Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Minema ( misteri ) part-1

28 Oktober 2015   08:09 Diperbarui: 10 Oktober 2016   12:39 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kulangkahkan kaki meninggalkan pelataran gedung fakultas ekonomi yang masih terlihat ramai. Andri pasti sudah menunggu diluar, batinku. Bukannya ge-er sih, tapi memang sudah beberapa minggu ini kami selalu pulang kuliah bersama.

“Hai semua,” sapaku ceria. 

“Hai Sar,” sahut Andri sembari bergeser sedikit memberi tempat. Aku langsung duduk disampingnya. Yanto, Windu dan Rini yang juga ada disitu tetapi duduk di bangku lain, ikut membalas sapaanku. 

Di sepanjang sisi luar gerbang kampus ini memang banyak tersedia bangku panjang yang biasanya digunakan para mahasiswa untuk sekedar bersantai selepas kuliah.

Andri meraih buku catatan berukuran besar dari dalam tasnya dan mulai mengipas-ngipas.

“Udaranya panas sekali ya,” ujarnya. Aku mengangguk mengiyakan sambil ikut-ikutan mengipas dengan lembaran fotokopian yang baru saja dibagikan siang tadi di kelas, meskipun sebenarnya aku tidak merasa kepanasan.

“Ah nggak panas amat kok,” celetuk Rini sambil memandang ke langit yang mulai mendung. “Kamu kebanyakan gerak sih Ndri,  jadinya kepanasan terus.” 

Andri tertawa. Aku juga ikut tertawa malu sambil diam-diam menghentikan kegiatan mengipasku.

Setelah itu kami terlibat pembicaraan seru soal dosen akuntansi galak yang siang tadi memberikan test dadakan. Yanto meledek Windu yang tertangkap basah oleh sang dosen sewaktu sedang berbisik-bisik menanyakan jawaban salah satu soal kepada Rini, dan kemudian langsung diberi tanda silang merah besar di kertas testnya. 

Windu terbahak dengan wajah memerah ditimpali suara cekikikan Rini yang duduk di sebelahnya. Kelihatannya Windu dan Rini memang saling menyukai, meskipun sepertinya belum ada pernyataan apapun dari salah satunya. Masih terlalu cepat mungkin.

Kami memang baru saling mengenal saat semester pertama dimulai dua bulan lalu. Aku yang merasa beruntung bisa menikmati bangku perkuliahan, sangat menikmati saat-saat berkumpul bersama teman-teman seperti sekarang ini. Apalagi diantara mereka ada Andri. 

Sejak pertama bertemu, sosok Andri memang sudah membuatku tertarik. Mungkin karena sifatnya yang supel dan ramah. Disaat anak-anak lain masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan kampus yang jauh berbeda dari lingkungan sekolah, Andri sudah terlihat santai mengobrol seperti teman lama dengan beberapa orang yang padahal baru saja dikenalnya. Melihat Andri yang seperti itu, aku jadi ikut merasa tenang menjalani masa-masa awal kuliah.

 

Setelah matahari semakin condong ke barat, kami memutuskan untuk pulang.

“Yuk Sar, sudah sore nih,” ajak Andri sambil melirik jam digital di layar handphonenya.

“Yuk,” sahutku. 

Windu menoleh ke arah Rini. “Jadi mau fotokopi dulu Rin ?”  

“Iya jadi,” Rini mengaduk-aduk isi tasnya. “Punyaku mungkin ketinggalan tadi di kelas. Fotokopi lagi saja deh. Pinjam punya kamu ya.” 

“Ciee…,” goda Yanto usil.  

“Apaan sih,” kilah Windu sambil memukul bahu Yanto dengan gulungan kertas fotokopiannya. Yanto terbahak dan berlari menjauh. Aku dan Andri ikut tertawa seraya beranjak meninggalkan halaman kampus.  

 

Dan tibalah kini saat-saat yang paling kusukai. Berkat letak gedung kampus yang agak menjorok ke dalam dari jalan raya ini, aku jadi bisa berjalan bersama dan ngobrol sebentar dengan Andri sebelum tiba di halte tempat mangkalnya angkot-angkot yang akan membawa kami pulang. 

“Kamu sudah menyerahkan tugas bahasa inggris belum Sar ?” tanya Andri. Aku menggeleng.

Belum nih,” jawabku, ”Masih bingung menentukan tema karangannya. Soalnya aku juga belum terpikir sih nanti mau berkarir sebagai apa.”

“Kok serius banget Sar. Ngarang aja lah. Batas waktunya tinggal dua hari lagi lho. Kalaupun nanti karier kita yang sebenarnya ternyata nggak sesuai dengan tugas mengarang bahasa inggris sewaktu kuliah, kan nggak akan pengaruh kemana-mana.”

“Ooh…. iya yaa…,” sahutku menyadari kebodohanku. Andri terkekeh geli.  

Itulah Andri. Periang dan banyak teman. Bergaul dengan semua orang. Tidak peduli miskin atau kaya. Padahal di garasi rumahnya terparkir sebuah mobil sedan dan sepeda motor, tetapi dia memilih untuk pulang pergi ke kampus dengan menggunakan angkutan umum. 

Dan ia pasti juga sudah memperhatikan penampilanku yang sangat dibawah standard ini. T-shirt yang sudah kupakai ulang meskipun belum lewat seminggu, celana jeans yang harus kucuci cepat-cepat sepulang kuliah agar langsung kering esok paginya, tas kulit sintetis warna coklat dengan model out-of-date yang kelihatan sekali aku wariskan dari seseorang, dan sepatu flat biru tua yang sudah memudar warnanya tak pernah lepas dari kakiku. Tapi ia tetap saja mau berteman denganku. 

“Terus kalau kamu bagaimana Ndri ? Rencananya mau berkarir sebagai apa ?” tanyaku. 

“Penyiar TV ,” jawab Andri mantap.

“Woow…!” seruku kagum sambil menoleh ke arahnya. Andri nyengir melihat tanggapanku.

“Setelah lulus nanti aku ingin pergi ke Jakarta, mau coba cari kerja disana. Kalau memungkinkan aku mau ambil kuliah broadcasting dulu sebelumnya.” 

“Iya benar tuh, di Jakarta kan lebih banyak kesempatannya ya, untuk bidang yang kamu minati. Tapi kenapa nggak sejak awal aja kamu daftar kuliah di kampus yang ada jurusan broadcastingnya ?”

“Disini kan nggak ada kampus yang ada jurusan broadcastingnya Sar,” sahut Andri. “Lagipula… kalau sekarang-sekarang ini…. aku masih belum bisa pergi jauh meninggalkan rumah…” 

“Oh.… memangnya kenapa ?” tanyaku mencermati intonasi suaranya yang menurun.

“Eh Sar, lanjut besok lagi yaa,” ujar Andri tiba-tiba. Menyadarkanku bahwa kami sudah sampai di halte.

“Oh... okee, daaah !” sahutku sambil melangkah mendekati barisan angkot yang menuju keluar kota. 

 

 

Aku duduk meluruskan kaki di dalam angkot sambil memikirkan kalimat terakhir Andri tadi. Apa ya, yang menyebabkan dia tidak bisa pergi jauh dari rumah ? Apa tidak diijinkan oleh ibunya ?

Sayang sekali lokasi tempat tinggal kami berbeda arah. Rumah Andri terletak di komplek perumahan elite di tengah kota. Sedangkan rumahku justru menjauh dari kota. Bahkan naik ke kaki gunung.

Ingatanku kembali ke seminggu yang lalu waktu kami sedang mengerjakan tugas kelompok di rumah Andri. Rumahnya yang besar dan mewah itu hanya dihuni oleh Andri, ibunya, dan seorang asisten rumah tangga. Ibunya yang terlihat agak lemah fisiknya,  sangat ramah kepada kami. Padahal dengan kedatangan beberapa orang remaja yang super berisik, rumah yang tadinya sepi dan tenang itu mendadak berubah menjadi ramai seperti kebun binatang. Tetapi beliau sepertinya tidak keberatan. Ia malah ikut bercanda dan tertawa mendengar lelucon kami. 

 

Angkot yang kunaiki sudah berjalan menanjak selama 10 menit. Berarti 5 menit lagi saatnya aku turun. Penumpang di dalam angkot hanya tinggal aku, seorang kakek yang membawa potongan-potongan kayu panjang dan seorang ibu bertampang mengantuk yang membawa sebuah keranjang sayur kosong. 

Huh… penumpang angkot ke arah sini memang tidak pernah ada yang keren, gerutuku sambil memandang keluar lewat jendela. Udara dingin semakin terasa. Warna langit yang mendung kelabu melatari pemandangan puncak gunung Nawang yang indah.

Sang kakek dan sang ibu sudah turun. Semenit lagi giliranku menyudahi perjalanan. Aku memang selalu menjadi penumpang yang turun paling terakhir.  

 

Kusibak sulur-sulur pohon yang menjuntai menutupi bagian luar ujung jalan setapak yang menuju ke desaku.  Langit sudah terlihat gelap meskipun hari masih sore. Pukul 4 lewat 5 menit menurut jam hello kitty murahan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Petir mulai bergemuruh di kejauhan pertanda sebentar lagi hujan akan turun. 

Dengan hati-hati kulangkahi akar-akar besar pohon tua yang menonjol bersilangan di permukaan tanah yang lembab. Aku tidak pernah suka pada jalan setapak ini. Tidak terlalu panjang, tetapi berat untuk dilewati. Pepohonan disini juga tumbuh sangat lebat dan rapat sehingga cahaya matahari tak bisa menembus sampai ke tanah. Suasananyapun amat sunyi. Kesunyian yang tidak wajar menurutku. Karena tak terdengar sedikitpun suara burung ataupun binatang kecil lain yang biasanya terdengar di dalam hutan.

Ingin rasanya segera keluar dari sini. Tapi sepatu berbahan kanvas kaku dengan sol yang keras ini menghimpit jari-jari kakiku dengan ketat. Semakin cepat aku melangkah, semakin sakit rasanya.

Aku menoleh ke belakang. Kemudian ke balik deretan pepohonan rimbun yang mengapit di kiri dan kananku. Tidak ada seorangpun yang terlihat. 

“Aduh !” jeritku tertahan. Kakiku terperosok ke dalam lubang kecil yang sebelumnya tertutup daun-daun kering yang berserakan. Cekungannya yang cukup dalam dan sempit membuat kakiku terjepit. 

Duuh, kenapa sih tidak ada satupun pihak yang berusaha merapikan tempat ini? Biarpun jarang dilewati tapi kan sepantasnya jalan setapak itu nyaman buat menapak? Bukannya malah dipenuhi dengan sampah daun kering begini, omelku dalam hati.  

Tiba-tiba cahaya kilat menyambar, menerangi bagian-bagian hutan yang gelap. Menciptakan bayangan-bayangan aneh dari sudut-sudut pepohonan. Suasana menjadi semakin menyeramkan. Kutarik paksa kakiku yang terjepit dan bergegas melangkah.

Sambil terpincang-pincang kesakitan, berkali-kali kutoleh ke belakang. Gelapnya hutan terasa begitu menyesakkan, seperti hendak menarikku masuk kedalamnya. Suara napasku yang memburu terdengar semakin jelas dalam kesenyapan yang menekan gendang telingaku. Perasaan tidak enak seperti ada yang sedang mengawasi memacu kakiku untuk melangkah lebih cepat. 

Bagaimana kalau ada orang jahat ? Atau…. sesuatu yang lebih seram ? 

Dan setelah beberapa menit yang menegangkan, akhirnya sampai juga diujung jalan setapak. Fiuuh, kuhembuskan napas lega. Dari kejauhan nampak beberapa anak kecil sedang bermain kejar-kejaran di dekat gerbang masuk desa. Hangatnya suasana keseharian di desa membuat rasa takutku perlahan memudar. 

Kuperlambat langkah sambil berusaha mengatur napas. Rasanya sedikit memalukan kalau sampai terlihat dalam kondisi terengah-engah dan ketakutan seperti ini, pikirku sambil berusaha tetap berjalan dengan anggun walaupun perih di kakiku terasa menyengat. 

Orang-orang di desa masih terlihat ramai beraktifitas. Beberapa ibu tampak sedang menyelamatkan baju-baju yang sedang dijemur dari tetesan air hujan yang sepertinya sebentar lagi akan turun dengan deras. Beberapa lagi memanggil anaknya masing-masing untuk segera masuk ke dalam rumah. Terlihat sosok Pak Kepala Desa yang sedang memberi instruksi kepada seseorang tentang cara menanam pohon di halamannya. 

Aku melangkah memasuki gerbang desa. Kulirik gapura yang berdiri di atas gerbang yang seharusnya menampakkan tulisan ..... apa ya, ucapan selamat datang mungkin? Aku sampai tidak ingat, saking lamanya gapura ini dibiarkan berlumut tebal dan dijalari tanaman merambat. 

Terbayang olehku pagar rumah Andri yang terbuat dari besi kokoh bercat hitam mengilat, dan dindingnya yang berwarna putih bersih. Begitu juga dengan rumah-rumah lain disekitarnya. Semua terlihat rapi dan modern sekali. 

Kubandingkan dengan pemandangan di sekelilingku. Rumah-rumah yang dindingnya terbuat dari potongan-potongan kayu, atap dari lembaran kulit pohon yang disambung-sambung, dan tak ada satu rumahpun yang dipasangi pagar. Penduduk disini yakin sekali tidak bakal ada perampok yang akan menjarah rumah mereka. 

Tapi memang betul. Selain jalan masuknya jauh dari kota dan sulit untuk dilalui, juga tidak ada barang apapun yang bisa dicuri. Tidak ada TV, radio, handphone atau barang elektronik lainnya. Masyarakat disini benar-benar primitif. Itu istilahku untuk mereka yang ngotot menolak modernisasi.

 

Titik-titik besar air hujan mulai luruh dari langit saat aku menginjakkan kaki di halaman rumah. Pintu depan terbuka. Kuhirup dalam-dalam wangi aroma masakan ibu yang menguar dari arah dapur. Perutku memang sudah lapar sejak tadi. 

“Kek, nggak masuk ? Hujan lho, nanti masuk angin,” sapaku pada kakek yang sedang duduk berayun-ayun di atas kursi goyangnya. Beliau hanya mengangguk-angguk seperti biasa. Kakekku memang sudah tua dan pikun. Tidak bisa diajak berkomunikasi lagi.

Kulempar senyum ramah pada ibu tetangga sebelah rumah. Ia membalas tersenyum dengan kaku lalu buru-buru masuk ke dalam rumahnya. Entah menghindari hujan atau menghindariku. Orang aneh, batinku sambil melangkah ke dalam.

“Sudah pulang Sari,” terdengar suara ibu dari arah ruang makan.

“Iya bu,” sahutku sembari melepas sepatu lalu langsung masuk dan menghempaskan diri di salah satu kursi makan. ”Capeek banget tadi lari-lari. Soalnya takut kehujanan sih.”

“Kenapa harus takut dengan hujan ?” tanya ibu sambil menata piring di meja.

“Kan kalau kehujanan jadi basah semua bu. Sari bisa masuk angin atau kena flu.” 

“Kamu kan tidak pernah sakit Sari. Lagipula sejak kecil kamu suka  hujan.”

“Wah beda dong buu, sekarang kan Sari sudah dewasa, sudah kuliah pula. Kalau sampai sakit karena kehujanan nanti bagaimana ? Bisa-bisa nggak ikut ujian.” 

Ibu terdiam. Beliau memang tidak pernah mau menanggapi kalau aku  bicara soal kuliah. Akupun memilih diam saja sambil meniup-niup jari kakiku yang lecet dan mengelupas kemerahan.

“Kakimu kenapa ?” tanya ibu akhirnya.

“Lecet bu. Sepatu Sari kan bahannya keras dan kaku, kesempitan lagi. Dibawa lari-lari ya jadinya begini deh,” keluhku agak dilebih-lebihkan supaya ibu tahu penderitaanku. Siapa tahu dibelikan sepatu baru. 

“Salah kamu sendiri kenapa harus berlari. Kan sudah ibu bilang hujan itu tidak berbahaya.”

“Iya sih bu… kalau cuma kehujanan saja mungkin nggak apa-apa. Tapi jalan setapak itu lho, kan sepi dan gelap. Sari takut. Kalau ada orang jahat bagaimana ?”

“Tidak ada penjahat di desa kita Sari,” sahut ibu.

“Iya deeh, nggak ada orang jahat dari desa kita. Tapi kalau orang jahatnya datang dari luar desa bagaimana ?”

Ibu menggeleng-gelengkan kepala dengan kesal. 

“Atau,” sambungku bandel, ”Kalau ada hantu, bagaima…”

“Sudah Sari," potong Ibu sambil menatapku dengan pandangan tegas, menandakan bahwa pembicaraan ini tidak perlu dilanjutkan lagi. 

“Mandi dulu sana,” ujarnya, “Setelah itu kita makan.”

”Iya bu,” jawabku menurut dan segera melangkah ke kamar mandi.

 

Hujan masih terus turun dengan deras sampai saatnya tidur. Aku berbaring di kamarku yang sempit sambil membaca ulang novel horror favoritku. Tetesan air hujan yang jatuh ke lantai memercik lagi ke atas mengenai jari-jari kakiku yang masih meradang. 

Kugeser posisi kakiku sambil melirik ke arah atap dengan sinis. Dasar rumah kampung. Atap kulit pohon ini payah sekali. Karena terus-terusan terkena angin dan air hujan, lama kelamaan ikatannya mengendur dan lembaran-lembarannya jadi saling bergeser. Sehingga saat hujan turun, airnya bisa menetes ke dalam rumah. Belum lagi dindingnya. Angin malam dapat bertiup  masuk dengan mudahnya melalui sambungan potongan-potongan kayu yang tidak rata.

Kenapa ya ibu tidak berusaha membuat rumah kami menjadi lebih nyaman ? Mengganti atap dengan genteng mungkin ? Atau mengganti dinding rumah dengan batu bata ?

Dan kenapa ya ibu sangat antipati terhadap hal-hal yang modern ? Ibu tidak suka aku kuliah, tidak suka dengan gaya berpakaian dan tidak suka cara bicaraku. 

Yah sebenarnya bukan ibu saja sih. Semua orang di desa juga sepertinya menganggap keputusanku untuk menuntut ilmu di bangku kuliah adalah sebuah hal yang tidak perlu. Hal itu terlihat jelas dari tatapan tidak suka mereka setiap melihatku pulang pergi ke kampus.

Tapi anehnya, kalau ibu tidak setuju, kenapa sejak awal ibu mau membiayai kuliahku dari uang peninggalan mendiang bapak ? Mungkin karena ibu merasa kasihan padaku yang saat itu sedang sedih karena ditinggal oleh bapak ? 

Entahlah...

 

GLAARRR !! 

Suara petir yang sangat keras membuatku tersentak bangun. Kukerjap-kerjapkan kelopak mataku yang lengket lalu melirik jam di tangan yang menunjuk ke angka empat. Ternyata masih pagi sekali. 

Kuintip keluar melalui celah di dinding kamar. Hujan masih turun dengan deras. Dibalik cahaya kilat yang menghiasi gelapnya langit, nampak jelas siluet  puncak gunung Nawang yang berdiri gagah seolah tak takut pada petir yang saling berlomba ingin menyambar tubuhnya.

Pemandangan yang mengerikan, batinku seraya menarik ujung selimut yang tersingkap, berniat hendak melanjutkan tidur.

Tapi tunggu dulu ..… apa itu ?

Ada titik-titik cahaya aneh di langit yang sepertinya bukan cahaya kilat. Kurapatkan kembali wajahku ke dinding supaya bisa melihat lebih jelas. 

Ada dua titik cahaya yang bergerak terpencar diatas pucuk-pucuk pepohonan di dekat puncak gunung. Gerakannya lincah seperti gerakan lebah yang sedang terbang kesana kemari mencari madu bunga. Kunang-kunang ? Sepertinya bukan. Tidak mungkin kunang-kunang bisa terlihat sebesar dan sejelas itu dari sini, pikirku sambil terus mengamati.

Setelah beberapa saat terbang terpisah di masing-masing sisi puncak gunung, kemudian kedua titik cahaya itu saling mendekat dan terbang beriringan selama beberapa saat. Lalu tiba-tiba berhenti dan terdiam di udara. Seperti sedang berkomunikasi satu sama lain. Kemudian mereka mulai bergerak lagi. Kali ini secara bersamaan menukik ke bawah menyusuri sisi gunung. Meluncur dengan kecepatan tinggi.

Apa itu burung ? Tapi burung apa yang bisa bercahaya seperti itu ? Dan gerakannya cepat sekali. 

Aku terus memperhatikan sambil berpikir keras, mengingat. Makhluk apa kiranya yang mempunyai ciri seperti itu ?

Cahaya-cahaya itu masih terus terbang lurus kebawah dengan kecepatan sama,  tak terganggu sama sekali oleh curahan hujan yang semakin deras.

Dan setelah mendekati kaki gunung, tiba-tiba mereka berubah arah. Membelok tajam ke arah pandangan mataku. 

Hei…… jangan jangan ….. mereka sedang menuju kesini ? Ke desaku ? 

Bulu kudukku meremang. Apa mereka tahu kalau sedang dimata-matai olehku ?

Mereka semakin mendekat. Aku menahan napas tegang. Beberapa detik lagi mereka akan sampai disini.

Semakin dekat…. semakin dekat……  dan semakin dekat…...

Dan akhirnya kedua sosok cahaya itu berhenti di ujung jalan utama desa dan melayang di udara. Kira-kira setengah meter diatas tanah. 

Aku tidak dapat melihat bentuk apapun di balik cahaya menyilaukan itu. Tapi aku yakin ukurannya terlalu besar untuk seekor burung, apalagi lebah.

Kemudian mereka mulai bergerak perlahan. Melayang rendah menyusuri jalan. Seperti burung bangkai yang sedang mengincar mangsa. Seperti …. hantu.

Dengan ketakutan, aku melompat dari tempat tidur dan menghambur keluar kamar. Dan berlari masuk ke kamar ibu.

"Ibuuu !!” teriakku sambil mendaratkan tubuh di samping ibu. 

“Ada apa Sari ?” ibu terbangun kaget dan membuka matanya sedikit.

“Ada hantu buu, diluaarr. Mereka menuju ke siniii !” ujarku gemetaran.

“Aah, kamu bermimpi,” sahut ibu sambil merebahkan kepalanya kembali ke bantal. 

“Nggak bu, Sari nggak mimpii. Hantu itu tadi beterbangan di puncak gunung. Setelah itu mereka turun ke desa ini bu, mereka ada diluar, sedang menuju kesinii…!” aku ngotot berusaha membuat ibu mau bangun.

“Kamu cuma mimpi Sari….,” ibu menjawab lagi tanpa membuka mata.

“Aduuh ibuu, Sari nggak mimpi buu….”

“Ssst… sudahlah..... ayo tidur,” ujar ibu setengah bergumam dan kembali terlelap.

Sia-sia saja. Ibu tak akan percaya ceritaku. Akhirnya kupejamkan mata rapat-rapat sambil berbaring  meringkuk disamping ibu. Berharap cahaya-cahaya aneh itu tidak benar-benar mendatangiku.

 

 ***

 

Matahari sudah bersinar terang ketika aku terbangun.  Ibu tidak ada. Pasti sedang sibuk dengan aktifitas pagi harinya.

Aku menggeliat malas dan menguap sambil tetap berbaring. Lalu tiba-tiba teringat sesuatu. Oh iyaa ! Kuliah pagi ! Jam di tangan sudah menunjuk ke angka delapan. Gara-gara cahaya aneh itu, aku jadi susah tidur lagi semalam. Segera kupaksakan diri untuk bangun dan beranjak ke kamar mandi.

“Sarapan Sari,” ajak ibu ketika melihatku keluar dari kamar setelah mandi.

“Aduh maaf nggak sempat bu. Sari sudah terlambat nih,” jawabku sembari sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tas.

