Â
Aku ingin tidur telentang di atas jarum-jarum waktu,
Ditengah deras hujan. Dan kembang taman mekar bersamaan
Dalam gulita cakrawala, mengayuh lautan mimpi
Bersandar di selat matamu
Rinai hujan menjelma tangkai-tangkai puisi
Tak ada gemericik kecuali degub jantungku
Aku tabur sepanjang jalanan itu, syair yang masih
Beremah diksi. Seperti acak  rambutmu ditiup nasib
Pun aku, menyaru perahu yang pincang ditengah badai
Dari masa teramat purba,
Dari cadas-cadas yang tersandar puluhan tahun
Aku hapal, tiap tiupan angin
Aku hafal suara matahari atau bulan
Di tiap jengkal tangkai mawar yang selalu patah
Sepanjang titian rel itu,
Masih tercecer rangkai kisah perjalanan rindu
Jari yang menyatu di bawah rerintik hujan bisu
Malam yang perawan. Mengikuti lingkaran pagar waktu
Di titik yang paling hening
Akankah kutanak  kata-kata maaf
Dengan api lentera dari kejauhan diriku?
Dari kerendahan paling sempurna
Meniupkan bara-bara pada gunung salju
Hingga jangkar yang melilit perahu tak menujumu
Dalam bayang-bayang pekat cakrawala
Di kening, di wajah
Yang memecahkan ombak dadaku
Bandung, 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H