Si pitung merupakan salah satu tokoh yang paling lekat dengan budaya Betawi. Selain disebabkan cerita ini masih diceritakan turun temurun. Pada tahun 1970an cerita si Pitung dan kawan seperguruannya Ji’I pernah diangkat ke layar lebar. Setidaknya ada tiga judul, Si Pitung : Benteng Betawi (1970), Si Pitung Kembali Beraksi (1976), dan Pembalasan Si Pitung (1977).
Ketiga film tersebut merupakan runtutan cerita yang menggambarkan perjuangan si Pitung di Tanah Betawi. Si Pitung dalam dua film di awal diperankan oleh Dicky Zulkarnaen, sedangkan dalam film terakhir dikisahkan si Pitung sudah meninggal dan perjuangannya dilanjutkan oleh Ji’I yang diperankan oleh Sandy Suwardi Hasan.
Jauh sebelum itu, saat Indonesia belum merdeka cerita si pitung juga sudah ramai dimainkan dalam berbagai teater rakyat seperti rancak dan lenong, bahkan tahun 1931 sudah dibuat film dengan judul Si Pitung yang disutradarai oleh Wong bersaudara.
Benyamin S juga membuat dan menyanyikan lagu dengan judul “Si Pitung” yang berisi bait-bait pantun tentang kesaktian si Pitung. Benyamin diketahui juga ikut ambil bagian menjadi pemain dalam film Si Pitung Kembali Beraksi.
Si Pitung dan Ji’i teman satu perguruan silat di Rawa Belong. Selain terkenal dengan pasar bunga, sampai saat ini di daerah di Jakarta Barat tersebut masih banyak terdapat perguruan silat Betawi. Bahkan beberapa orang percaya makam Si Pitung Berada di daerah tersebut, tepatnya di jalan raya kebayoran lama persis di depan kantor PLN.
Luasnya jangkauan perjuangan Si Pitung dan kawan-kawannya juga meninggalkan beberapa jejak historis. Salah satunya rumah Si Pitung yang berada di Marunda, Jakarta Utara yang kini juga dijadikan sebuah museum untuk mengenang perjuangan pendekar silat asal rawa belong ini.
Tahun 1982-1893 banyak media cetak yang memberitakan tentang aksi si Pitung. Si Pitung digambarkan oleh Shahab sebagai “Robin Hood’ tanah Betawi. Hal ini disebabkan perjuangan yang dilakukan mirip dengan kisah pahlawan tersohor dari Inggris.
SI Pitung tergerak untuk melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda dan juga para tuan tanah yang semena-mena terhadap kaum miskin di perkampungan Betawi. Ia pun melakukan serangkaian perampokan kepada tuan-tuan tanah berlaku sewenan-wenang terhadap rakyar kecil. Hasil rampokan yang diperoleh diberikan kepada rakyat miskin yang pada saat itu banyak menderita.
Pitung dan teman-teman dianggap memiliki berbagai kesaktian, seperti bisa menghilang dan tidak tembus peluru. Shahab menjelaskan bahwa Si Pitung memiliki ilmu ‘rawa rontek’ gabungan antara tarikat Islam dan jampe-jampe Betawi.
Menurut cerita yang berkembang, Pitung meninggal dunia karena disergap oleh pasukan pemerintah colonial yang dipimpin oleh Shout Van Hinne. Ia ditembak dengan peluru emas, yang merupakan salah satu kelemahan dari ilmu kebal yang dimilikinya.
Magaret Van Till merupakan peneliti yang mengkaji tentang si Pitung. Dalam tulisannya tahun 1999 bersama Henk Schulte Nordholt yang membahas tentang Kriminalitas di Jawa pada tahun 1870-1910 menggambarkan si pitung dalam kerangka ‘kriminalitas’.
Menurutnya, perubahan konteks Sosial-Ekonomi pada era itu menjadi pemicu munculnya berbagai aksi perampokan yang dilaksanakan oleh para ‘jago’ atau pendekar yang berasal dari pinggir Batavia atau Ommlanden. Kepemilikan lahan yang di luar Batavia yang diserahkan kepada pengusaha-pengusaha asal Tionghoa, Eropa, dan Arab menciptakan ketidakadilan yang semakin besar dikalangan warga.
Olehkarenanya, munculah para bandit-bandit yang melakukan perampokan kepada tuan tanah atau mereka yang memiliki kesejahteraan berlebih. Menurut penjelasan Van Till, Si Pitung merupakan bandit yang melakukan perampokan dan pemerkosaan terhadap perempuan.
Aksi si Pitung berlangsung selama enam bulan. Schout Hinne yang pada waktu itu berhasil menghentikan sepak terjang Si Pitung berhasil mendapatkan simpati dan polularitas yang baik dari kalangan Eropa yang tinggal di Batavia kala itu.
Pada tahun 2011, Van Till Kembali menerbitkan karyanya yang berjudul “Banditry in West Java 1869-1942”. Pada buku ini Van Till juga membahas khusus tentang si Pitung dengan membandingkan berbagai data yang ada, mulai dari dokumen media masa, artikel, buku, tradisi lisan, dan juga film.
Salah satu penjelasan yang menarik dari tulisan ini ialah mengapa Si Pitung menjadi begitu popular dikalangan masyarakat Betawi, padahal ada banyak ‘jago’ atau pendekar lain yang bermunculan pada era tahun tersebut. Ia menjelaskan penggunaan senjata api jenis revolver yang digunakan oleh Pitung dan teman-temannya menjadi salah satu factor yang menyebabkan dirinya begitu fenomenal.
Terlepas dari perspektif yang digunakannya, karya-karya Van Till yang menyuguhkan berbagai data dan sumber memperkaya kazanah intelektual di Indonesia tentang legenda Si Pitung.
Bagi masyarakat Jakarta, nama Si Pitung tetap hidup sebagai simbol identitas kebetawian, terutama bagi mereka yang masih menekuni seni bela diri pencak silat.
Pitung dan silat Betawi bagaikan satu kesatuan, dua sisi dalam mata uang. Pitung menjadi tokoh panutan bagaimana ilmu bela diri silat Betawi harus difungsikan untuk membela kaum lemah, bukan sebatas ajang pamer kebolehan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI