Sleman - 24 Maret 2017. Usman Kansong menerbitkan buku barunya yang mengangkat tema baru mengenai jurnalisme yaitu jurnalisme keberagaman. Dalam bedah buku jurnalisme keberagaman yang dilaksanakan di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Usman Kansong mengungkapkan bahwa buku terbitannya ini bercerita mengenai sebuah perspektif bagi jurnalis untuk meliput isu-isu keberagaman di Indonesia. Acara ini tidak hanya dihadiri oleh Usman Kansong saja melainkan juga oleh 3 penanggap lainnya yaitu Lukas Ispandriarno selaku Dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Widiarsi Agustina selaku Ka Biro Tempo DIY & Jawa Tengah, dan Agnes Dwi Rusjiyati selaku Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika.Â
Doa menjadi awal untuk pembukaan acara bedah buku Jurnalisme Keberagaman ini. Sehabis doa dipanjatkan, moderator mempersilahkan Usman Kansong untuk bercerita mengenai bukunya Jurnalisme Keberagaman. Jurnalisme keberagaman berbeda dengan jurnalisme-jurnalisme sebelumnya. Jurnalisme keberagaman mengangkat tema isu--isu keberagaman yang ada di Indonesia seperti ras, agama, budaya, dan hal-hal lainnya.
Pemilihan tema ini didasari oleh masih banyaknya masyarakat yang belum menghargai adanya perbedaan di sekitarnya. "Jurnalisme ini berangkat dari sebuah kenyataan bahwa masih banyak masyarakat yang mencederai keberagaman." ungkap Usman Kansong.
Beliau juga menambahkan tidak hanya masyarakat saja yang belum dapat menghargai adanya perbedaan ini melainkan media juga. Media sendiri dalam memberitakan suatu isu keberagaman masih sering memberikan labelling dan pandangan negatif sehingga media cenderung memperparah dan ikut menyebarkan kebencian. Jurnalisme keberagaman ini lebih berpihak pada masyarakat minoritas, korban, sensitif gender, dan menjunjung tinggi HAM.Â
Setelah Usman Kansong berbicara, Lukas Ispandriarno menanggapi bahwa buku ini memiliki bahasa yang lugas dan juga menarik, selain itu juga terdapat banyak konten baru khususnya dalam konteks jurnalis namun terdapat juga kelemahannya yaitu pers lokal belum diceritakan dalam buku ini. "Buku ini memiliki bahasa yang lugas, menarik, dan terdapat banyak konten baru dalam jurnalis tetapi masih terdapat kelemahan yaitu pers lokal belum diceritakan." ungkap Lukas Ispandriarno.Â
Widiarsi Agustina ikut menanggapi buku jurnalisme keberagaman ini. Beliau mengatakan bahwa salah satu kunci menjadi beragam adalah indepensi. Selain itu, beliau mengatakan bahwa media saat ini memang cenderung kurang dalam melakukan verifikasi terhadap pihak korban atau pihak minoritas sehingga menyebabkan media sering memberikan labelling terhadap pihak-pihak minoritas. Beliau juga menegaskan bahwa setiap kata yang tertulis merupakan tanggung jawab sosial yang dimiliki oleh seorang jurnalis.Â
Agnes Dwi Rusjiyat sebagai penanggap terakhir juga menanggapi mengenai buku jurnalisme keberagaman ini. Beliau beranggapan bahwa kaum minoritas seringkali masih menjadi korban dikarenakan media yang masih tidak berani menyuarakan aspirasi dari kaum minoritas. Beliau juga berpesan untuk berhati-hati berbicara dengan media.
Jurnalisme keberagaman di sini hadir untuk menjadi solusi dari permasalahan-permasalahan yang diceritakan oleh para penanggap tersebut. Jurnalisme keberagaman inilah yang nantinya memberikan pembelajaran baru bagi para jurnalis untuk menjadi jurnalis yang bertanggung jawab atas tulisannya. Dengan adanya jurnalisme keberagaman inilah pihak minoritas dapat menyuarakan suara mereka.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H