Mohon tunggu...
yuesaputri
yuesaputri Mohon Tunggu... Guru - mengeluh dengan menulis

mengenal dengan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Selamat Hari Guru Cuma Basa-Basi

25 November 2019   14:40 Diperbarui: 26 November 2019   07:28 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
via jogja.tribunnews.com

Basa-Basi di Hari Guru

Sesuai dengan Keputusan Presiden nomor 78 Tahun 1994, hari ini tepat pada tanggal 25 November 2019 ditetapkan sebagai hari guru nasional tanpa diikuti tanggal merah pada peringatannya. 

Tak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, hiruk pikuk peringatan hari guru dilaksanakan dengan upacara bersama di lapangan, menyanyikan lagu yang berisi rasa terimakasih pada guru, memberi kado untuk guru, atau sekedar memberi ucapan pada khalayak umum. 

Para pengguna media sosial juga tidak kalah ramai, mereka juga membuat story di media sosial dengan berbagai ucapan yang subtansinya sama yakni "selamat hari guru".

Jika melihat pada sejarahnya, penetapan hari guru yang jatuh pada tanggal 25 November bersamaan tanggalnya dengan terbentuknya Persatuan Guru Republik Indonesia. Namun Keputusan Presiden baru ada pada tahun 1994. 

Pasca Indonesia meredeka, Kongres Guru Indonesia dalam kongresnya menyepakati untuk menghapuskan perbedaan alumni guru, agama guru, suku, maupun daerah tempat tinggal guru agar dihapuskan dan dibentuklah Persatuan Guru Republik Indonesia, sesuai dengan semangat kemerdekaan Indonesia. (tirto.id)

Adapun pertimbangan diterbitkannya Keputusan Presiden pada waktu itu ialah mengingat guru memegang peran penting dalam pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia. Selain itu, juga untuk memperingati hari jadi PGRI sekaligus memberi 'penghormatan' di hari guru. Membahas soal penghormatan pada guru, benarkah guru sudah benar-benar dihormati? Adakah cara konkrit yang bisa diupayakan untuk menghormati guru? Sehingga guru mampu merasakan penghormatan tersebut di hidupnya sepanjang masa. 

Dalam hal ini, yang patut diberi perhatian lebih adalah mereka para guru yang mengajar dengan tanpa dibayar. Kalaupun dibayar, mereka menerimanya sebagai uang ganti bensin saja alias jasa mengajarnya tidak dihargai. 

Terlepas dari issu-issu yang beredar akhir-akhir ini, bahwa guru honorer akan menerima gaji setara Upah Minimum Regional, nyatanya sampai sekarang belum ada follow-up dari issu tersebut. 

Di kota tempat saya tinggal (Ngawi), jumlah guru honorer sekolah mencapai 1.163. Jumlah ini bukan jumlah yang sedikit jika dibandingkan dengan total tenaga pendidik yakni sejumlah 8.781. (berdasarkan data statistik KEMENDIKBUD).

 Dalam hemat saya, untuk menghormati guru, tidak cukup hanya dengan memberinya ucapan atau menetapkan sebagai hari nasional. 

Lebih dari itu, perlu diingat bahwa guru sudah mendedikasikan dirinya sebagai orang yang nantinya diharap mampu meningkatkan sumber daya manusia semenjak ia memutuskan  untuk mengambil jenjang pendidikan di IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan/FKIP (Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan). 

Perlu biaya untuk bisa lulus dari sana. Namun, ketika ia lulus, tugas mulia yang seharusnya dihargai bahkan dihormati oleh masyarakat dan Negara. Malah terlihat seperti buruh. Bahkan buruh pun masih lebih tinggi penghasilannya dibanding guru honorer masa kini. 

Lalu, mengapa masih mau menjadi guru? Jika ada pertanyaa tersebut, tentu jawabannya adalah karena masih banyak sekolah yang membutuhkan tenaga pendidik yang sayangnya tidak diimbangi dengan kesejahteraan guru. 

Akhirnya mereka tetap mempergunakan ijazah dengan motivasi penghibur diri: untuk mencari pengalaman, daripada ijazah menganggur, dan motivasi lainnya. Tidak ada yang menjamin, kapan berakhir masa wiyata bakti mereka. Beberapa bahkan banyak yang  mengalami kendala rumit pada ranah administrasi menjadi guru tetap ataupun pegawai negeri.

Beberapa yang sudah merasa jenuh, mengerjakan pekerjaan lain tanpa melepas statusnya sebagai guru honorer. Biasanya mereka mencoba wirausaha. Ada yang berhasil ada yang tidak atau belum. Sepupuku salah satunya. Sebagai anak laki-laki pertama di keluarganya, tentu dia berpikir bagaimana cara agar memiliki penghasilan cukup. Mau tidak mau, ia harus mencari pekerjaan lain. 

Kemudian ia memilih untuk bergabung sebagai reseler pada seorang pengusaha makanan ringan. Untungnya, usaha ini berhasil. Namun, dalam hatinya masih berharap bahwa suatu saat akan ada pengangkatan tenaga pendidik di daerahnya. Sehingga ia belum melepas statusnya sebagai guru matematika di sebuah sekolah dasar samping rumah. Iya, dengan sebuah harapan itu.

Pada akhirnya, ucapan selamat hari guru di hari guru nasional hanya menjadi asap yang perlahan hilang setelah hari berganti. Bahkan sebagian orang memilih untuk tidak mengucapkannya. Bukan Karena tidak menghormati guru, namun ia sadar betul bahwa itu hanya sebuah basa-basi saja di hari guru. 

Anggap saja sebagai penghibur sesaat bagi para guru honorer yang kurang dihormati jasanya. Saya sabagai salah satunya, akan lebih memilih mendoakan para guru terutama dalam kesejahteraannya. Semoga guru-guru Indonesia lekas menemui keberuntungannya.  Aamiin J

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun