Sebuah senja yang terlahir dari batas kerontang siang tak ber angin. Memasak utuh daunan nan terlepas dari tangkainya.
Dibibir senja ini bangku panjang dermaga yang sudah pernah disinggahi ribuan orang, kian mengkilap bagai sisa-sisa bias cahaya dari menara “pompong” ditengah laut.
Bangku panjang, aku terduduk menatap sesekali pada nyala matahari yang akan menyelam kelautan. Cahayanya indah merah dan menyimpan ratusan mimpi dan harapan esok.
Disisiku duduk jua seorang bapak yang juga beraut senja, sesekali matanya liar menatap kolong-kolong dermaga . Seirama hirupan dalam sebatang rokok termurah dibibirnya nan pecah.
Getar bibirnya seakan menghitung lalu lalang orang, atau menghitung jumlah penumpang yang menitih jembatan usang keatas ferry berderik. entah.! Atau jua menghitung sampah terbuang.
Senja tak lagi rasa terpanggang, seiring dermaga berangsur lengang. Lelaki tua itu berinsut turun kekolong dermaga, “nanti keburu air pasang” . Satu per satu kaleng bekas minuman yang menebar di sisi dermaga diregang
Owh, inilah sisi kehidupan dibumiku nan kaya. Sementara mata tertumpuk pada menara-menara penghalang pandang. Tersilau dari lautan lampu. Dan kita bergulat tertatih dikolong gelap tak beratap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H