Tiap tahun, 1 Mei diperingati sebagai hari buruh internasional. Biasanya pada hari ini, para pekerja turun ke jalan untuk menuntut hak -- hak yang mereka anggap terabaikan, baik kepada pemerintah maupun 'majikan' di tempat mereka kerja.
Dengan dukungan internet pada era digital kini, Â definisi buruh semakin meluas. Mudahnya komunikasi dan networking memungkinkan seseorang untuk menjadi 'buruh tanpa tuan', artinya dia tidak bekerja untuk orang lain melainkan mempekerjakan dirinya sendiri, yang kerap disebut sebagai freelance atau pekerja lepas. Sama seperti buruh biasa lainnya, pekerja lepas juga memiliki hak -- hak yang seringkali tidak dihiraukan.
Menjadi pekerja lepas sekarang merupakan sebuah opsi pekerjaan yang banyak dipilih orang. Biasanya, para pekerja lepas ini berkecimpung pada industri media dan kreatif, entah seperti desainer, illustrator, arsitek, copywriter, content maker dan jenis -- jenis pekerjaan creative digital lainnya. Freelance menawarkan kebebasan yang tidak bisa didapatkan dengan bekerja pada orang lain. Entah dari jam atau tempat kerja atau fleksibilitas pekerjaan yang ada.
Namun, kebebasan memiliki harga. Menjadi pekerja lepas harus siap dengan berbagai resiko.
Jangankan pendapatan bulanan yang tidak tentu, para pekerja lepas harus siap menghadapi kemungkinan -- kemungkinan upah yang terlambat atau bahkan lupa dibayar, invoice yang tidak sebanding dengan beban kerja, atau tidak adanya istilah 'uang lembur'. Freelance memang menawarkan fleksibilitas, termasuk fleksibilitas untuk klien kapanpun menghubungi kita dan meminta hasil pekerjaan, sehingga bisa jadi para pekerja lepas tidak memiliki kehidupan pribadi akibat tidak ada batasan baku mana waktu bekerja dan waktu personal. Belum kondisi dimana para pekerja lepas bisa jadi memiliki jaminan kesehatan dan sosial dari klien mereka.
Tidak ada perjanjian hitam di atas putih menjadikan para freelancer ini kerap terabaikan hak -- haknya sebagai buruh. Tidak adanya pedoman kontrak yang benar juga menjadi masalah.
Melihat kondisi tersebut, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Press baru-baru ini menjalin kesepakatan untuk mendorong perlindungan hukum bagi para pekerja lepas  di industri media dan kreatif. Dalam kerjasama tersebut, kedua lembaga akan menganalisis berbagai aturan hukum yang terkait dengan pekerja lepas dan menyusun buku panduan kontrak kerja bagi para pekerja lepas.
Dalam penyusunan buku panduan tersebut, SINDIKASI menggelar rangkaian Focus Group Discussion (FGD) di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya, yang melibatkan para freelancer di berbagai sektor. Hal ini dilakukan SINDIKASI untuk memperkuat assesment dalam penyusunan pedoman kontrak. Dalam diskusi tersebut, para pekerja lepas menceritakan pengalamannya tentang perjanjian kerja, upah underpaid, tingginya ongkos kerja, kondisi mental akibat kerja, jaminan sosial dan lain-lain.
Rencananya, SINDIKASI juga akan melakukan pertemuan dengan pemangku kepentingan, baik itu pemerintah, DPR, organisasi pengusaha maupun organisasi profesi untuk membahas perlindungan hak pekerja lepas.
Diharapkan dengan upaya yang dilakukan SINDIKASI dan LBH Press, akan mampu mendorong terciptanya instrumen hukum yang mampu melindungi para pekerja lepas seiring meningkatnya tren fleksibilitas kerja di era digital.