Ini sudah jumat minggu ketiga, anjuran untuk solat rumah diganti solat zuhur di rumah masih berlaku. Belum ada tanda-tanda pandemic ini akan segera berakhir. Semalam, Gubernur Jakarta menyampaikan data yang menyengangkan.Â
Angka kematian di Jakarta sudah mencapai 400 orang, jauh dari data resmi yang disampaikan oleh gugus tugas ditingkat nasional. Kekhawatiran juga semakin menguat ini semakin terlihat di 'postingan' beberapa teman-teman dekat yang ada di Jakarta.Â
Dengan demikian, virus ini tidak hanya mengancam di dunia nyata, tetapi juga meresahkan dan mengkhawatirkan kita melalui informasi yang beredar cepat di dunia maya, apalagi ditambah dengan embel-embel kepentingan politik. Â
Kecepatan penyebaran virus corona ini di luar bayangan kita semua. Ia menyebar ke seluruh benua, tanpa mengenal batas. Pastinya penyebaran virus ini terkait erat dengan mobilitas manusia. Semakin banyak pergerakan manusia, semakin besar peluangnya tersebar dan memakan korban jiwa.Â
Kegiatan-kegiatan penting lain dalam hidup kita seperti agama, sudah final bisa dinegosiasikan untuk di 'rumahkan'. Tetapi ironisnya pembahasan yang politik masih hangat diperdebatkan.Â
Lebih hangat daripada membahas pendemi ini sendiri. Mungkin karena politik memang sudah terbiasa dibangun di atas penderittaan dan nyawa manusia.
Mengandalkan InternetÂ
Sebelum adanya wabah virus corona, kita acapkali membahas tentang industri 4.0. siapa yang tercepat dialah yang menang. Internet sebagai sarana menjadi yang cepat terbukti menolong saat kondisi seperti ini.Â
Beberapa aktivitas bisa dikerjakan dari rumah, seperti bekerja, belajar, silaturahmi, dan juga tentunya mencari hiburan. Bagi Sebagian besar orang, keberadaan internet dengan kecepatan tinggi membantu untuk bisa tetap berada di rumah. Melambatkan penyebaran virus, supaya bencana ini bisa segera berakhir.
Salah satu postingan kawan mengeluhkan barang yang dibelinya belum juga sampai. Sejak minggu yang lalu ia memesan barang dan sudah melakukan pembayaran, tetapi penjual di salah satu pasar online tersebut tidak merespon.Â
Dalam keadaan tidak pasti seperti ini ternyata kemududahan internet juga tidak banyak membantu, karena dia juga dibangun dari relasi yang "nyata".Â
Mungkin saja toko online tersebut hanyalah 'reseller' atau 'dropshipper' dari toko nyata yang ada di pasar-pasar grosir yang saat ini sudah banyak tutup. Fenomena ini sepertinya banyak dirasakan olah teman-teman perkotaan, yang semakin resah karena paket kirimanya tertahan hingga kondisi normal Kembali.
Pada saat orang kota menikmati kecepatan internet di rumahnya masing-masing. Kawan di Cikidang, salah satu kecamatan di Sukabumi mengeluhkan sinyal yang masih sulit terbatas. ia dan anaknya terpaksa belajar di atas bukit, untuk bisa mendapatkan akses internet dan melihat soal-soal yang diberikan oleh gurunya.
Masih banyak sekali daerah yang belum terjangkau internet di sekitar Jakarta seperti daerah Bogor dan Sukabumi. Jangan tanya teman-teman kita di wilayah Indonesia yang lain. Di Indonesia Timur, meskipun sudah banyak wilayah yang bisa mengakses internet, biaya yang dibebankan oleh operator jauh berbeda, sangat mahal. Â
Kecepatan informasi ternyata juga membawa dampak yang buruk jika pengetahuan yang disebarluaskan adalah kebohongan atau informasi yang salah. Hoaks adalah musuh bersama di era industry 4.0 ini.Â
Pemerintah sangat keras terhadap para pelaku hoax dengan dasar hukum yang sudah dibuat yaitu UU ITE. Namun bagi masyarakat sudah lagi tidak penting isu lain di luar isu Kesehatan.Â
Meskipun banyak isu yang masih bising terutama di dunia maya, relaksasi pinjaman dan biaya listrik, seperti masalah narapidana, omnibus law, pilkada, bahkan pilpres.Â
Saat orang ramai-ramai membeli dan membangun bilik disinfektan sebagai upaya pencegahan virus, ternyata bagi kalangan ahli Kesehatan penggunaan barang ini dianggap malah berbahaya bagi Kesehatan. Sampai saat ini belum ada jawaban resmi dari pemerintah untuk menjawab kepanikan masyarakat. Â
Yang tercepat yang terbaik?
Dalam sebuah ceramah tahun 2019 yang saya saksikan youtube beberapa hari yang lalu, Seno Gumira Adjidarma menyampaikan pidato kebudayaan yang menarik yang membahas tentang industry 4.0.Â
Ia menceritakan tentang dongeng kuno nusantara, adu cepat antara kancil dan siput, atau keong. Diluar dugaan kancil, ia ternyata kalah lari dari keong. Kancil berhasil dikalahkan oleh siput yang membangun strategi 'kolektifitas'.
Dalam menghadapi virus corna yang begitu cepat menyebar sepertinya kita perlu belajar dari strategi si siput untuk membangun kolektifitas dan soliditas sebagai cara terbaik untuk menang. Tahun 1918, negeri Hindia Belanda ada sekitar 1,5 juta jiwa yang meninggal akibat wabah virus Flu Spanyol.Â
Saat ini tahun 2020 dan dengan perkembangan teknologi informasi harusnya kita bisa jauh lebih baik menangani permasalahan wabah Covid 19 ini. Kita sudah membuktikan lewat penggalangan dana.Â
Dalam waktu singkat kita bisa menghimpun dana yang sangat besar untuk membatu tenaga kesehatan untuk mendapatkan APD dan menyediakan makanan untuk mereka yang kurang beruntung.Â
Masyarakat juga bahu-membahu melakukan penyemprotan cairan disinfektan di setiap satuan pemukiman secara mandiri. kita butuh lebih banyak kolektifitas.Â
Hentikan postingan yang bermuatan politik. Karena ini dapat mengganggu laju solidaritas kita yang sedang tumbuh. Biarlah para elit politik yang sibuk dengan kepentinganya sendiri. Di era yang serba canggih ini, kita harus focus untuk bisa menang melawan pandemic global ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H