Sabtu, 10 Agustus 2019 (9 Zulhijjah 1440H)
Kami yang mengikuti program Tarwiyah akhirnya berangkat menuju Arofah dengan menggunakan bus tepat pada jam 8.30 WAS. Bus yang kami tumpangi tidak begitu penuh. Ya jelas saja karena memang hanya kami bertigabelas yang mengisi bus yang mengantar kami ke Arofah tersebut.
Perjalanan tidak memakan waktu lama, dan menurut catatan saya cukup hanya 15 menit saja untuk sampai di Arofah, tepatnya di depan Maktab 51 (Maktab antara Mina dan Arofah biasanya akan sama). Selama perjalanan tadi, saya juga tidak melihat adanya para pejalan kaki yang menuju padang Arofah. Padahal dari apa yang saya dengar dan baca, akan banyak sekali jamaah yang berjalan kaki menuju Arofah. Atau mungkin jalurnya berbeda dengan jalur bus ?
Setelah kami sampai di depan Maktab 51, kami segera turun untuk menuju tenda yang sudah ditentukan dimana jamaah rombongan kami sudah berada disana terlebih dahulu. Wah didalam tenda yang cukup besar tersebut ternyata sudah penuh sesak dengan jamaah. Pembagiannya seperti ini; jamaah ikhwan berada di depan, sedangkan jamaah akhwat berada dibelakang.
Terus terang saja, suasana didalam tenda saat itu cukup panas walau sebenarnya ada pendingin udaranya. Tapi tetap saja tidak seimbang dan tidak sanggung untuk meng"cover" banyaknya jumlah jamaah di dalam tenda tersebut. Alhasil ya seperti inilah... Namun tetap saya dan istri, juga kami semua bertekad untuk menikmati ini semua.
Jam 11.30 tiba-tiba listrik mati! Wah semakin menambah panas tenda kami saat itu. Beberapa jamaah mencoba membuka tirai tenda agar ada angin yang masuk. Tapi itu ternyata tidak banyak membantu. Pada akhirnya banyak jamaah yang memilih keluar tenda untuk menghilangkan gerah dan panas. Saya sendiri lebih memilih bertahan di dalam tenda sambil memperbanyak doa dan dzikir sebagaimana yang dianjurkan oleh Rasulullah.
Sambil terus memanjatkan doa dan dzikir, mata saya tertuju pada pemandangan yang sangat menyentuh hati, dimana tidak jauh dari saya duduk, terdapat seorang jamaah yang sudah tua duduk di kursi roda. Beliau tidak bisa kemana-mana. Keringat membasahi tubuhnya.
Disitulah berdiri disampingnya seorang istri yang sangat setia yang senantia mengipasi sang suami sambil sesekali menyapu lap basah ke badan suaminya yang terus berkeringat. Hal ini terus dilakukannya tanpa memperdulikan kalau sang istri sendiri sebetulnya juga berkutat dengan keringat. Masya Allah...
Saya tidak bisa menahan air mata yang turun ke pipi ini lewat pelupuk mata. Betapa saya bersyukur Allah memberikan kesempatan kepada saya dan istri untuk bisa berhaji tahun ini. Semua doa saya panjatkan dengan keyakinan yang mendalam bahwa Allah akan mengabulkan doa kita. Sementara air mata ini terus mengalir....
Tepat jam 15.00 WAS, hujan turun di Arofah. Subhanallah... Hujan berkah yang Allah turunkan kepada kami saat itu. Segera saja takbir menggema di Arofah tanda memuji kebesaran Allah. Pun demikian dengan saya dan istri yang memutuskan untuk segera keluar tenda dan berdoa dibawah guyuran hujan. Sebetulnya petugas disana sudah meminta jamaah untuk kembali masuk kedalam tenda. Namun keadaan malah sebaliknya, justru semakin banyak jamaah yang keluar untuk berdoa dan berdzikir.
Saya dan istri sama sekali tidak beranjak kembali kedalam tenda dan terus melakukan doa di Arofah, baik itu yang sendiri-sendiri, maupun doa yang saya pimpin. Kami baru kembali ke dalam tenda ketika waktu menunjukkan hampir jam 17.00 WAS. Inipun karena kami harus bersiap-siap untuk berangkat menuju Muzdalifah selepas sholat Maghrib nanti. Baru saja kami duduk didalam tenda, para ketua regu kembali membagikan makan malam  yang ditambah dengan goody bag yang berisi Mie Instant, air minum, dan cemilan lainnya.
Masya Allah walhamdulillah.. Belum habis makan siang kami, datang lagi makan malam yang lebih banyak. Dan tentu saja ini menjadi "beban tambahan" bagi bawaan kami. Eh jangan ditinggal ya, seberat atau sebanyak apapun makanan-makanan itu, tetap kita bawa karena nanti akan sangat berguna saat di Muzdalifah ketika kita mabit nanti. Soalnya kadang ditengah malam, lapar melanda lagi. Eh itu mah saya lho ya, gak tahu kalau bagi yang lain mah, hihihihi...
Dan betul saja, ba'da Maghrib kami semua segera menuju tempat menunggu bus yang nanti akan membawa kami ke Muzdalifah. Pengangkutan juga nantinya akan diatur perrombongan ya. Tapi kalapun ternyata nanti kita disuruh masuk duluan alias terpisah dengan rombongan, tidak mengapa. Ikuti saja, toh nanti juga akan ketemu dengan rombongan kita saat mereka sama-sama berada di Muzdalifah.
Satu hal lagi, naik bus tidak usah berebut. Pasti semua akan kebagian bus koq. Antri dan ikuti saja arahan dari petugas. Kalau perlu kita ikut membantu pengaturan keberangkatan dan menolong para orang tua yang kesulitan ketika naik bus.
Kerikil ini yang nantinya akan kita gunakan untuk lontar jumroh. Jadi kita gak perlu lagi repot-repot mencari kerikil di malam hari. Banyak orang yang bersedekah dengan cara menyiapkan kerikil itu, Masya Allah...
Begitu tiba di Muzdalifah, kami mencari lokasi yang bisa menampung semua anggota rombongan kami. Sebetulnya pemilihan tempat ini bebas-bebas saja. Hanya saja kami tetap mengikuti arahan petugas. Dan kami mendapat tempat yang tidak jauh dari toilet dan pintu keluar. Di Muzdalifah ini juga tersedia banyak karpet yang bisa kita pergunakan untuk merebahkan badan.
Walaupun begitu, kita tetap jangan serakah ya. Ambil saja secukupnya dan sediakan untuk jamaah atau rombongan lainnya. Para ketua regu kamipun bergerak cepat dengan mengambil beberapa lembar karpet untuk segera digelar guna dipergunakan untuk istirahat. Alhamdulillah... Akhirnya kami bisa merebahkan badan kami dengan beralas tikar dan beratap langit. Mengingatkan saya ketika sedang camping, hehhehe...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H