Ah, Puisi
Pada tetes embun pagi buta, kuasuh segenap resah di bulir masa
Ketika fajar melukis cahaya pelan-pelan meyusupkan asa
Pagi akan dilahirkan untuk kesekian kali,
Sedangkan diri hanyalah butiran debu penuh noda
Tak piawai mengiring irama semesta yan harusnya se irama
Entah detak waktu  harus kutikam dalam-dalam
Agar masa menyiasati hati, dan harapan sebening matamu
Yang kuselami dalam-dalam,
Menggenangkan segala wujud semesta  menjadi candu
Untuk merindukan
Daunan basah, seperti bibirmu,
Dingin telah mengajarkan betapa pelukan adalah jalan terakhir
Saling menghangatkan.
Bukan perihal bara api yang mengobarkan seraut urat nadi
Namun nyatanya, alam menuntun tiap naluri untuk saling
Menyayangi
Ah, puisi,
Sajak-sajak paling merdeka mengikat kata-kata,
Karena syair  mengalir dari apa-apa yang tak menjadi takdir
Hidup adalah literasi, dan puisi mengajarkan rasa
Katamu, rangkailah setiap kata apa saja asal menjadi asa dan doa
Itu lebih baik, karena kesempurnaan sungguh dalam hati
Segala rasa sakit mukim dalam jiwa
Berbait sajak menuruni tangga-tangga kenangan,
Menujumu atau menuju Tuhanku, bersebab tak ada muara yang lebih tinggi
Jika kau tahu, puisi adalah racun  pikiran dan hayalan
Maka tak ada kesempurnaan kata selain doa
Bandung, Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H