Mohon tunggu...
Inovasi

Dilema Pupuk Hayati, Pupuk Daun, dan Zat Pengatur Tumbuh (Pupuk dan Pemupukan Tanaman, Bagian 3)

6 Maret 2017   13:32 Diperbarui: 6 Maret 2017   14:38 15068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  • Pupuk Hayati

Berbeda dengan pupuk kimia (pupuk anorganik) yang hanya mengandung unsur-unsur hara yang diperlukan tanaman, maupun pupuk organik yang mengandung sekaligus unsur-unsur hara dan beberapa mikroba pengurai. Pupuk Hayati adalah jenis pupuk yang hanya mengandung mikroba tanah yang menguntungkan dalam kondisi hidup, yang terdiri dari beberapa jenis dengan komposisi jumlah populasi yang sudah diatur untuk keseimbangan hidup di dalam tanah. Mikroba tanah menguntungkan yang dikandung pupuk hayati antara lain Azotobacter sp., Azoospirillum sp., Laktobacillus sp., mikroba selulolitik, mikroba pelarut phosfat, dan sebagainya. Mikroba-mikroba tersebut di atas sering disebut dengan istilah mikroorganisme efektif (effective microorganism).

Azotobacter sp dan Azoospirillum sp merupakan mikroba penambat unsur N (nitrogen) dari udara. Lactobacillus sp merupakan mikroba yang berperan dalam membantu proses fermentasi bahan organik menjadi senyawa-senyawa asam laktat yang dapat diserap oleh tanaman. Mikroba Selulolitik merupakan mikroba yang menghasilkan enzim selulosa, yang akan mempercepat berlangsungnya proses pembusukan bahan organik. Mikroba Pelarut Phosfat merupakan mikroba yang berfungsi untuk membantu melarutkan unsur P (phosfor) dalam pupuk phosfat (TSP, SP-36, SP-18), maupun unsur P yang terikat oleh jerapan liat silikat tanah sehingga menjadi senyawa phosfat yang tersedia dan mudah diserap oleh tanaman.

Lactobacillus sp. dan mikroba selulolitik sebelumnya banyak terdapat dalam lambung dan usus binatang ternak. Azotobacter sp., Azoospirillum sp. dan mikroba pelarut phosfat banyak terdapat dalam tanah-tanah subur. Kemudian diambil (diinokulasi) dan dikembangbiakkan melalui proses tertentu. Selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan khusus sebelum dikemas, agar mikroba-mikroba tersebut masih bisa bertahan hidup. Larutan khusus tersebut mengandung zat makanan mikroba dan zat-zat lainnya yang berfungsi bukan hanya sebagai sumber makanan mikroba tetapi sekaligus berfungsi sebagai pelindung tiap-tiap jenis mikroba agar tidak saling membunuh (kanibalisme).

Perkembangan teknologi pupuk hayati justru berawal dari dampak perkembangan teknologi pupuk kimia (pupuk anorganik) yang penerapannya tidak benar. Seperti sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa keistimewaan pupuk kimia layaknya seperti sumber unsur hara “instan”, yaitu persentase kandungan unsurnya tinggi, penggunaannya praktis, dan proses pengurainnya menjadi unsur hara tersedia relatif cepat.

Hal tersebut yang membuat petani lengah, kurang memperhatikan sifat biologi tanahnya, yaitu meninggalkan kebiasaan pemberian pupuk organik (sisa tanaman setelah panen, pupuk kandang maupun bokhasi) ke dalam tanah pada proses penanaman. Pada awalnya memang tidak tampak dampaknya, karena kandungan bahan organik dan populasi mikroba tanahnya masih mencukupi.. Tetapi setelah beberapa tahun mulai dirasakan dampaknya, antara lain tanah menjadi keras, tidak gembur lagi, kesuburan tanahnya menurun, kebutuhan pupuk kimia per satuan luas lahan semakin meningkat untuk menghasilkan produksi yang sama. Bahkan beberapa ahli tanah mensinyalir bahwa sebagian besar tanah pertanian di Indonesia belakangan ini dalam kondisi “sakit”. Sakit dalam konteks ini mengandung pengertian, tanah sudah tidak bisa lagi menjadi penunjang pertumbuhan tanaman secara optimal meskipun asupan pupuk kimianya dalam jumlah yang mencukupi. Dengan kata lain, keseimbangan kondisi biologi, kimia dan fisik tanahnya sudah sangat terganggu.

