Â
Sebait puisi di  gunung Pasaman terurai pucuk Serai kelembah
Jatuh jua linang air mata mengenang, sepatah kata dari catatan ayah
melayang sayap elang rezki adalah segenggam  patut di syukuri
Jalan menuruni bait-baik doa, petitih pepatah janganlah patah,
Bersebab tugas hanya menyampaikan yang mengeram di ujung lidah
Berputik dalam hati, tersenyum segaris bibir.
Riak Batang Anang itu sampai ke Sumpu,
Hanyutlah segala wujud yang menjadi racun,
Putih makrifat putus yang tak wujud
Tampak yang tak tampak, melihat dengan batin
Merasa dengan sukma...
Jangan pernah mengkritik karena kebencian,
Mencari celah kelemahan, karena sempurna
Sungguh tak pernah ada.
Tiap wujud tak diciptakan sama, perbedaan bukan raja
Atas segala kelebihan itu sungguh adalah wujud ujian sebatas kemuliaan
Atau keangkuhan
Maka lahirlah seutas tali cinta kasih yang mampu menghapus segalanya
Yang meratakan pandangan mata, yang mengabar dan mengaburkan sukma
Sejatinya dia, adalah maha sempurna yang mengajari cara hidup,
Memilihkan kata-kata dalam alam semesta, untuk menghargai
Betapa manusia kadang merasa melebihi Tuhannya,
Kembalilah, semesta akan selalu menjaga atas kuasa-Nya
Tiada lebih tiada kurang, menurut takaran yang tak bisa di tawar
Lalu keangkuhanmu hanyalah bait irama yang menyesakkan,
Tiada berarti apa-apa.
Casa De Esta, Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H