Mohon tunggu...
Yudo Baskoro
Yudo Baskoro Mohon Tunggu... Lainnya - Just a human being

Pour out some abstract things living in my head

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Apakah Hukum Internasional Layak Disebut sebagai Hukum?

6 Februari 2023   09:57 Diperbarui: 9 Juli 2024   12:41 1316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dotmagazine.online

Konsep Hukum Yang Berdiri Sendiri Dan Hukum Yang Berdampingan

Diskursus ini merupakan hasil dari diskusi random saya dengan seorang teman yang mempertanyakan karakteristik hukum internasional yang tidak memiliki organ pengawas seperti kepolisian dan kejaksaan. 

Teman saya ini mempunyai alasan yang cukup masuk akal bahwa hukum dapat dikatakan sebagai hukum apabila terdapat penghukuman bagi si pelanggar hukum, sehingga masyarakat yang tinggal di wilayah dimana hukum ditegakan akan merasakan keberadaan hukum tersebut. Teman saya juga mengatakan bahwa hukum internasional yang ada saat ini tidak bisa dikatakan sebagai hukum, tetapi norma.

Namun faktanya, dalam situasi dan kondisi tertentu terdapat masyarakat yang menciptakan suatu  aturan yang mengatur masyarakat agar bersikap sebagaimana mestinya tanpa mencantumkan penghukuman bagi yang melanggar, dan hal tersebut bagi masyarakat terkait dianggap sebagai hukum. 

Sehingga dalam pandangan orang-orang (setidaknya yang pernah saya temui secara acak), hukum dapat dikatakan sebagai sesuatu yang ngatur baik bersifat tertulis maupun tidak tertulis.

Kita sering mendengar rentetan kata "nilai, norma, dan hukum". Kata "nilai" dalam bahasa Inggris adalah "value", yang mana kata tersebut terambil dari bahasa Latin "valere" yang artinya "menjadi kuat", lalu kata "valere" ini menjelma menjadi "valoir" dalam bahasa Perancis Kuno yang bermakna "berharga", dan kemudian dalam bahasa Inggris menjadi "value".  Bagi penulis, nilai adalah output berupa pendapat seseorang ketika mengalami suatu hal tertentu, namun dalam prakteknya nilai selalu dimanifestasikan dalam bentuk angka karena sifatnya yang firm/tidak seperti kalimat yang berpotensi menghasilkan makna yang bercabang ketika menjelaskan suatu opini, terutama sekali opini yang sifatnya membandingkan. 

Makna "norma" merujuk pada pedoman untuk berlaku sebagaimana mestinya dalam situasi, kondisi, atau aktivitas tertentu. Dalam suasana tertentu, kata "hukum" memiliki persamaan dengan "norma", bahkan adapula yang mengatakan hukum sebagai norma yang terkonstruksi dengan sistematis. Karena memiliki kesamaan karakter sebagai "pedoman", terkadang kata "norma" dan "hukum" sering dipertukarkan, dan juga dua kata tersebut sering digabung menjadi frasa "norma hukum". Kita juga sering mendengar dan/atau melihat istilah "norma agama", "norma adat", dan "norma kesusilaan" disamping frasa "norma hukum".

Dalam buku yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Muatan, menurut Ibu Maria Farida Indrati Soeprapto, mantan hakim pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sekaligus penulis buku tersebut, norma hukum dapat dilihat sebagai norma hukum tunggal, dan juga sebagai norma hukum berpasangan. Dikatakan norma hukum tunggal karena hukum tersebut dapat berjalan dengan sendirinya tanpa disertai dengan norma hukum lainnya. 

Dengan kata lain, hukum tersebut mengandung perintah, dan/atau mengatur sesuatu (das sollen), seperti "jangan curang", "berbuat baiklah dengan sesama", "masa jabatan Presiden 5 tahun", dan lain sebagainya. 

Sedangkan norma hukum berpasangan adalah 2 (dua) norma hukum yang berkaitan satu sama lain. Dua norma hukum tersebut terdiri dari norma hukum primer dan norma hukum sekunder. 

Norma hukum primer adalah hukum yang mengatur sesuatu atau memerintahkan masyarakat dan/atau seseorang untuk berlaku sebagaimana mestinya, sedangkan norma hukum sekunder berisi mitigasi apabila norma hukum primer dilanggar. Singkatnya, norma hukum sekunder dikenal sebagai ancaman penghukuman bagi pelanggar hukum.

Gambaran Umum Sanksi Pada Hukum Internasional

"Fitur" utama sebuah hukum yang umumnya dikenal masyarakat adalah konsekuensi dari dilanggarnya suatu hukum. Karakteristik penghukuman dari hukum internasional jelas berbeda dengan hukum nasional. 

Dalam hukum nasional terdapat badan-badan yang bertugas untuk menegakan hukum di wilayah kedaulatan negara-nya, seperti kepolisian dan kejaksaan yang kompeten untuk melakukan investigasi seperti penyelidikan dan penyidikan (dua kata berlaku dalam sistem hukum Indonesia), dan kehakiman yang kompeten dalam melakukan pemeriksaan dan mengeluarkan keputusan di persidangan. 

Dengan adanya badan-badan tersebut, hukum nasional dapat dikatan relatif terjamin untuk dipatuhi. Tidak seperti hukum nasional, hukum internasional tidak memiliki badan-badan penegak hukum.

Perjanjian Westphalia 1648 yang mengakhiri perang 30 tahun di Eropa menjadi titik awal lahirnya negara-negara baru dan konsep kedaulatan. Abad ke-20 merupakan era deokolonisasi yang ditandai dengan bermunculannya negara-negara merdeka sekaligus penuntutan kesamaan kedaulatan yang kemudian memengaruhi pandangan para pemimpin negara terhadap negara-negara yang mereka pimpin. 

Oleh sebab itu muncul pemikiran dan keinginan yang kuat agar setiap negara tidak mengganggu kedaulatan negara lainnya, termasuk bertindak layaknya penegak hukum diatas negara lain, dan tidak menetapkan penghukuman dalam suatu perjanjian anta negara layaknya KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). 

Itulah mengapa tidak terdapat aturan penghukuman tertulis bagi negara yang melanggar perjanjian internasional, yang mana hal tersebut menjadikan hukum internasional berbeda karakternya dengan hukum nasional yang kita miliki. Kita melihat negara direfleksikan sebagai quasi-manusia (seakan-akan manusia) yang bisa melakukan apapun, dan memiliki hak serta kewajiban dal pergaulannya.

Sebagaimana yang kita ketahui, manusia cenderung akan menjaga citra dilingkungannya agar manusia tersebut dapat memperoleh kenyamanan dalam hidupnya. Sesekali jika reputasi-nya tercemar, maka lingkungan sekitar akan melihat orang tersebut sebagai seseorang yang patut diwaspadai, bahkan dijauhi dari masyarakat. 

Reaksi ini disebut sebagai sanksi sosial, yang mana akan membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk memperbaiki citra tersebut, atau lebih buruknya lagi citra-nya tidak dapat diselamatkan.

Contoh Empirik Yang Pernah Terjadi di Dunia Penerbangan Dalam Negeri

Aktor dan pengawas hukum internasional adalah negara-negara peserta itu sendiri yang membuat suatu perjanjian internasional (yang kemudian menjadi hukum yang mengikat bagi pihak-pihak yang turut serta). 

Dikutip dari buku Dr. Boer Mauna yang berjudul Hukum International: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, menurut Prof. Charles Rousseau, pakar hukum internasional dari Universite de Paris-Sorbonne, "jika hukum nasional dipandang sebagai hukum yang bersifat subordinatif, maka hukum internasional adalah hukum yang koordinatif". 

Sebagai contoh, ICAO (International Civil Aviation Organization) melalui Universal Safety Oversight Audit Program and Safety Performance (USOAP) pernah melakukan audit terhadap sistem navigasi penerbangan di Indonesia pada tahun 2005 dan 2007. Hasilnya, sistem navigasi penerbangan Indonesia tidak memenuhi kualifikasi standar minimum keselamatan penerbangan internasional. ICAO menyarankan agar Pemerintah Indonesia membuat badan khusus yang menangani pelayanan navigasi udara. 

"jika hukum nasional dipandang sebagai hukum yang bersifat subordinatif, maka hukum internasional adalah hukum yang koordinatif" -Prof. Charles Rousseau, pakar hukum internasional Universite de Paris-Sorbonne

Untuk memenuhi saran dari ICAO tersebut, Pemerintah Indonesia membentuk AirNav Indonesia (Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi  Penerbangan Indonesia/Perum LPPNPI) yang bertanggung jawab atas pelayanan sistem navigasi penerbangan. 

Perihal fasilitas navigasi penerbangan diatur dalam Pasal 68-76 Konvensi Chicago tentang Penerbangan Sipil Internasional Tahun 1944. Dalam konvensi tersebut tidak terdapat aturan penghukuman bagi negara peserta konvensi yang melanggar aturan perjanjian. Penerbangan adalah sektor vital yang membutuhkan tingkat keamanan, kepresisian, dan keakurasian yang ketat. 

Apabila Pemerintah Indonesia tidak mengindahkan saran ICAO tersebut, boleh jadi seluruh negara di dunia dan entitas lainnya akan memberi sanksi sosial berupa pandangan buruk terhadap Indonesia yang tidak care akan pelayanan navigasi penerbangannya.

Demi menjaga keberlangsungan hidup suatu negara, tentu Indonesia dituntut untuk menghindari persepsi buruk tersebut agar kolaborasi dengan negara dan entitas lainnya dapat terlaksana dengan baik yang nantinya akan berdampak pada perkembangan di internal NKRI itu sendiri.

Sebagai penutup, walaupun tidak ada aturan tertulis mengenai penghukuman dalam hukum internasional, imbas buruk akan tetap dihadapi bagi negara yang melanggar perjanjian/hukum dengan cara yang beraneka ragam (umumnya dapat terlihat dari pergerakan ekonomi maupun dinamika sosial suatu negara terkait) sehingga disini kita dapat melihat hukum yang disepakati antar pihak tersebut terasa eksistensinya. Berdasarkan pemahaman masyarakat pada umumnya, hukum merupakan pedoman untuk mengatur tata hubungan bermasyarakat yang ideal, wujudnya bisa tertulis maupun nir tertulis. Namun pula bagi orang yang pandangannya agak ¨quantum mekanis¨, hukum merupakan pergerakan simultan aksi dan reaksi dalam suatu situasi pada kondisi tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun