Pada sekepul awan
Ku kisahkan terik matahari
Padahal, awanlah yang paling tahu
Pada hujan yang turun, hanya rintik sendu kulantunkan
Samarkan detak jantungku kian tak menentu
Bibirku kelu dan ragu-ragu
Pada malam ini,
Masih ada cahaya bulan semu
Antara bimbang menuliskan kenang
Karena mataku tak lagi mahir menyaksikan
Benar atau salah
Telingaku kian tumpul antara jeritan dan ancaman
Antara tangisan, dan puisi-puisi cinta
Dalam irama pembenaran atau salah
Dunia kian kuasa di atas panggung opera
Langkahku mungkin ragu-ragu menjaga lidah dan tanganku
Menulis tak lagi mengalirkan air-air jernih ke muara
Kecuali alir darah dan air mata,
Penghujung malam paling sahdu, Ya, Tuhanku
Dengarlah lirih pohonan, angin, laut, semesta yang kecut
Aku menyaksikan luas ladang-ladang yang harusnya
Di tumbuhi kasih sayang,
Buah-buahan cinta, hangatnya matahari
Saling berbagi cahaya ...
Hanyalah pada-Mu ya , Rabb
Biarkan semesta-Mu mengajari kami untuk kembali menyadari
Untuk saling berbagi dan berkasih sayang
Dalam kerendahan hati, dalam kesadaran hakiki
Sebagai insan yang beriman
Sebagai manusia makhluk sempurna
Bandung, Â 13 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H