Fakta tersebut yang mendorong penulis pada setiap kesempatan untuk membudayakan pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan melalui konsep “Pertanian Ekologis”. Pada dasarnya konsep pertanian ekologis merupakan penggabungan antara sisi positif dari konsep “Pertanian Konvensional” dengan sisi positif dari konsep “Pertanian Organik”, serta dengan tambahan pengaplikasian “pupuk hayati” pada proses budidaya tanaman (atau biasa disebut sebagai aplikasi teknologi EMP, effective microorganism procedure).

Seperti telah diketahui bahwa konsep pertanian konvensional lahir bersamaan dengan perkembangan teknologi benih dan teknologi pupuk kimia, yang membawa dampak negatif terhadap percepatan penurunan tingkat kesuburan tanah. Meskipun pada awalnya mampu meningkatkan produksi per satuan waktu dan luas lahan. Sedangkan konsep pertanian organik lahir setelah ditemui banyak fakta penurunan tingkat kesuburan tanah yang mengkawatirkan akibat konsep pertanian konvensional yang penerapannya tidak benar. Tetapi kenyataannya produktifitas tanaman dari konsep pertanian organik terlalu rendah, sehingga tidak bisa menjawab permintaan hasil pertanian yang semakin meningkat akibat dari peningkatan jumlah penduduk dan penyempitan lahan pertanian. Berlatarbelakang kenyataan itulah kemudian konsep pertanian ekologis hadir untuk menjadi solusi terhadap dilema kedua konsep pertanian tersebut di atas.

Pupuk Hayati banyak tersedia dan dijual bebas di pasaran saprotan dalam berbagai merek dagang. Beberapa contoh diantaranya: Agrobost, Tiens Golden Harvest, Embio, EM-4, Starbio, Stardec, Custombio, Biosugih dan lain-lain. Masing-masing merek memiliki karakter keunggulan yang berbeda antara satu dengan lainnya, yang biasanya dibedakan pada banyaknya jenis mikroorganisme yang terkandung, jumlah populasinya per satuan volume, tingkat keaktifan tiap-tiap jenis mikroorganismenya dan responnya terhadap pertumbuhan tanaman.

Satu hal yang harus diperhatikan dalam pengaplikasiannya adalah bahwa tempat untuk melarutkan pupuk hayati (drum atau ember) harus benar-benar bersih dari sisa pestisida. Demikian juga jika pengaplikasiannya menggunakan alat semprot gendong (hand sprayer) diusahakan alat tersebut khusus hanya dipakai untuk penyemprotan pupuk hayati, bukan bekas penyemprotan pestisida. Pemberian pupuk hayati ke dalam tanah juga tidak bersamaan waktunya dengan penyemprotan pestisida, minimal ada jeda waktu paling cepat 3 hari baik sebelum maupun sesudahnya. Karena pupuk hayati sebenarnya adalah berisi makluk hidup yang masih hidup, sehingga residu pestisida baik di alat maupun di dalam tanah memungkinkan sekali akan melemahkan bahkan membunuh mikroba efektif yang terkandung di dalamnya.

  • Pupuk Daun dan Zat Pengatur Tumbuh

Dampak lain dari penurunan kesuburan tanah akibat penerapan konsep pertanian konvensional yang tidak benar adalah beredarnya jenis sarana produksi pertanian lain, yaitu Pupuk Daun dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT). Munculnya kedua jenis barang tersebut menurut pengamatan penulis hanya sebatas “aji mumpung” atau mengambil kesempatan dari permasalahan yang banyak dihadapi oleh petani.

Yang dimaksud pupuk daun dalam hal ini adalah jenis pupuk yang mengandung semua unsur hara tanaman yang pengaplikasiannya dengan cara disemprotkan pada permukaan daun. Pada hakekatnya unsur-unsur hara yang terkandung di dalam pupuk daun adalah merupakan bentuk garam murni dalam ikatan lemah yang mudah terurai menjadi unsur hara tersedia yang bisa langsung diserap oleh akar tanaman. Sedangkan zat pengatur tumbuh dalam konteks ini merupakan komposisi beberapa hormon tumbuh tanaman sintetis yang pengaplikasiannya disemprotkan pada tunas pucuk tanaman, dengan harapan mampu meningkatkan pertumbuhan tunas pucuk yang terhambat.

