Dalam hening yang sufi
aku duduk, menunggu bayang-bayang,
mendengar detak waktu yang pelan,
seperti napas anak-anakku,
yang tak tahu bahwa dunia ini
adalah labirin teka-teki
Pagi menyapa dengan sinar lembut,
aku terbangun dari mimpi yang sama,
menghitung harapan dalam secangkir kopi,
berusaha merangkai kata demi kata,
untuk memberi mereka kekuatan,
seperti embun yang menyegarkan daun
Anak-anakku,
dalam pelukan senja yang bergetar,
aku ingin kalian tahu,
bahwa setiap tetes keringatku,
adalah doa yang tak terucap,
seperti rindu yang terpendam,
menanti saatnya mekar
Di sini, di antara derai hujan,
aku adalah pohon yang berakar kuat,
bertahan di tengah badai,
meski angin mengoyak harapan,
aku tetap tegar,
karena kau adalah cahaya di ujung jalan
Kalian adalah bintang di langitku,
secerah impian yang tak pernah padam,
aku akan mengumpulkan setiap sinar,
meski terjatuh, meski terluka,
akan ku jadikan pelangi,
setiap kali hujan mereda
Tugas ini, oh, bukan sekadar tanggung jawab,
tapi jembatan yang menghubungkan jiwa,
aku menapaki setiap langkah,
berharap kau menemukan jalanmu,
menari di antara bintang-bintang,
tanpa rasa takut
Dan ketika senja datang,
dengan warna merah jingga yang membara,
aku akan tetap di sini,
menyaksikan perjalananmu,
dari jauh, dalam diam,
dengan segenap cinta yang tak bertepi
Karena kebahagiaanmu,
adalah nada dalam lagu hidupku,
dan meski semua ini tak pernah selesai,
aku akan terus melangkah,
dalam hening yang tak pernah sepi,
menjadi ayah,
menjadi cahaya,
untuk perjalanan yang panjang ini
Bandung, Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H