Lunar mungil mengintip di antara kerak awan. Ujung malam yang mengamit dingin sampai ke ulu hati.... tiada deru dan kilau lampu, senyap. Jangkrik dan suara penunggu malam jauh dan samar mengiring sunyi ini ke tepian mimpi. Banyak bulir syair ingin sampai, ada sekat bentang sutra membatasi keyakinan dan rasa.
 Di kaki langit itu, begitu jauh kenang dan asa menghadap, silih berganti mengajak bercanda kata yang tak pernah terucap. Bait syahdu dkeranda kesunyian malam ini, lafalnya penuh diksi yang hanya kuasa dibaca hati.
 Di tanah ini, lembab bebatuan dan dedaunan gugur setelah hujan, aroma sedap malam mencumbu. Ada guratan ingin ditumpahkan dalam cawan kata, menyandarkan segenap lelah di dindng malam. Hidup ini, perjalanan tanpa ujung, bebatuan dan cadas gunung mengisi tiap panggung.
 Berpulang pada kearifan dan logika, hidup bukanlah matematika. Berserah dan berusaha kepada yang kuasa, jika pun akar-akar tidak mencengkram menahan badai, hanya kepada tuhan tempat bersandar.
 Malam ini, begitu syahdu aku syairkan nama -- Mu, dengan ritma airmata, semoga engkau yang mahakuasa mendengar segala do'a..
**
 Bandung, November 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H