Sepintas pupuk daun dan zat pengatur tumbuh mampu berperan sebagai solusi instan (cepat) terhadap terhambatnya pertumbuhan tanaman. Padahal terhambatnya pertumbuhan tanaman tersebut sebenarnya disebabkan oleh terganggunya kondisi fisik, kimia dan biologi tanah akibat dari penerapan konsep pertanian konvensional yang tidak seimbang.

Tanpa mengurangi rasa hormat sedikitpun kepada penemu dan produsen pupuk daun, kebetulan penulis adalah salah satu pihak yang tidak setuju pemupukan melalui permukaan daun. Memang daun ada kemampuan untuk menyerap nitrogen dalam bentuk urea, tapi persentasenya sangat kecil sekali terhadap kebutuhan nitrogen total tanaman. Apalagi unsur-unsur lain. Semua bagian tanaman sudah memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan fitrahnya. Bagian tanaman yang berfungsi untuk menyerap zat makanan tiada lain adalah “akar”. Logikanya, berapapun pupuk daun yang disemprotkan pada permukaan daun, boleh dipastikan yang terserap oleh permukaan daun sangat kecil sekali persentasenya. Jika menginginkan tanaman tampak segar, sebenarnya cukup disemprot dengan pupuk urea dosis 0,8-1,0 gram per liter air pada permukaan daunnya.

Tetapi faktanya hingga saat ini justru bermunculan pupuk daun dengan berbagai merek dagang dan banyak petani yang menggunakannya. Beberapa contoh pupuk daun yang beredar di pasaran antara lain Gandasil, Supergrow, Grow More, dan sebagainya.

Namun demikian penulis setuju dengan kehadiran pupuk daun, jika dan hanya jika aplikasinya disiramkan atau disemprotkan pada tanah di zona perakaran, agar bisa langsung diserap oleh akar tanaman (tanpa melalui proses biokimia di dalam tanah). Dan hal ini akan membantu sekali jika terjadi kasus di tengah pertumbuhan tanaman dijumpai gejala kekurangan unsur makanan, sementara ingin dipupuk susulan yang mengharapkan segera bisa diserap oleh tanaman.

Tentang zat pengatur tumbuh, sebenarnya setiap tanaman sudah memiliki hormon tumbuh pada titik-titik tumbuhnya di pucuk tunas dan ujung akar rambut (contohnya giberelin, sitokinin, IAA atau indole acetic acid, dan sebagainya). Tetapi tetap saja ketersediaan unsur hara esesial di dalam tanah sangat menentukan tinggi rendahnya kandungan hormon tumbuh tersebut di dalam tanaman. Oleh sebab itu tindakan yang paling tepat untuk mengatasi terhambatnya pertumbuhan tanaman karena kekurangan hormon tumbuh adalah mengupayakan perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanahnya sejak awal.

Namun untuk tanaman sayuran buah yang sifat pembuahannya bertahap (seperti cabai, paprika, tomat, terong, mentimun dan sebagainya), terkadang mengalami kerusakan titik tumbuh di pucuk tunas produktifnya akibat serangan hama thrips, aphids dan ulat. Khusus pada kasus seperti ini penyemprotan zat pengatur tumbuh pada pucuk tunas disinyalir ada pengaruh positifnya, dengan syarat ketersediaan unsur hara di dalam tanah mencukupi. Tetapi setelah pertumbuhan kembali normal, sangat dianjurkan untuk menghentikan pemakaiannya. Beberapa contoh zat pengatur tumbuh untuk pucuk tunas yang beredar di pasaran antara lain Dekamon 22,43 L, Hobsanol 5 EC, Cultar 250 EC, Goldstar 250 EC, Bigest 40 EC, Atonik 6,5 L, dan lain-lain.

Ir. Wahyudi (Cianjur, Jawa Barat). Praktisi pertanian, konsultan pertanian, trainer pertanian dan penulis buku pertanian. wahyudi.richwan@gmail.com

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun