Jakarta dengan jumlah penduduk yang cukup banyak, diperkirakan mencapai 9 juta orang, memiliki tantangan tersendiri dalam bidang pendidikan. Dalam upaya memfasilitasi pendidikan dasar, dibeberapa tempat sejak lama sudah dilaksanakan 'sekolah sore', atau 'sekolah petang'. Sekolah Petang, ialah sekolah formal yang kegiatan belajar mengajarnya dilaksanakan pada siang hingga petang, bergantian dengan sekolah pagi. Dalam gedung sekolah yang sama, administasi sekolah dilaksanakan terpisah antara sekolah pagi dan sekolah petang, begitupun guru dan siswanya juga berbeda satu dengan yang lainnya.
Kebijakan tersebut merupakan bentuk dari upaya efisiensi ruang. Diketahui lahan terbuka di Jakarta kini semakin  sulit didapatkan, selain itu harganya juga semakin mahal. Dengan diadakannya Sekolah Petang,  pemerintah DKI Jakarta dapat menghemat anggaran pendidikan, terutama dalam pembangunan sekolah baru. Sehingga, anggaran pendidikan dapat dioptimalkan untuk peningkatan kualitas pendidikan, seperti peningkatan kualitas guru, perpustakaan, dan kegiatan siswa.
Sekolah Malam Upaya Efisiensi Ruang
Kita perlu belajar dari dunia usaha dalam efisiensi ruang. Di Jakarta tidak sulit bagi kita menemukan pedagang kaki lima. Mereka ada dimana-mana, terutama di tempat-tempat yang banyak dilalui orang atau dekat dengan pusat keramaian. Bagi mereka, ruang strategis adalah peluang untuk bisa menghasilkan uang. Dari pemikiran sederhana tersebut mereka dapat berdagang dan melanjutkan hidup di ibu kota.
Kita juga bisa memperhatikan dimana PKL juga memanfaatkan ruang strategis di malam hari. Pertokoan yang aktifitasnya selesai saat petang, mereka gantikan untuk berdagang makanan seperti nasi goreng, sea food, dan pecel lele. Biasanya mereka membayar uang sewa kepada pemilik toko atas pengguaan ruang yang mereka miliki. Pemilik toko memberikan akses listrik kepada PKL untuk menunjang usahanya. Kemudian, PKL juga bertanggungjawab atas kebersihan ruang tersebut agar esok pagi si pemilik toko dapat membuka usahanya tanpa berurusan dengan sampah yang dihasilkan dari aktifitas PKL di malam hari.
Massifnya ekonomi informal di Jakarta bahkan meniptakan sistem tersendiri. Hal ini dipahami karena perputaran uangnya sangat tinggi. Merespon fenomena tersebut, munculah kelompok-kelompok yang mengklaim atas keamanan wilayah dan berhak pengelolaan ruang seperti parkiran. Dengan demikian, diketahui bahwa pemanfaatan ruang dalam ekonomi informal di Jakarta sudah sedimikan dinamis dan kompleks.
Dengan mengedepankan sisi bisnis, atau motif ekonomi di dalam Pendidikan Tinggi juga sudah dilakukan upaya efisiensi ruang. Beberapa kampus swasta  dan bahkan kampus Negeri membuka kelas karyawan yang dilakukan di malam hari ataupun diakhir pekan. Diketahui bahwa di kota besar seperti Jakarta, kelas karyawan merupakan solusi bagi para pekerja yang masih ingin melanjutkan pendidikannya sampai tingkat perguruan tinggi. Tentunya, ada perbedaan biaya pendidikan antara kelas reguler dan kelas karyawan, kategori yang kedua biasanya lebih mahal.
Di sisi lain, pemerintah masih belum bisa mendinamiskan penggunaan ruang yang dimilikinya, khususnya dalam bidang pendidikan. Sekolah malam merupakan gagasan dari Prof. Paulus Wirutomo, Sosiolog UI, yang mengatakan bahwa di wilayah pemukiman yang padat penduduknya seharusnya bisa memanfaatkan gedung sekolah pada malam hari untuk kegiatan pendidikan masyarakat. Jika sector ekonomi saja bisa melakukan efisiensi ruang, seharusnya pemerintah pun harus membuka diri untuk melakukan terobosan untuk menunjang kegiatan pendidikan masyarakat.
Sudah ada Contohnya
Gagasan Prof Paulus itu saya dengar sekitar tahun 2016, saat kami terlibat dalam upaya pembangunan masyarakat di Kecamatan Johar Baru Jakarta pusat, khususnya kaum muda melalui sekolah komunitas Johar Baru. Ternyata, awal bulan Oktober ini saat saya berkunjung ke satu kampung padat di Keluarahan Ancol Jakarta Utara, kegiatan sekolah malam sudah berjalan. Gedung sekolah negeri yang berada di tengah-tengah kampung itu setiap malam hari digunakan untuk anak-anak belajar Al-Quran atau yang lebih dikenal dengan TPA (Taman Pendidikan Al-Quran).Â
Setidaknya, ada tiga ruang kelas yang mereka bisa gunakan semenjak petang hingga malam hari. Selain itu, fasilitas sekolah seperti lapangan olah raga dapat digunakan oleh warga sekitar, khususnya para remaja untuk bermain bulu tangkis, futsal, ataupun permainan tradisional lainnya. Lebih jauh, warga dapat menggunakan lapangan sekolah untuk kegiatan lain seperti tahlilan, arisan, bahkan melangsungkan resepsi pernikahan.
Inilah sekolah malam yang kita bahas sebelumnya, ketika di wilayah lain sulit mengakses ruang-ruang di sekolah formal di malam hari, masyarakat di Kampung ini sudah melakukannya dalam waktu yang lumayan lama. Hal ini tidak terlepas dari peran salah satu orang guru yang tinggal di kampung tersebut yang mendapatkan keperayaan dari pihak sekolah, masyarakat pun akhirnya menjaga keperayaan itu dengan bertanggungjawab atas keamanan, keberishan, dan kenyamanan gedung sekolah setelah selesai mereka malakukan kegiatan.
Saya rasa fenomena ini bukan satu-satunya, mungkin ada di tempat lain di Jakarta yang juga sudah melakukan upaya yang sama. Sudah waktunya, pemerintah daerah, khususnya dinas pendidikan tidak tutup mata dan membuka peluang bagi teriptanya sekolah malam lainnya di wilayah Jakarta. Karena diketahui keterbatasan ruang terbuka untuk interaksi masyarakat menjadi masalah sosial yang pelik di Jakarta.Â
Saat ini kementerian pendidikan nasional sudah mengubah nomenklatur pendidikan non formal dan informal menjadi pendidikan masyarakat. Dengan demikian, sudah waktunya pendidikan formal beriringan dengan pendidikan masyarakat, sebagaimana sector ekonomi di Jakarta. Semoga.
Kalipasir, 25 Oktober 2019
Anggoro Yudo Mahendro
   Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H