Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, batas status keuangan negara pada BUMN hanya sebatas pada penyertaan modal dari kekayaan negara yang dipisahkan, sehingga pengelolaan keuangan tidak lagi berdasarkan pola APBN, melainkan tata kelola perusahaan yang baik (bagi BUMN persero, landasan operasi bisnisnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas), sehingga negara tidak secara otomatis memiliki keseluruhan aset maupun laba dari BUMN, pun juga apabila BUMN mengalami kerugian maka tidak lantas hal tersebut secara absolut dikategorikan sebagai kerugian negara.Â
Untuk keperluan ekspansi bisnis, undang-undang Perseroan Terbatas dan juga Peraturan Pemerintah  nomor 13 tahun 1998 tentang Perusahaan Umum mengizinkan perseroan/BUMN untuk membentuk anak perusahaan, yang kemudian status anak perusahaan yang dibentuk oleh BUMN  merupakan perseroan swasta yang bertanggungjawab kepada BUMN sebagai induk perusahaannya.
Pada saat penulis masih aktif bekerja di DPR RI sebagai tenaga ahli, penulis pernah berbincang dengan salah satu auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pemeriksaan keuangan negara yang berada di BUMN dan imbasnya pada anak perusahaan BUMN. Beliau menjelaskan perlu pemeriksaan yang prudent/teliti sampai sejauh mana APBN/APBD dipergunakan oleh BUMN.Â
Di samping itu juga, anak perusahaan BUMN juga berpotensi diperiksa apabila terdapat APBN/APBD yang dipergunakan di sana. Dengan kata lain, objek pemeriksaan BPK hanya sebatas APBN/APBD di BUMN maupun di anak perusahaan, bukan keuangan korporasi.
Apabila modal yang diserahkan perusahaan induk, dalam hal ini BUMN, kepada anak perusahaan BUMN merupakan modal dari negara untuk menjalankan suatu penugasan dari negara, melaksanakan pelayanan umum, dan/atau mendapatkan kebijakan khusus dari negara, maka modal yang disertakan tersebut dapat dikategorikan sebagai uang negara.Â
Namun apabila penyertaan modal yang dilakukan BUMN kepada anak perusahaannya berasal dari murni kas korporasi BUMN induk, maka modal yang disertakan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai uang negara.
Penulis berpendapat bahwa SEMA ini terbit boleh jadi sebagai wujud pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjelaskan bahwa seluruh kekayaan BUMN, baik yang terpisah maupun tidak, merupakan keuangan negara. Dengan demikian, kerugian BUMN juga merupakan kerugian negara (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003).Â
Ketika MK mengeluarkan keputusan, maka keputusannya tersebut tidak hanya berlaku bagi pihak yang mengajukan permohonan, tetapi juga berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia, Pemerintah, Legislator, dan juga lembaga penegak hukum lainnya (prinsip Erga Omnes).
Bagaimanapun juga, terdapat 2 (dua) kemungkinan yang terjadi ketika BUMN mengalami kerugian, yaitu kerugian korporasi dan kerugian negara. Untuk menilai kerugian yang dialami BUMN perlu dilakukan penelaahan melalui metode Business Judgment Rules, dimana pimpinan BUMN diperiksa untuk mengetahui apakah terdapat itikad tidak baik, maupun konflik kepentingan ketika mengambil keputusan.Â
Ataukah pimpinan BUMN telah melakukan tindakan yang perlu untuk mencegah perusahaan mengalami kerugian namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Sehingga menyatakan kerugian anak perusahaan BUMN/BUMD merupakan kerugian negara karena terdapat penyertaan modal dari BUMN/BUMD adalah pernyataan yang harus dipertimbangkan kembali secara matang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H