Jangan ada sesal, di dinding batu itu jamur-jamur mengambang bagai pernak yang dipernikkan.
Menghiasi redup rembulan dan awan lindap jatuh ke lorong-lorong yang paling rindu
Atapnya adalah matahari dengan serpih peluh-peluh jiwa yang mengangakan luka-luka kehilir perih air mata,
Sang penyair menyimpan bilur-bilur tanpa cahaya, lebam mengangkat aroma suhu bumi yang paling lirih
Dalam kalimat-kalimat tanpa  tanda tanya, dijawab desir angin yang mengugurkan putik daun.
Ketika tapa sampai di ujung langit diguratnya sebuah syair dengan anyir darah dan airmata
Diksi-diksi telah sampai.
Jemari matahari telah mencuri celah-celah batu hingga mengeringkan tiap jengkal lumut, labirin-labirin yang lindap menjadi keras,
Syair penyair telah cair mengalir jauh tak terengkuh ke samudra
Melayarkan semua kenangnya, membungkus cahaya-cahaya tersisa menjadi suar-suar rindu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H