“Sarapan dulu agar badanmu sehat,” kata ibu lagi.

“Iya bu, tapi Sari ada kuliah jam 9. Sekarang kan sudah hampir setengah sembilan. Nggak bakal sempat.”

Ibu menarik  napas panjang dan menghembuskannya dengan keras. Aku menoleh.  

“Kuliah apa sih ….. ,” ujar ibu pelan tanpa melihatku. Duh, mulai deh, keluhku dalam hati.

“Kuliah bahasa inggris bu, jam 9. Setelah itu manajemen dasar dan sosiologi,” aku menjelaskan dengan sabar. 

Ibu hanya diam. 

“Sari berangkat ya bu,” pamitku kemudian dan langsung pergi tanpa menunggu jawaban ibu lagi.

 

Aku berjalan tergesa keluar dari rumah. Aroma rumput dan tanah basah sisa hujan semalam terasa sangat menyegarkan. Tampak beberapa orang laki-laki berjalan berlawanan arah denganku sambil membawa peralatan bertani dan berkebun. Mereka menuju ke area persawahan dan perkebunan yang letaknya sedikit lebih naik lagi ke atas gunung.

Beberapa anak kecil yang sedang bermain kelereng menolehkan kepalanya. Aku tersenyum pada mereka. Seorang remaja laki-laki yang membawa seikat ranting kering melewatiku sambil mencuri pandang. Dua orang anak perempuan yang sedang duduk di halaman depan sebuah rumah memperhatikanku melalui sudut matanya dan segera saling berbisik setelah aku melewati mereka beberapa langkah.

Ah cuek sajalah, pikirku. Mereka semua memang tidak akan pernah bisa mengerti dengan apa yang kulakukan. Lihat orang pakai celana jeans, t-shirt dan sepatu saja sudah seperti melihat makhluk aneh dari planet lain. Bagaimana kalau kuajak berdiskusi soal pendidikan dan karier? Dijamin nggak bakal nyambung deh. 

“Mau kemana Sari ?” tanya seseorang dari belakang. Aku menoleh.

“Hai Gung !” sahutku. Ternyata Agung, teman mainku sejak kecil. Ia membawa sekarung kecil daun-daunan segar yang sepertinya baru dipetiknya dari kebun.

“Mau kuliah dong,” jawabku ringan sambil menyamai langkahnya.

“Hmm….” Agung bergumam pelan. Ia menatapku dari samping agak lama. Entah apa yang sedang dicermatinya. 

“Kamu mau kemana ?” tanyaku pura-pura tak peduli dengan tatapannya.

“Mau pulang, ini sudah ditunggu sama ibu,” Agung menunjuk barang bawaannya.

“Ooh…. Kalau begitu aku duluan ya Gung, sudah terlambat nih,” ujarku sambil melambai dan mempercepat langkah meninggalkan Agung.

Maafkan aku ya Gung, batinku merasa bersalah. Dulu kita memang sangat akrab. Main bersama, kemana-mana bersama. Tetapi sekarang jalan kita sudah berbeda. Aku tidak mau terkurung di desa ini terus seumur hidup. 

 

Angkot yang kunaiki berjalan perlahan menuruni jalur pegunungan menuju ke kota. Seperti biasa, aku menjadi penumpang pertama.

Cuaca hari ini sangat cerah. Warna biru muda puncak gunung Nawang yang diselimuti awan putih terlihat sangat cantik dari bawah sini. 

Tapi ..... cahaya-cahaya yang kulihat semalam itu apa ya ? Aku yakin sekali tidak sedang bermimpi. Apa mereka sejenis binatang ? Sepertinya bukan.  Masa hantu sih ? Hiiih … Mudah-mudahan juga bukan.

 

Kuliah hari ini sangat padat. Semua dosen membekali kami dengan berbagai bahan acuan untuk menghadapi midtest. Aku berjalan keluar kelas sambil mendengarkan keluhan Rini yang harus membeli buku-buku baru lagi karena beberapa bukunya hilang. 

“Hai Sar,” seseorang menepuk bahuku dari samping. Aku menoleh. 

“Hai Ndri,” balasku sambil berdebar melihat senyum manis Andri yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku.

“Makan baso yuk di kantin. Laper banget niih,” ujar Andri sambil mengusap-usap perutnya dengan ekspresi lucu. Aku tertawa. Wah … tumben Andri mengajakku makan. Kulirik Rini yang mengedipkan matanya sambil tersenyum seolah memberi isyarat persetujuan, dan langsung berjalan meninggalkan kami.  Aku mengangguk setuju ke arah Andri dan mengikuti langkahnya menuju ke kantin kampus.

Saat kami tiba, kantin sudah ramai dan penuh sesak. Kulihat Windu, Yanto dan beberapa teman sekelas lain juga ada disitu. Kami melambai sekilas ke arah mereka dan langsung mengambil tempat di pojok, yang baru saja ditinggalkan oleh dua orang mahasiswa yang sudah selesai makan. Andri tampak senang mendapat tempat duduk tepat di bawah kipas angin. Kamipun langsung memesan dua porsi mie baso dan dua gelas es teh manis.

”Eh Ndri, kamu hanya tinggal berdua saja dengan ibu kamu ya ?” kucoba membuka pembicaraan sewaktu  mie basoku sudah hampir habis. Andri mengangguk sambil meneguk es teh manisnya.

“Sama kalau begitu,” sambungku, “Bapakku juga sudah meninggal.”

Andri menoleh kearahku sesaat. Lalu menunduk lagi menatap gelas tehnya.

“Mmm…. sebenarnya sih nggak sama....” ujarnya pelan.

“M… maksudnya ?” aku tergagap. Wah gawat, sepertinya aku salah bicara. 

Kabar yang kudengar dari teman-teman sekelas, ayah Andri sudah meninggal. Tapi jangan-jangan mereka salah ? Jangan-jangan sebenarnya ayah dan ibunya hanya berpisah karena bercerai saja ? Aku harus cepat-cepat meralatnya.

“Eh maaf Ndri, aku kira…”

“Ayahku nggak meninggal,” potong Andri, “Beliau hilang di Gunung Nawang sekitar empat bulan yang lalu.”

