Mohon tunggu...
Yudo Mahendro
Yudo Mahendro Mohon Tunggu... Ilmuwan - sosiologi, budaya, dan sejarah

Alumni UNJ, belajar bersama Masyarakat Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membandingkan Ibrahim Muda dan Ibrahim Tua

23 Juli 2021   03:04 Diperbarui: 23 Juli 2021   04:52 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Nama Ibrahim memiliki tempat khusus bagi umat Islam, Kristen, dan juga Yahudi. Hal ini dipahami karena pada kita suci ketiga agama tersebut, kisah Ibrahim menjadi titik penting dalam ajaran monotheis. Bagi umat Islam, momentum Idul Adha menjadi hari besar utama yang disandarkan pada kisah Ibrahim dan keluarga kecilnya. Sayangnya, sejak dua tahun belakangan ini, hari raya idul adha harus kita rayakan dalam masa pandemic covid yang situasinya menandakan kondisi yang semakin memburuk.

Pandemi Covid 19 yang terus berlangsung ini memiliki dampak yang begitu besar dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Bahkan NU, secara resmi menyampaikan himbauan untuk mengganti ibadah Qurban dengan bantuan langsung kepada masyarakat yang sangat membutuhkan. Hal ini menandakan begitu beratnya kehidupan masyarakat dalam menghadapi pandemi pada sisi ekonomi. Ditengah krisis ini, ada baiknya kita menggali kembali makna atas kisah nabi Ibrahim untuk menguatkan spritualitas dan mentalitas kita menghadapi pandemic.

Secara umum kita sudah mengetahui profil detail nabi Ibrahim melalui Al Quran dan juga cerita Israiliat. Namun, yang perlu garisbawahi dalam konteks ini ialah terkait territorial. Sebagaimana diperkirakan oleh banyak sejarawan, Ibrahim berasal dari wilayah yang sekarang bagian dari negara Irak atau yang dahulu disebut sebagai Babilonia. Namun dalam rangkaian kehidupannya yang berkisar selama 175 sampai 200 tahun ia juga melakukan perjalanan sampai ke Mesir untuk menyampaikan tauhid kepada raja di sana dan akhirnya menikah dengan Hajar. Sebelum ke Mesir, Ibrahim juga melakukan misi yang sama ke Syam. Dengan demikian, diketahui bahwa Ibrahim melakukan tugas kenabiannya kepada dua kerajaan besar yang memiliki rentang geografi yang sangat jauh. Dua anak Ibrahim juga hidup di dua wilayah yang berbeda. Ismail tinggal di Jazirah Arab, sedangkan Ishaq tinggal di wilayah Palestina. Di dua lokasi tersebutlah, Ibrahim bersama anak-anaknya membangun baitullah dan Baitul maqdis, yang sampai saat ini menjadi tempat suci bagi umat Islam.

Ibrahim Muda: Rasionalitas dan Kuasa

Ibrahim menjadi titik awal bagaimana menjelaskan sifat-sifat ketuhanan berdasarkan rumusan logika. Ia memberikan penjelasan tentang Allah sebagai Tuhan Semesta Alam yang tidak bisa dibandingkan dengan mahkluk. Sebagaiaman diketahui raja Namrud mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan, di sisi lain Firaun menyandarkan legitimasi kuasanya sebagai jelmaan dewa matahari. Ibrahim muda diketahui memiliki rasionalitas yang cukup mumpuni. Melalui kemampuan itulah ia melakukan dakwah kepada penguasa tertinggi di Babilonia dan Mesir. Cerita yang masyhur ialah saat ia menghancurkan berhala-berhala dan setelah itu beradu argumentasi dengan penguasa Babilonia. Kecerdasannya tidak mampu dipatahkan oleh kata-kata, namun dihentikan oleh kuasa. Akibat peristiwa tersebut, iapun dijatuhi hukuman dengan dibakar sebagaimana yang diceritakan dalam Al Quran.

Gambaran ini memberikan kita informasi bagaimana konteks sosial kehidupan masyarakat yang pada saat itu tercengkram kuat oleh kuasa. Kuasa ini pulalah yang menjadi penyokong penyembahan dewa-dewa atau politheisme sehingga diterima luas oleh masyarakat. termasuk salah satu ritusnya ialah mengorbankan manusia sebagai tumbal untuk menyenangkan para dewa. Kekuatan kuasa mampu menutupi kebenaran akan monotheisme, sehingga tidak banyak yang berani menjadi pengikut ajaran Ibrahim. Ajaran Ibrahim tentang monotheisme juga menanamkan nilai tentang persamaan derajat manusia. Suatu hal yang sangat bertentangan dengan kuasa yang ada pada saat itu. Dimana masyarakat tersusun atas kelas-kelas tertentu berdasarkan kekerabatan dan status sosial lainnya. Nilai-nilai persamaan inilah yang menjadi salah satu elemen penting dalam ibadah haji, khususnya saat wukuf di Arafah.

Kuasa para raja tersebut disandarkan pada sistem yang kompleks antara agama, politik, dan juga pengetahuan. Kedua kekuasaan tersebut memiliki kemampuan teknikal yang maju; ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. mereka mampu membangun bangunan yang indah dan megah, yang beberapa peninggalannya masih kita bisa lihat sampai sekarang. Misi Ibrahim yang membawa ajaran tauhid tentunya berpotensi mengganggu stabilitas politik pada masing-masing kerajaan. Olehkarenanya, Ibrahim tidak mendapatkan tempat di dalam sistem kuasa yang hegemonik tersebut. Walaupun demikian, tentunya pesan tentang ajaran monotheisme sudah menyebar luas dikalangan masyarakat yang hidup pada masa itu; menggunakan nalar untuk menuju kebenaran hakiki. 

Ibrahim Tua: Kepasrahan dan Keluarga

Pada tahap selanjutnya, dikisahkan bagaimana konflik batin Ibrahim yang lama tidak memiliki keturunan. Sebagai manusia biasa, ia juga mendambakan keturunan yang melengkapi kehidupannya di dunia. Situasi inilah yang menjadi konteks baru dalam kehidupan Ibrahim, keluargalah yang menjadi setting utama dalam fase ini. Setelah Ismail lahir dari kandungan Hajar, masalah lain datang. Sarah diceritakan cemburu dengan Hajar, sehingga Ibrahim perlu memisahkan dua Istrinya tersebut. Hajar dan Ismail kecil hijrah ke Hijaz, wilayah padang pasir yang tandus.

Berbeda dengan di masa muda yang menekankan pada logika dan kemampuan nalar. Pada fase ini, Ibrahim mengajarkan bagaimana ia menjadi hamba Allah yang pasrah secara total atas perintah-Nya. Setidaknya ada dua hal yang mengganggu logika atas perintah Allah atas Ibrahim,yaitu meninggalkan Hajar dan Ismail di padang pasir tandus serta menyembelih Ismail. Namun, karena kepasrahan Ibrahim, Hajar, dan Ismail dua peristiwa tersebut diabadikan menjadi Ibadah Haji dan Idul Adha yang dirayakan oleh semua umat muslim di dunia. Kepasrahan, tunduk, dan patuh kepada kuasa Allah merupakan inti dari Islam dan monotheisme sebelumnya. 

Ibrahim berhasil menanamkan nilai-nilai kepasrahan ini kepada Hajar dan Ismail. Pembinaan keluarga yang dilakukan oleh Ibrahim tentang tauhid dan kepasrahan inilah yang diturunkan kepada generasi-generasi setelahnya. Sebagaimana diketahui, keturunan Ibrahim kemudian menjadi penurus perjuangannya untuk menjadi Nabi dan Rosul. Keturunan Ishaq melahirkan banyak nabi mulai dari Yaqub hingga Isa, sedangkan keturunan Ismail melahirkan nabi Muhammad. Dengan pembinaan keluarga inilah pada gilirannya mampu menjelma menjadi kuasa yang besar, bahkan mampu menandingi kuasa Namrud dan Firaun seperti yang dialami oleh Daud, Sulaiman, dan juga Nabi Muhammad SAW.

Spiritualitas di Masa Krisis

Kirisis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Ibrahim, baik di masa muda maupun di masa tua. Diperlukan mentalitas yang begitu kuat untuk menghadapi penguasa tiran yang super power seperti Namrud dan Firaun. Bahkan ia harus menjalani hukuman mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Sebagai kepala keluarga, ia juga mengahadapi tantangan untuk meninggalkan anak dan istrinya di gurun tandus. Setelah itu ia juga harus menyembelih anak yang sangat disayanginya. Namun karena kemantapan iman Ibrahim, Allah SWT selalu memberikan jalan keluar yang tidak disangka-sangka. Inilah yang perlu kita renungi dan mengambil hikmah di masa pandemic ini. Yakinlah bahwa ditengah krisis yang menghimpin ini akan ada jalan keluar yang baik. Syaratnya ialah mempertebal keimanan kepada Allah SWT. Minimal, dengan adanya keimanan yang tebal itu kita akan diberikan ketenangan dalam menghadapi masa krisis ini.  

Selain itu, krisis ini juga mengingatkan kita akan dekatnya waktu pulangnya kita ke kampung akhirat. Begitu banyak kematian mendadak yang kita dengar setiap hari baik dari pengeras masjid mapun dari media sosial. Pandemic ini momentum yang baik untuk meneguhkan monotheisme yang didalamnya ada nilai-nilai kesamaan atas semua manusia dan juga berbagi dengan sesama. pandemi ini mengingatkan kita akan kesementaraan dunia dan materi yang selama ini kita kejar tiada habis-habisnya. Selamat Idul Adha 1442 H.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun