Laut telah meminangmu dalam gulita dan sunyinya. Aku tak pernah tau di manakah engkau atau jasadmu. Yang tinggal hanyalah berita duka yang memporak-porandakan tali jiwaku, keping hatiku yang berserakan dalam kekecewaan dan hancur sudah. Aku tidak mengenali diriku lagi.
Saat kau mau berangkat ke Natuna hanya sekenar pengobat rindu pada saudaramu, kau mengajakku, tapi aku tidak bisa saat itu. Aku baru saja masuk kerja, tentu tidak bisa semena-mena minta izin. Kau memahami saat itu, tapi rasa rindumu pada saudaramu tak bisa kau bendung. Kau berangkat sendirian.
"Sayang, aku merindukan kau di sini, aku menyayangimu" terbata kata-kataku keluar di antara linangan airmata memandang jauh ketengah Samudera.
"Aku masih berdiri di atas dermaga kita, dermaga tempat engkau berangkat juga dahulu, dan mengingat semua peristiwa kasih sayang kita, mengingat utuh dirimu dalam dekapanku." Namun kutemui angin semakin kencang menerpaku, seakan salam darimu dan membisikan kata-kata indahmu padaku.
"Abang, aku pulang dulu ya," kata itu setiap perpisahan kita engkau ucap sambil melambai menaiki perahu, setelah kita berpisah saat pertemuan senja. Tapi kata itu benar-benar engkau pulang dulu. Engkau pulang selamanya kesisi-Nya. Meninggalkan keping-keping kenangan yang tak akan pernah aku hapus.
Kembang mawar ini masih ditanganku, kembang kesukaanmu. Dengan airmata dan isak tertahan kutebar tembang ini sayang, aku selalu ada untukmu, karena engkau belahan jiwaku. "Wieka, aku mencintaimu" kata yang belum pernah aku ucapkan dulu.
"Selamat jalan sayang" aku menciumi air laut menyembunyikan airmata.
Indragiri, suatu dermaga pulau kecil
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H