Aku tertegun. “Hilang…?” 

Andri mengangguk.

“Kamu nggak pernah dengar berita itu ya Sar ? Padahal waktu itu ramai sekali lho diberitakan di koran dan tv lokal,” Andri terlihat agak heran. 

Aku menggeleng. Bagaimana bisa tahu berita apapun kalau penjual koran saja malas untuk masuk ke desa kami. Semoga saja Andri tidak menanyakan dimana sebenarnya tempat tinggalku. Aku belum siap.

“Ayahku itu orangnya sangat romantis,” Andri mulai bercerita. “Waktu itu dua hari menjelang hari ulang tahun ibu. Beliau memberitahuku tentang rencananya naik ke  gunung Nawang untuk mengambil bunga edelweiss yang akan diberikan kepada ibu sebagai hadiah kejutan ulang tahun. Tapi ternyata… sampai hari ulang tahun ibu tiba, ayah nggak pulang-pulang juga.” 

“Tim SAR dan para relawan dari kelompok pencinta alam sudah berusaha mencari, tapi ayah tetap tidak ditemukan. Akhirnya setelah memakan waktu seminggu lebih, pencarianpun dihentikan.” 

“Tapi Ndri .… kalau sudah beberapa bulan berlalu .… kan berarti… mm... maaf.... ,” ujarku salah tingkah.

“Iya aku tahu…,” jawab Andri dengan suara parau, "Biarpun kecil sekali kemungkinannya ayah masih hidup setelah empat bulan menghilang, tapi aku dan ibu masih tetap berharap ayah bisa ditemukan. Seperti apapun kondisinya."

“Kami merasa kejadian ini sangat aneh. Kalau ayah meninggal diserang binatang buas, seharusnya barang-barangnya masih bisa ditemukan bukan ? Atau paling tidak…,” Andri memejamkan mata sejenak, ”Sisa-sisanya….”  

Aku meneguk ludah. Ngeri membayangkannya.

“Selama ini memang tidak pernah ditemui seekor harimau atau binatang buas lainnya di gunung Nawang. Dan masih ada kemungkinan ayah jatuh ke jurang yang dalam. Tapi menurut tim SAR mereka sudah menyisir ke seluruh bagian gunung dan tidak menemukan apa-apa.”

Hilang dan tidak ditemukan jejaknya sama sekali. Aneh…

“Eh Sar…,” bisik Andri tiba-tiba, ”Kamu …. pernah dengar mitos tentang.... minema ?”

Minema ?”  

Aku menggeleng pelan.

“Aku… sebenarnya aku juga nggak percaya dengan hal-hal seperti itu. Tapi… ada yang bilang, jangan-jangan ayahku diculik minema. Makhluk halus penunggu gunung Nawang.”

“Makhluk halus....? Aku… belum pernah dengar…” sahutku bimbang. 

“Yah…. itu juga hanya menurut beberapa orang aja sih. Mereka bilang di gunung Nawang itu ada penunggunya yang disebut  minema. Kalau melihat dari kasus hilangnya ayahku yang tak meninggalkan jejak sedikitpun, bisa jadi beliau diculik oleh minema,” ujar Andri.

“Katanya dulu juga pernah ada seorang remaja yang meninggal tiba-tiba dengan cara yang aneh waktu sedang kemping di area perkemahan di kaki gunung Nawang. Lalu setelah kejadian itu, area perkemahan itu akhirnya ditutup. Dan menurut gosipnya sih, ada hubungannya juga dengan minema…..” lanjutnya.  

“Emm ….. si minema ini …. menurut cerita orang-orang bentuknya seperti apa ?” tanyaku teringat cahaya aneh yang kulihat semalam.

Andri mengangkat bahu. “Aku juga nggak tahu Sar… waktu itu aku masih merasa terpukul sehingga tidak begitu peduli dengan cerita orang-orang. Yang aku rasakan hanya kesedihan yang luar biasa. Pikiranku kacau, karena saat itu aku sedang ujian kelulusan SMU. Masih untung aku bisa lulus….”   

Sesaat kami berdua terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Ya sudah kita pulang yuk,” ajak Andri kemudian, dengan wajah yang sudah kembali ceria,  “Sudah sore nih.”

Aku menggangguk dan beranjak mengikutinya meninggalkan kantin.

“Jadi.… yang kamu bilang nggak bisa pergi jauh dari rumah itu… karena kamu nggak mau meninggalkan ibumu sendirian ya Ndri ?” tanyaku saat kami sedang menyusuri jalan keluar dari kampus seperti biasanya. Andri mengangguk sambil menyeka wajahnya yang berkeringat dengan sehelai tissue. 

“Iya. Ibuku sih nggak pernah melarang apapun yang aku cita-citakan. Tapi… aku nggak tega kalau harus meninggalkan ibu sendirian dengan masih terbebani pikiran soal ayah yang belum juga terpecahkan sampai saat ini,” Andri melipat tangannya di dada. Keningnya berkerut.

“Mm… Ndri… maaf ya, aku jadi bikin kamu sedih....” ujarku merasa menyesal telah memulai topik pembicaraan yang tidak menyenangkan. “Mudah-mudahan ibumu nggak sedih terus dan segera ada kabar tentang ayah kamu ya…”

“Iya, nggak apa-apa kok Sar, makasih ya sudah mau mendengarkan ceritaku,” sahut Andri sembari tersenyum.

 

 ***

 

Hari Minggu. Hari yang menyebalkan karena tidak ada jadwal kuliah. Dan kalau tidak ada kuliah, berarti juga tidak bisa bertemu dengan Andri.

Aku sangat ingin melakukan sesuatu untuk membantu Andri. Walaupun saat ini hampir tidak ada kemungkinan untuk menemukan ayahnya dalam kondisi hidup, paling tidak aku ingin mencari keterangan sejelas mungkin. Agar Andri dan ibunya dapat melanjutkan hidup dengan hati lapang. 

Tapi sejak melihat penampakkan cahaya-cahaya itu, aku memang tidak pernah mencoba mengintip keluar lagi di malam  hari. Rasanya takut. Lagipula kalau memang cahaya-cahaya itu adalah minema, berarti mereka makhluk yang jahat. Aku tak mau mengambil resiko. Lebih baik aku mencoba bertanya dulu kepada Ibu.

 

Kuhabiskan suapan terakhir makan siangku sambil mengamati situasi. Kakek berayun santai di kursi goyang seperti biasanya. Ibu sudah menyelesaikan makan siangnya dan sekarang sedang menikmati teh hangat. Mudah-mudahan mood ibu hari ini sedang baik, harapku.

“Bu,” panggilku membuka pembicaraan. 

“Ya Sari," sahut Ibu. 

“Ibu pernah dengar mitos tentang minema?”

Trang !!

Ibu mendaratkan cangkir tehnya dengan keras di atas meja. Percikan tehnya tumpah sampai ke lantai.

“Apa maksudmu Sari ?” tanya ibu tanpa memandangku. Tangannya yang sibuk mengelap tumpahan teh terlihat sedikit bergetar.

“Naah, berarti ibu pernah dengar kan ?” sahutku cepat melihat reaksi ibu. 

“Minema itu, memangnya suka menculik manusia ya bu ?” 

Derit suara kursi goyang kakek mendadak berhenti. Ibu melirik sekilas ke arah kakek.

“Sudah Sari. Tidak usah membicarakan hal-hal seperti itu,” tukas ibu sambil mengernyitkan kening.

“Aah ibu selalu begitu deh. Bu, beberapa malam yang lalu waktu hujan itu, Sari kan lihat. Sari takut sekali waktu itu, tapi ibu malah nggak percaya. Sari lihat kok bu, ada cahaya putih berterbangan di puncak gunung, lalu mereka terbang turun dan mendarat di jalan utama desa kita ini. Apa itu yang namanya minema ya ? Iya ya bu ?" berondongku dengan suara semakin kencang.

“Hentikan ocehanmu itu Sari !!" bentak Ibu dengan suara keras, "Dan jangan pernah bicara soal itu lagi !!"

Aku terhenyak. Wajah Ibu terlihat sangat marah. Belum pernah kulihat ibu semarah ini. 

Lalu tanpa berkata apa-apa lagi ibu melangkah pergi meninggalkan ruangan. Aku hanya bisa terdiam ditemani derit suara kursi goyang kakek yang kembali terdengar.

 

Ughh !! Kulampiaskan kekesalanku pada kerikil-kerikil kecil yang bertebaran di sepanjang jalan. Kenapa sih ibu harus semarah itu waktu kutanya soal minema ? Apa aku sudah mengucapkan sesuatu yang ditabukan di desa ini ? Tapi kalau itu memang hal yang tabu, kenapa aku tidak pernah mendengar soal itu sebelumnya ?

Sedih rasanya. Dulu ibu tidak begitu. Kami tertawa dan bercanda setiap hari. Ibu selalu ceria, sabar, dan tidak mudah marah. Tetapi sekarang…. 

Sejak kapan ya ibu mulai berubah ? Sejak aku memutuskan untuk kuliah di kota ? Atau sejak bapak meninggal ? Hmm…aku berusaha mengingat-ingat. Kapan ya tepatnya….

“Mau kemana Sari ?” sebuah suara berat menyapaku.

Sambil berpikir mengapa aku sering mendengar pertanyaan seperti ini, aku mendongak. Pak Kepala Desa berdiri di hadapanku. Aku melirik ke sekeliling. Ternyata tanpa sadar aku sudah berjalan  jauh sampai hampir ke batas desa.

“Ehh… mau .… mau kerumah Agung pak,” jawabku asal saja sambil tersenyum sopan. Kebetulan rumah Agung memang sudah dekat sekali dari sini. Tinggal beberapa langkah lagi.

“Ooh begitu,” Pak Kepala Desa mengangguk-angguk. “Syukurlah kamu masih mau bergaul dengan teman-teman lama kamu Sari,” sambungnya lagi sambil tersenyum penuh arti.

Rasanya lebih seperti peringatan daripada sebuah sapaan ramah tamah. Aku hanya  tersenyum  dan melanjutkan langkah.

Kubelokkan kakiku memasuki pekarangan rumah Agung. Aku memang tidak tahu mau kemana lagi. Mau pulang tapi malas bertemu dengan ibu yang saat ini pasti masih emosi gara-gara kejadian tadi. Lagipula aku juga ingin menanyakan tentang minema kepada Agung. Mungkin dia tahu sesuatu.

Kulihat ibu Agung sedang menyapu halaman depan rumahnya. “Permisi bu,” sapaku. “Agungnya ada ?”

Ibu Agung menoleh dan terlihat agak terkejut ketika melihatku. Tapi belum sempat beliau bicara apa-apa, tiba-tiba Agung keluar dari dalam rumah.

“Oh… Sari. Tumben datang kesini.”

“Iih jahat banget sambutannya Gung,” aku nyengir agak malu, ”Iya maaf deeh aku baru sempat main kesini sekarang.”

Agung tersenyum dan mengajakku keluar. Ibu Agung  hanya diam saja dan melanjutkan kegiatan menyapunya. Beliau yang dulu sangat akrab denganku, sepertinya sekarang juga ikut-ikutan menganggapku aneh.

 

Kami berdua berjalan santai menuju ke sungai kecil di sisi desa sebelah barat. Agak jauh dari lokasi rumah penduduk. Sesampainya disana Agung mengajakku duduk di atas batu-batuan besar yang letaknya sedikit ke tengah sungai.

Suara gemericik air yang mengalir jernih dibawah kakiku membuat suasana terasa nyaman dan tenang. Kuhirup dalam-dalam aroma hutan yang terbawa oleh angin. Sudah lama sekali rasanya aku tidak pernah datang kemari.

“Bagaimana kabar kamu Sar ? Lama sekali kita tidak bertemu seperti ini,” Agung membuka pembicaraan.

“Aku baik-baik aja,” jawabku sambil melompat turun dari batu dan  berjalan agak ke tengah. Jari-jari kakiku mengorek-ngorek pasir lembut di dasar sungai. Airnya terasa dingin menyegarkan.

“Maaf ya Gung. Yaa maklumlah baru semester pertama kuliah, absensinya ketat banget, dosennya juga galak-galak dan sering ngasih tugas seabrek.”

