Catatan Ketika Suka Berutang Bagi Anak Kost...
Sekolah ke kota hidup sendiri dan kos bersama teman punya perjuangan sendiri. Â Apalagi kalau ekonomi orang tua pas pas atau tidak cukup mesti berhemat.Â
Masak sendiri dan makan apa adanya menjadi suatu keharusan
Saya tinggal di sebuah kota yang cukup besar .
Didekat setasiun yang membawa batubara dari Sawah Lunto.Â
Disitu ada juga pembangkit listrik PLN yang mengalirkan air pendinginan mesin listrik ke kesebuah kolam. Pabrik Lam Kiau (LK) yang kemudian berubah nama jadi Lembah Krya.
Asyiknya warga diizinkan mandi di kolam itu. Â Airnya panas suam suam kuku.Â
Jadi tidak ada kesulitan kalau mandi dan tinggal "ngacir" kolam tiap pagi atau sore.
Ada lagi, kemudahan berada didekat setasiun batubara. Batu bara bertebaran dan terbuang percuma di setasiun. Bisa dipungut dan tidak diawasi.
Tampaknya batubara itu dibawa dari Sawah Lunto dengan muatan cukup banyak. Jadi berceceran begitu saja sebelum diekspor ke pelabuhan.
Ketika itu zaman permulaan ordebaru dan memasak pakai kayu api. Tapi disitu banyak yang memakai batubara.
Kami para anak kost memasak pakai Batubara dan gratis. Apinya kalau tidak salah nyala terus kalau tidak dipakai (jadi bara panas)
Menghidupkan pertama kali agak susah, jadi dibiarkan hidup tempat masak  jauh dari rumah.
Apa pengalaman anak kost yang tidak enak? Malas memasak sering berbelanja di kedai.Â
Akibatnya uang tidak cukup dan pemilik kedai tidak keberatan dibayar setelah dapat kiriman. Makin Hari budget naik tanpa disadari.Â
Ini kebiasaan yang sangat saya sesali sampai saat ini.
Terjerat utang pada akhir bulan tidak cukup untuk membayar lunas utang itu. Setelah utang dibayar tidak lunas tak boleh lagi "utang" Kejamnya tukang warung.Â
Akibatnya, tidak punya uang dan tidak bisa berutang. Minta kepada orang tua merasa malu karena hidup orang tua juga pas pas-an.
Sulit sekali bertahan hidup, saya berjanji untuk tidak mau lagi berutang. Kejadian itu membuat saya kapok sampai saat ini tidak mau berutang dan menghindari apabila menyangkut makanan dan hidup sehari hari.
Beruntungnya saya diajak kekebun di dekat Indarung oleh seorang tentara berpangkat major dengan mobilnya.
Meski tidak setiap hari, hanya pada hari libur itu membuat saya bertahan hidup karena dapat sedikit uang
 Teman teman sesama kost tapi beda sekolah ikut membantu tertawa juga prihatin melihat penderitaan saya.
Saya bertahan tanpa uang dengan segala keterbatasan.Â
Tempat pendidikan saya tidak jauh dari tempat tinggal. Pada waktu itu biasa saja dengan berjalan kaki sampai sekolah.Â
Teman teman saya banyak berasal dari Riau, Kerinci atau Tapanuli Selatan.Â
Bersekolah cukup mudah dan biayanya tidak mahal seperti sekarang. Sekolahnya hanya ada 3 di Sumatera yaitu Padang, Medan dan Palembang.
Masa percobaan dan setelah itu masuk asrama pada tahun kedua. Makan di asrama sebuah hal yang tidak biasa bagi saya.Â
Saya selalu tidak merasa kenyang, karena tidak bisa nambah. setelah makan di asrama karena porsinya terasa sedikit, gorengan  (singkong) menjadi sasaran diwarung.
Orang tua saya marah tidak mau seperti itu. Terpaksa lagi kost tambahan.
Sekarang tempat itu sudah berubah banyak dan di kost pertama tidak ada lagi batubara disetasiun.Â
Itu sedikit pengalaman saya sekolah dan kost berpisah dari orang tua dan kemudian bekerja.
Di Riau saya bertemu dengan  teman yang dulu sama sekolah dan telah menjadi dosen di Akademi Perawat.Â
Ia cuma "nyengir" ketika tahu saya tidak lagi bekerja di Kesehatan pada hal sudah bekerja di rumah sakit selama 4 tahun.
Namun dia senang ketika saya mendapat pekerjaan lebih baik dan sering pindah tugas.
 .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H