Mohon tunggu...
Yudo Mahendro
Yudo Mahendro Mohon Tunggu... Ilmuwan - sosiologi, budaya, dan sejarah

Alumni UNJ, belajar bersama Masyarakat Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggali Akar Budaya Masyarakat Tangsel

29 Maret 2020   14:02 Diperbarui: 29 Maret 2020   14:24 2647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konteks sejarah perjuangan kemerdekaan, nama Lengkong cukup dikenal. Menurut kajian (Khamdevi, 2012) yang melihat sisi arsitektur kampung lengkong ulama, wilayah tersebut merupakan pusat penyebaran Islam di wilayah Tangerang. Khamdevi mengutip kajian Arkologis Uka Tjandrasasmita yang mengatakan bahwa di kampung tersebut terdapat makam Raden Arya Wangsa di Kara yang berasal dari Sumedang.

Lokasi kampung lengkong ini berada di sebelah Barat atau Kulon dari Sungai Cisadane yang sekarang masuk kedalam wilayah Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Di Cilenggang, Serpong ini juga ada makam Tubagus Atief anak dari Sultan Ageng Tirtayasa  yang dikenal dengan Keramat Tajug (Arifin, 2013). Menurut kajian Arifin, sampai saat ini para keturunan Tubagus Atief masih melakukan ritual mencuci peninggalan yang dilakukan setiap tahunnya.  Dua situs tersebut membuktikan bahwa syiar Islam sudah sejak lama ada di wilayah Serpong.

Di sisi lain, wilayah yang dahulu berada di dalam areal perkebunan karet, memiliki tradisi dan sejarah yang berbeda. Mereka memiliki hubungan yang lebih dekat dengan pemerintah colonial. Hal ini dipahami karena pada saat era colonial mereka sangat terbuka dengan investasi dibidang perkebunan, terutama karet pada tahun 1920an. Setelah berhasil meraup keuntungan dari tanam paksa, mereka melanjutkan tradisi ini dengan berkongsi dengan pengusaha-pengusaha yang memiliki modal besar. Wilayah ini dikenal dengan sebutan 'wilayah partikelir' atau wilayah yang disewakan kepada pengusaha.

 Pertempuran dengan tantara NICA dan KNIL pada tahun 1946 di wilayah Serpong menunjukan adanya segregasi yang kuat antara masyarakat yang bekerja di perkebunan dengan masyarakat di bagian barat Cisadane. Pertempuran pecah dengan korban dari pihak masyarakat yang berasal dari Maja sekitar 700an orang. Saat ini mereka dimakamkan di Makam Seribu, yang terletak di Kecamatan Setu. Pada Saat itu, kantor perkebunan digunakan sebagai markas utama tantara Belanda dan juga KNIL. Bahkan menurut beberapa sumber wilayah Tangerang, merupakan wilayah yang paling belakangan bergabung gengan NKRI, yaitu sekitar tahun 1950an.

 Setelah itu, diketahui dari sumber majalah SARBUPRI (Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) wilayah Tangerang Selatan dan sekitarnya merupakan wilayah basis dari PKI (Partai Komunis Indonesia) hal ini terlihat dari keaktifan mereka menyetorkan iuran yang terdokumentasi dalam majalah tersebut. Hal ini juga dikonfirmasi di wilayah tempat saya tinggal Pondok Cabe Ilir, yang dahulu merupakan basis dari PKI.

Setelah 1965, masuklah dakwah dari NU ke pondok cabe ilir, dan Muhammadiyah ke pondok cabe udik. Bagi wilayah Ciputat, keberadaan Akadimi Dinas Ilmu Agama (ADIA) merupakan awal dari masuknya dakwah Islam, karena banyak mahasiswanya yang melakukan dakwah ke wilayah tersebut. Di pinggir situ kedaung, ada masjid pertama yang baru dibangun tahun 1950 dengan bantuan mahasiswa ADIA.  

Perlunya Diksusi Lanjutan

Tulisan ini merupakan pemicu diskusi lanjutan untuk kita menggali lebih jauh sejarah kota kita. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, diketahui ada ikatan yang kuat antara Betawi ora dengan budaya CIna (Benteng). Ikatan itu bisa saja berupa darah atau keturunan atau akibat relasi kerja. Kita tidak bisa memungkiri ada juga pekerja dari etnis lain yang mungkin bekerja di perkebunan karet tersebut.

Struktur pekerja perkebunan ini juga saya pernah tanyakan kepada sesepuh di gang mandor ciputat, yang membuktikan bahwa dahulu yang dikembangkan ialah relasi kerja perkebunan. Mandor bekerja untuk atasan mereka dalam perusahaan perkebunan yang bertugas untuk mengawasi para buruh perkebunan. Sedangkan kolompok sosial yang berbahasa Sunda lebih dulu memiliki ikatan dengan tradisi Islam, khususnya dari Banten.

Saya meyakini tulisan ini tidak membuat semuanya senang karena menyangkut dengan keluarga besar mereka. Namun, dengan mengungkap sejarah kita bisa banyak belajar untuk jujur kepada masa lalu untuk bisa melangkah di masa depan. Dan tentunya mengelitik kita untuk lebih jauh menggali sejarah kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun