Chairil Anwar 'si Binatang Jalang '(5)
"Kenangan bagi Medan dan Ayah.."
Chairil Anwar ,Aku Keras Ayah Lebih Keras..""Terbang Hambus Kau.."
Ke Bandung, Sukabumi aku tidak peduli..."
Semenjak berpisah dengan Sumirat, Chairil punya Hafsah. Mereka segera menikah tanpa banyak proses pacaran. Kehidupan Chairil dengan Hafsah cukup Harmonis.
"Siapa itu Karinah, " Tanya Hapsah.
"Tak boleh tahu, " jawab Chairil tertawa.
"Sri Ayati? Juga Ida Nasution, Dien Tamaela, Tuti, Ina Mia atau ada lagi tiga nama.." sahut Hafsah cemberut.
"Kamu tahu?"
"Dipuisi kamu.." teriak Hafsah.
"Sudahlah, itu masa lalu..," jawab Chairil enteng.
"Lebih baik kamu kenal dengan ayahku saja, mertua kamu..," Chairil masih tertawa.
"Kita menikah dengan sederhana, ayah kamu tidak peduli, " Hafsah masih menunjukkan kekesalannya. Tapi ia juga ingin tahu ayah suami yang belum dikenalnya di Sumatera.
"Ayahku sangat menyayangiku. Dia seorang ambtenar (pejabat) punya uang banyak. Rumahku di Medan adalah Gedong berhalaman luas," kata Chairil.
"Itu sudah kamu ceritakan ." Hafsah tidak sabaran.
"Dengar dulu, " kata Chairil setengah berteriak.
Hafsah melihat suaminya serius bercerita dengan
cara menarik hati Hafsah.
Ketika kecil, apa saja dibelikan ayah, main gasing, gundu dan sebagainya. "
"Kenapa engkau tidak tinggal bersama ayahmu saja?" Tanya Hafsah.
"Aku keras kepala, tapi ayahku lebih keras ..," lanjut Chairil Anwar.
"Sebelumnya aku tidak mau ikut ibu, aku menyusul ibu setahun kemudian setelah bercerai dengan ayah. Ayah mengusirku, saking marahnya sampai mengeluarkan bahasa daerah.
"Baambuih waang, ka Banduang, ka Sukabumi aden indak paduli, "
"Apa itu?" Hapsah mengernyitkan kening.
"Artinya ayah mengusirku, terbang, pergi, berhambus," Chairil tertawa.
"Sudahlah, cukup itu saja.." Chairil meninggalkan Hapsah. Istrinya itu tidak puas Chairil menghentikan ceritanya begitu saja.
Chairil mungkin terbuka kepada Hafsah. Perceraian dengan ibunya tidak serta merta Chairil Anwar ikut ibu ke Jakarta.
Ia masih sekolah di MULO dan ayahnya ingin Chairil Anwar lulus sekolahnya.
Itu yang diingat Chairil Anwar ketika ia pergi tanpa menamatkan sekolah MULOnya berangkat ke Jakarta mencari ibunya.
puisi.
"Rumahku."
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar Segala nampak
Kulari dari gedong halaman
Aku tersesat tak dapat jalan.
(Penggalan puisi Chairil Anwar )
puisi pertengkaran dengan ayah
"Perhitungan"
Banyak gores belum terpuruk saja
Rumah kecil putih dengan lampu merah caya
Langit bersih cerah dan purnama raya
Sudah itu tempatku tidak tahu entah dimana
Sekilap pandangan serupa dua klewangan bergeser
Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran
Hambus kau
ke Bandung ke Sukabumi aku tak peduli..
(Chairil Anwar)
puisi, tanpa judul Chairil Anwar
(Kenangan masa kanak kanak)
rumah tersembunyi dalam cemara rindang tinggi
pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang
gundu, gasing, kuda-kudaan, kapal-kapalan di zaman kanak.
…Kalau datang nanti topan ajaib
menggulingkan gundu, memutarkan gasing, memacu kuda-kudaan, menghembuskan kapal-kapalan…”
(Chairil Anwar)
Bersambung,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H