Agung hanya menunduk dalam diam.

“Oh iya, aku punya teman baik lho,” sambungku,” Namanya Andri. Dia asik banget orangnya, ramah pula. Setiap selesai kuliah aku selalu jalan bareng sama dia. Waktu itu juga aku dan teman-teman sekelas pernah datang kerumahnya…”

Mendadak Agung melompat turun dari batu yang didudukinya dan menghampiriku.

“Sudahlah Sari,” ujarnya pelan. “Kasihan ibumu. Beliau jadi semakin susah karena kamu..…”

“Apaan sih Gung ? Kok tiba-tiba kamu ngomong begini ? Maksud kamu apa ?” tanyaku keheranan.

Agung menarik napas berat.  

“Maksudku, soal... kuliah.... teman-teman..... dan …. si Andri ini….,” kalimatnya terputus dan ia menarik napas sekali lagi.

“Apa…?” aku tertegun sejenak. “Ya ampun Gung…. Ternyata kamu sama aja ya seperti ibu dan orang desa lainnya yang nggak setuju aku kuliah di kota ? Astaga…. aku nggak nyangka kamu sekolot itu. Kok kamu nggak bisa berpikiran maju seperti aku sih ? Okelah kalau kamu memang nggak punya uang untuk biaya kuliah. Tapi janganlah kamu ikut-ikutan melarang aku untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi ! Aku nggak mau seperti orang lain di desa ini yang hidupnya hanya dihabiskan untuk bertani dan berkebun saja ! Aku nggak mau itu ! Aku ingin jadi orang berpendidikan yang bisa berkarier demi masa depanku !!” ocehku penuh kemarahan.

Agung tercengang. Mulutnya sedikit terbuka menunjukkan keterkejutannya.

“Sari…. ka... kamu... parah sekali....” ujarnya terbata-bata.

“Apa ? Apa kamu bilang Gung ?” emosiku semakin meninggi. “Aku parah ? Kamu tuh yang parah !! Kamu iri ya, aku bisa kuliah sementara kamu nggak  bisa ? Atau..… ooh kamu cemburu ya aku punya teman dekat ? Iya kan ? Andri itu bedaaa sama kamu Gung ! Dia punya cita-cita tinggi, ingin berkarir di Jakarta, ingin sukses, ingin maju ! Nggak seperti kamu yang pola pikirnya primitif !!” bentakku keras-keras tanpa mempedulikan perasaan Agung.

Wajah Agung berubah merah padam. Entah karena marah atau malu karena aku berhasil menebak dengan tepat isi hatinya. Dan tanpa bicara apa-apa lagi ia langsung berbalik dan melangkah pergi.

“Hei Gung ! Agung ! Kok langsung pergi sih ? Heeii !!” teriakku. Agung tak menoleh sedikitpun.

Huhh !! Kutendang-tendang air berpasir di bawah kakiku dengan kesal. Padahal kami baru saja ngobrol akrab lagi setelah sekian lama tidak bertemu. Sekarang malah gagal rencanaku untuk bertanya soal minema padanya. Tapi sudahlah. Mood ku juga sudah hilang.

 

Aku berbaring di atas batu besar tempatku duduk sebelumnya. Matahari sudah mulai condong ke barat. Angin dingin dari gunung Nawang yang bertiup sepoi-sepoi perlahan meredakan emosiku. Menyesal juga tadi aku sudah bicara sekasar itu pada Agung. Nanti harus kucari cara untuk berbaikan dengannya. 

Kutatap langit cerah biru muda bermotif bercak-bercak awan putih diatasku. Seperti lukisan yang dibuat oleh tangan anak-anak. Beberapa ekor burung entah dari jenis apa terlihat terbang berkelompok mengikuti arah angin. Gerakan terbang mereka yang halus dan berirama seperti menghipnotisku. Rasanya ingin sekali ikut terbang bersama mereka.

Ingin ikut…… ingin terbang….

Aku berlari kencang. Ibu mengejar sambil berteriak-teriak. Tak tahu apa yang dikatakannya. Deru suara angin menyelubungi telingaku. Kupercepat lariku. Ibu masih mengejar sambil terus berteriak. Aku sampai di ujung jalan setapak dan berlari memasukinya. Tubuhku terasa berat. Aku menoleh dan melihat ibu tak lagi mengejarku. Ia hanya berdiri menangis di ujung jalan sambil mengulurkan tangan, memanggilku kembali. Aku tak mempedulikannya dan terus berlari....

Gedung putih besar berjendela banyak itu terlihat penuh dengan orang-orang berpakaian putih dan kelabu yang sibuk berbicara dan bergerak kesana kemari. Ada yang tampak gembira, bersemangat, bingung, gugup dan bahkan ada yang terlihat ketakutan. Apa ya yang sedang mereka bicarakan ? Sepertinya menarik sekali. Aku bergerak mendekati mereka....

 

Sesuatu terasa menggelitik kakiku. Aku terbangun dan menggoyangkan kaki. Rasa geli itu menghilang. Ternyata seekor serangga.

Hari sudah gelap. Dan aku masih berada di atas batu besar di sungai.

Mimpi aneh apa itu tadi ? Rasanya aku pernah bermimpi seperti itu sebelumnya. Wajah ibu yang menangis, dan orang-orang itu…

Aku melompat turun dari atas batu. Hembusan angin malam yang dingin membuatku bergidik. 

Konyol sekali rasanya, bisa tertidur di sungai sampai hari gelap. Kakiku meraba-raba dasar sungai, takut menginjak batu tajam atau terperosok ke dalam lubang. Gelap pekat di sekelilingku. Deretan lampu rumah warga terlihat jauh dari sini. Tanganku menggapai kesana kemari mencari pegangan. 

Saat berhasil meraih sebuah batu besar, tiba-tiba seberkas cahaya yang amat terang memancar dari arah belakang. Aku terkejut dan berbalik.

Sebentuk cahaya putih melayang-layang tepat di hadapanku. Tidak mungkin !  Makhluk ini muncul disaat aku sedang sendirian begini ? 

 

 

cerita selanjutnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun