai hidup sederhana.

Keistimewaan : minema yang telah beranjak dewasa (+/- 40 tahun ) dapat mendengar suara hati manusia terutama saat sedang dalam kesulitan, dan juga bisa mempengaruhi pikiran manusia dalam jarak tertentu ( hanya dipergunakan untuk menunjukkan arah kepada manusia yang sedang dalam kondisi tersesat )

Kegiatan sehari-hari : bertani dan berkebun.

Habitat : area perkampungan di kaki Gunung Nawang yang tidak bisa dilihat, dirasakan dan dimasuki manusia ( kecuali manusia tersebut diarahkan untuk masuk melalui 'lorong penghubung' , yang mana hal ini sangat dilarang untuk dilakukan ) , dan di seluruh area penjagaan Gunung Nawang dengan batas dimensi 113 meter ( baca : Geografi Dasar bab II ; Jarak dan Batas Dimensi beserta Hukum Alam Yang Berlaku ).

 

Seekor kelelawar melintas di depanku. Aku langsung berbelok dan mengejarnya dengan kecepatan super. Sang kelelawar yang ketakutan mencicit-cicit panik sambil terus menghindari kejaranku. Aku terkikik geli.

“Hei Sari !” tegur sebuah suara dibelakangku. Aku menoleh sambil memperlambat lajuku.  “Jangan usil begitu ! Kita ini kan sedang tugas berjaga !”

“Ahahaaa…. Maaf Gung, cuma bercanda kok. Nggak usah marah-marah begitu ah,” sahutku sambil tertawa. Agung berdecak kesal.

“Iyaa, tapi tadi kamu hampir mengenai batas dimensi ! Kita berdua bisa kena teguran !”

“Iya iyaaa…..Ya sudaah, kita lanjut yuk. Sampai ketemu nanti di puncak yaa…!” seruku sembari mengarah ke sisi gunung sebelah barat, menjauh dari Agung yang menuju ke arah timur.

Deretan pepohonan hijau berkelebatan dengan cepat. Angin dingin bertiup kencang. Butiran-butiran besar air hujan yang turun dari langit membasahi wajah dan tubuhku. 

Tiba-tiba terdengar isyarat meminta pertolongan di kepalaku. Langsung saja kupertajam mata dan kusapukan pandangan ke segala arah.

Nah, itu dia. Sepertinya ada seseorang yang sedang kesulitan di bawah sana. Dan akupun segera terbang menukik dengan cepat.

 

***

 

cerita selanjutnya

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun