Aku tak pernah benar-benar jatuh kelembah dirimu yang paling gaung, aku juga tak pernah sampai mendaki perbukitan dengan pohonan berbuah mengkal. Aku hanya membentang syair mensyahdukan bayangan, menyentuh rupa-rupa rona yang paling tabu.
Melukis gurat desah di palung yang paling gaung itu dalam balutan puisi-puisi yang paling sari. Membiarkan tajam hujan menembus segenap kata-kata yang diam-diam kunikmati seperti se cangkir kopi, perlahan pahit, manis dan menyisakan ampas waktu tak usai-usai.
Kini, peletakan tugu pada sisi langkahku, hingga ranjau-ranjau tajam terbenam dan aku bertelanjang kaki.
Langit semakin sabak, air mata dan hujan hanyalah seteru spasi tanpa jeda. Tubuh diksi berjelaga, cahaya terkurung jeruji-jeruji yang harus kuurai dengan jarum keikhlasan.
Kau tanam sayap-sayap mimpi, membenamnya dalam api dan cawan-cawan bara. Sementara syap tak akan bisa berhenti beronta dalam amukan api asmara nan lara
Kujaga tempayan sari tebu, dari airmata keikhlasan agar kau cukup reguk, tapi bayanganmu mengintip pucuk enau dengan tetesan nira yang fana.
Biarlah kugali sumur sedalam-dalamnya agar menjadi tinta yang menghilir sungai-sungai syair yang tak pernah kering dengan kenangan. Dalam daun-daun mimpi yang tumbuh subur, berakar dan berdahan dan ranting-rantingnya menusuk tali -- tali jiwa yang terpintal sunyi.
Rizal De Loesie
Kota Bandung, 2019