Kembali ku duduki bangku ini. Kucari cercah  cahaya  tersisa
Tersua dingin dan beku malam dengan temaram tak bertuan.
Entah kesekian rajut hayal aku datangi pondok dan taman ini.
Seperti dulu kita temui.
Mengurai segala cerita dan kisah siang yang lengang.
Bukan tentang dirimu  berparas rembulan, satu bintangpun tiada mekar
Kucari-cari raut wajahmu di awan yang bergerak perlahan,
Mungkin kemalasan dan beban telah membuatnya begitu lamban.
Aku tak muda lagi, saat pertama mengaitkan jemari di jemarimu
Membisikkan berjuta kata rayu yang ku kutip dari buku puisi,
Tiada lagi desir angin malam selembut nafasmu dirangkulan,
Daun kering jatuh menerpa wajahku, tapi bukan gerai rambutmu
Kususuri jalanan dan gang, mencari huruf-huruf namamu jika ada yang tinggal
Sebagai tanda ada mu di hamparan bumi dan mimpi
Sementara langkahku kian letih.
Kopi ini tak berasa lagi, aroma wangi nafasmu meniupnya saat panas
Aku buru-buru menghirupnya seperti aku tak pernah sabar mengecup keningmu
Menyatukan empat lengan kita di bawah tabir rembulan.
Jika  engkau merupa langit, sedang aku menjadi batuan dan tertanam di bumi
Sebuah sajak begitu panjang yang kujadikan sebuah buku
Namun engkau tak kan pernah sempat  membacanya.
Engkau telah menguap bagai  kepul asap terakhir rokok ku, setelah itu aku harus kembali dalam kesadaran utuh
Karena kehilangan dan mimpi adalah keindahan untuk dilukiskan dalam rajutan kata
Aku akan selalu datang menduduki bangku ini, sebagai saksi panjangnya hari tanpa dirimu.
Sesekali melintas ibu-ibu muda, tetapi bukan kamu. Karena kau tak pernah sempat jadi ibu
Kau keremajaan yang sempurna dalam balutan angin senja. Yang kutemukan di dermaga seiring hempasan ombak, seiring celupan camar. Dan aku sadar dalam kelaki-lakianku yang sempurna
Sudut negeri dalam mimpi, 2019
Selamat Imlek
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H