Dunia pendidikan nasional sedang hangat dibahas. Setidaknya ada dua hal yang mengemuka, pertama ialah kemungkinannya sekolah kembali dibuka pada tahun ajaran 2021 ini. Kedua, ialah dengan terbitnya PP (Peraturan Pemerintah) 57/2021 yang tidak mewajibkan pendidikan Pancasila sebagai kurikulum wajib. Tetapi saya tidak akan membahas dua hal tersebut di atas, ada juga yang lebih menarik untuk kita bahas terkait konteks pandemic yang menyebabkan pembelajaran lebih banyak di lakukan di rumah. Kondisi ini tentunya menjadi bahan refleksi yang penting bagi semua orang tua yang selama ini harus juga menyempatkan diri dalam mendampingi anak-anak mereka belajar di rumah.
Pendidikan Keluarga
Hal yang kita sering lupakan ialah pendidikan sejatinya merupakan domain keluarga. Namun, dengan semakin berkembangnya waktu perlahan-lahan wilayah tersebut lebih banyak diserahkan kepada negara. masyarakat dan juga swasta. Negara dalam hal ini pemerintah sudah memberikan aturan baku mengenai pendidikan, hal ini terkait erat dengan adanya persepsi pembangunan manusia suatu bangsa itu perlu dilakukan melalui pendidikan formal. Tidak cukup hanya melalui pendidikan 12 tahun yang digencarkan kepada anak usia sekolah, pemerintah juga mendorong adanya Pendidikan Anak Usia Dini yang dilakukan secara formal. Â Industrialisasi dan perkembangan ekonomi yang semakin kompleks juga mendukung lepasnya pendidikan dari keluarga. Khususnya di wilayah perkotaan Indonesia dan juga di penjuru dunia semakin sering kita jumpai kedua orang tua bekerja sehingga waktu mereka untuk mendidik anak semakin berkurang.
Pada awal industrialiasi di Inggris pada akhir abad ke 19, muncul pengajar perempuan bernama Charotte Mason, yang mengeritik masyarakat yang sudah tidak lagi peduli dengan pendidikan anak-anak mereka. ia kemudian membuat beberapa metode pendidikan anak yang harus dilakukan oleh kedua orang tuanya, khususnya ibu. Ia terinspirasi oleh ajaran dalam alkitab yang semakin tergerus oleh sistem pendidikan liberal yang dikembangkan oleh pemerintah kala itu. Konsep pendidikannya itulah yang kemudian melahirkan istilah homeschooling, atau sekolah rumah. Dalam semangat yang sama, pada saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan Anies Baswedan juga sempat ingin membentuk direktoran keayahbundaan untuk memperkuat pendidikan keluarga di Indonesia. Namun, sepertinya ide itu belum bisa diimplementasikan.
Ramadhan dan Pendidikan Anak
Sudah satu tahun lebih kita berada masa pandemic covid 19. Dalam situasi krisis kesehatan dan ekonomi para orang tua juga dipaksa untuk terlibat aktif dalam pendidikan anak. Sebagian orang tua mengeluhkan proses pembelajaran di rumah yang tidak semudah yang mereka bayangkan. Mereka harus kembali membaca dan berdiskusi untuk mengerjakan pekerjaan sekolah anak-anak mereka. sudah bukan rahasia umum lagi, orang tua pada akhirnya jualah yang mengerjakan tugas-tugas yang bertumpuk tersebut.
Sudah dua kali Ramadhan juga kita lalui dalam masa pandemic. Dalam situasi ini kita akan lebih memaknai kembali makna berkeluarga, minimal dari dua peristiwa rutin; buka puasa dan juga sahur yang dilakukan bersama-sama di rumah. Kesibukan masing-masing anggota keluarga yang selama 11 bulan sebelumnya sangat minim berinteraksi, kini dihadapkan dengan penyegaran kembali mengenai nikmanya kebersaman. Ramadhan juga memberikan nuansa keislaman yang kental dengan begitu banyaknya program dakwah yang diadakan oleh berbagai media yang ada. Nuansa inilah yang bagi sebagian keluarga memberikan kekuatan spiritual dan kolektiftas. Dalam suasana ini anak, ibu, dan bapak dapat menyempatkan diri untuk bercengkrama membahas hal-hal yang lebih privat seperti tentang ibadah, cita-cita, pekerjaan, dan juga asmara.
Ramadhan dengan sendirinya menjadi waktu belajar bagi umat muslim. Adanya ganjaran yang besar bagi kita untuk melakukan hal positif menjari dorongan untuk kita lebih banyak mendalami ilmu agama. Pada moment ini begitu banyak nilai-nilai spiritual yang perlu diimplementasikan seperti; menahan diri, berbagi, dan juga kebersamaan. Apalagi di masa pandemic, mungkin banyak diantara kita yang mengalami masa-masa sulit akbiat masalah kesehatan, ditinggalkan orang yang terdekat, dan juga masalah ekonomi.
Homeschooling Ramadhan dan Globalisasi
"ada anak bertanya pada bapaknya buat apa berlapar-lapar puasa?" itu merupakan salah satu lirik lagu Bimbo yang popular sejak 20 tahun yang lalu. Lirik itu sesungguhnya menggambarkan bahwa kita sebetulnya telah melakukan proses Homschooling selama bulan Ramadhan. Saat masih anak-anak dan mungkin akan berlanjut pada masa berikutnya, diskusi anak dan orang tua mengenai ibadah selama Ramadhan akan menjadi warna yang khas selama bulan suci ini. Dan ini merupakan jalan yang tersedia untuk melakukan transfer pengetahuan bagi generasi-generasi baru mengenai nilai-nilai keislaman.
Namun kita tidak boleh lupa, pada masa pandemic saat ini juga arus globalisasi semakin deras masuk ke rumah-rumah. Telepon selular telah menjelma menjadi pengasuh bagi anak-anak kita. Tantangan ini tentunya harus dijawab dengan selalu menghadirkan suasana Ramadhan dalam rumah tangga kita. Orang tua, harus selalu siap dan menyiapkan waktu untuk melakukan transfer pengetahuan baik secara nilai-nilai maupun praktik. Arus global yang kuat dan kompleks ini telah mengisi ruang-ruang imaginasi anak-anak di seluruh dunia. Tentunya kondisi ini menjadi tantangan yang semakin berat bagi para orang tua untuk mencelupkan nilai-nilai keislaman yang kita Yakini sebagai sebuah tanggungjawab dihadapan Allah Swt ditengah kesibukan kita dalam beraktivitas di dunia. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H