Apakah hatiku terlalu rapuh dan lemah. Aku terus saja mencarimu di antara malam-malam panjang nan sunyi, mengayam kerinduan demi kerinduan. Mencoba menghadirkan sosokmu begitu nyata. Membayangkan segenap tumpah canda dan senyummu yang menenangkan lautan dan ombak. Gerai rambutmu di kisau angin senjakala di dermaga itu. Dalam rangkulan menahan desir angin laut. Kita menikmati indah cakrawala dan melukisnya diam-diam di lubuk jiwa masing-masing.
"Aku menyayangimu sepenuh laut sepenuh badai", kata itu selalu membuatmu tertawa kecil, tapi aku tahu dalam hatimu ada bias-bias indah bersemi. Mekar bagai kembang mawar kesukaanmu yang kau tanam di halaman dekat bangku yang sering kita duduki.
Suatu saat kita bergandengan menaiki menara pantai, menikmati pandangan luas ke ujung Samudera. Diam-diam tanganmu selalu tak lepas di pundakku, aku sangat bahagia. Sesekali gerai rambutmu menerpa juga wajahku. Aku menikmati semua kenangan itu.
Wieka, engkau gadisku. Gadis sawo matang mungil rambut lurus tergerai, bagiku engkau adalah bidadari yang dititipkan tuhan untuk ku cinta dan rindui. Aku tak pernah peduli apapun yang kau ingini, melarang begini begitu, bagiku kau adalah sempurna. Ya, aku begitu rapuh untuk bisa menahan segala amukan gejolak hatiku, perasaan yang tumpah ruah dan menjadi beribu kata puisi tentang dirimu.
"Abang, apakah engkau menyayangiku," sering tanya itu kau lontarkan saat kita Bersama. Jawabku tentu "Iya'. Cuma itu saja, lalu kau tersenyum amat manis sehingga tak bisa menahan jemariku untuk menyentuh hidungmu, lalu biasanya kau tertunduk malu. Ya, aku menyayangimu dan mencintaimu. Walau pun kita tak pernah sekalipun membicarakan tentang cinta. Cinta? Apakah sangat perlu? Bagi kita, bersama dan saling menyayangi adalah peristiwa terindah.Â
Bagiku hadirmu adalah kilauan mutiara-mutiara saat jiwa dalam dera badai. Aku baru tamat kuliah dan belum mendapatkan pekerjaan yang tetap. Kau tak pernah menyinggung itu. Tiap aku membuka jalan pembicaraan tentang itu selalu saja kau potong dengan kata-kata, "Udah, rezeki itu dari Allah, bersabar dan berdoa" lalu diam dan pembicaraan akan kembali pada hal-hal ringan tentang laut, ombak perahu dan puisi.
Wieka, waktu beranjak begitu cepat. Sekarang aku berdiri menikmati desir angin laut di dermaga seperti dulu kita lalui. Tetapi kini aku sendirian. Tiada dirimu yang bergayut di pundakku, tiada gerai rambutmu di wajahku. Aku menikmati hening dalam balutan rasa sepi teramat dingin. Ada kehilangan sangat dalam di dasar lautan seperti jarum jatuh di tengah laut dan aku mencarinya.Â
Selayak langit tak berona apa-apa. Suara derak dermaga ini seakan membawaku runtuh jatuh kepalung dalam ke dasar laut. Aku gamang sayang, aku bagai kaleng minimum yang terombang di permainkan ombak. Yang dulu sering kita bertaruh tentang kaleng minuman yang hanyut, apakah ada yang memungut atau hilang. Kau selalu menang, ada saja pemulung yang datang setelah jawabanmu.
Aku rapuh Wieka, aku gagal meraih tangan kasih dan cintamu kepelukanku, aku gagal menjaga dirimu. Guratan  itu meracuni jiwaku dalam penyesalan yang tak berkesudahan. Mengapa dulu kepergianmu berangkat ke Natuna aku izinkan. Mengapa aku tidak mendampingi dan memelukmu diatas dingin nya kapal yang mengarungi lautan di tengah malam dan badai. Mengapa aku setega itu membiarkan engkau berangkat sendirian....
"Aku terkutuuuk, aku bodoh, aku  sangat kejam!" kepada semua ini. Dosa-dosaku teramat banyak hingga menghukum sisa jalan hidupku dalam terpaaan penyesalan demi penyesalan.
Wieka, engkau kini  telah tiada. Tanpa pusara yang dapat aku jambangi, untuk kutaburkan bunga cinta membuatmu tersenyum ranum.