Ini hanyalah opini belaka.
Beberapa tahun yang lalu, kolom sepak bola nasional bukanlah trending topic (meminjam istilah Twitter). Isu-isu seputar pertandingan dan ulasan non teknis belum menjadi pembahasan yang menarik. Pada awal-awal ketua umum PSSI dipegang Nurdin Halid, semua tampak biasa saja. Tidak ada yang menarik perhatian massa secara luas. Iklan-iklan baik di koran, internet, maupun tabloid maunya ditempatkan di tempat yang favorit, yakni sepak bola internasional.
Menarik untuk disadari, perbincangaan seputar PSSI sangat marak dalam beberapa tahun ini. Bahkan, dalam satu tahun ini, saat kita membuka koran, tabloid, majalah, atau internet, topik yang dicari adalah seputar sepak bola nasional. Benar, tidak?
Entah Anda pro PSSI, entah pro KPSI, entah Netral, entah cuma masyarakat biasa yang skeptis, beberapa bulan ini pastinya Anda selalu mengeklik kolom sepak bola nasional.  Sebagai contoh, kolom politik yang biasanya jadi perhatian utama publik, di kompasiana masih kalah jumlah kliknya dengan kolom bola. Siapa pun yang menulis di kolom ini, seburuk apa pun artikelnya, dan seburuk apa pun judulnya, dapat dipastikan dalam tempo sehari sudah di-klik lebih dari 100 orang. (bandingkan sendiri dengan cara mengeklik index masing-masing kolom).  Tentu saja jumlah klik di kolom-kolom sepakbola di situs-situs lain juga seperti ini. Sebagai contoh, goal.com, vivanews, sidomi, beritajatim, kompas, dsb. Sampai orang-orang sudah bosan mendengar berita keperkasaan Lionel Messi mengoyak gawang lawan dengan lima gol. Penggemar MU yang biasanya merecoki berita kekalahan Liverpool (dan juga sebaliknya), masih kalah jauh dibandingkan jika PSSI atau FIFA/AFC membuat statement tertentu tentang sepak bola nasional di negeri ini.
Tak hanya itu, berita sepak bola di televisi juga menyedot perhatian massa yang tidak kecil. Entah untuk mencari keburukan di pihak media, keburukan di pihak PSSI, keburukan di pihak KPSI, atau untuk mencari pembenaran atas opini masing-masing.
Orang bilang, tidak ada berita menggembirakan yang lebih menjual dibandingkan berita yang buruk, apalagi yang kontroversial. Semakin kontroversial, semakin laris manis.
Aku ingin bercerita, pada tahun 2000-2001 ekonomi Amerika Serikat sedang hancur-hancurnya. Bahan bakar mahal, perekonomian lesu, dan tentu saja media massa juga turut lesu, terutama media cetak. Tiba-tiba peristiwa 11 September 2001 mengubah semua itu. Dimulai dengan propaganda media massa, dicarilah Osama ke mana-mana. Eh, tiba-tiba Irak yang diserang. Apa hasilnya setelah itu? Bensin di Amrik sana jadi murah, perekonomian bangkit (meski 2007 dilanda krisis lagi), dan media massa laris manis.
Apa hubungannya dengan sepakbola Indonesia? Tidak ada. Karena itu semua cuma contoh bagaimana digdayanya media massa.
Jadi, sebenarnya, inti utama masalah sepak bola nasional adalah di media massa. Dramatisasi, penggalangan opini publik, dualisme suara, kontroversi, itu yang mereka harapkan. Untungnya jelas banyak sekali. Pengiklan tentu sumringah melihat website yang semakin banyak di-klik. Bukannya berusaha menengahi dan menyelesaikan persoalan sepak bola, media massa justru dijadikan alat untuk memperkeruh suasana. Dualisme opini publik tujuan utamanya. Mereka tidak pernah benar-benar mencari fakta, namun hanya mencari sesuatu yang laku dijual kepada massa.
Bayangkan jika hanya ada satu suara (misalnya Pro PSSI) dan tidak ada musuhnya (misalnya Pro KPSI), dan tidak ada bumbu-bumbu Partai Kuning - Partai Biru, tidak ada Nirwan Bakrie, Nurdin Halid, Rahmad Darmawan, Toni, La Sya (atau siapalah namanya), Djohar Arifin, Tri Goestoro, Saleh Mukadar, serta Timnas yang selalu menang, Liganya bagus, dan tidak ada masalahnya, pasti kolom sepakbola ini tidak laku di-klik.
Siapa yang mau mengeklik berita tentang ketenteraman???