Malam melipat bait suara jangkrik, di luar pasti dingin sekali. Hujan telah puas membasuh kenistaan yang melekat pada pohon, pada pagar-pagar tinggi rumah. Dan sebagian pada hati yang masih terikat dengki. Karena hati sering menjadi benih menumbuhkan pertentangan, menyuburkan kebencian, dan patah.
*
Ruangan ini tanpa raung, hanya sunyi bergelimpangan di meja, kasur dan menempel di laptop, menggambarkan sepi itu berwujud kata. Se cangkir kopi juga dihembus angin yang menyamun di sela jendela, tidak ada lukisan tergantung untuk mengingatmu, tetapi ingatan purba itu memahat dalam sekeping hati yang kini diciutkan kesunyian.
*
Gigil bulan pucat antara kabut masih terdampar di kaca jendela, sengaja terbuka, agar laron-laron menemukan kebahagiaan dengan bias cahaya kamar. Begitu kebahagian terkadang semu, dan kesemuan mendatangkan kebahagiaan.
Karena sebagian besar bahagia adalah angan-angan.
*
Biarkan detak jam mengabarkan waktu, waktu tak teraih. Sebab kebenaran itu tidak selalu datang di awal. Kepergian dan datang adalah selisih waktu, sementara kita saksi yang tidak memiliki bukti.
 *
Begitulah hidup selayak layar direntangkan di tengah badai, berusaha mempertahankan perahu mengapung dengan keseimbangan hati dan jiwa, berusaha mendayung agar sampai ke tujuan, selebihnya adalah layar merupa takdir.
*
Di sini, kususun rangkai kata untuk mendamaikan hati, karena hati harus dijaga hati-hati. Karena sesungguhnya akulah sebenar saksi ketidakberdayaan. Dan engkau adalah murni kepergian,
Bandung, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H