Mohon tunggu...
Yudi Rahardjo
Yudi Rahardjo Mohon Tunggu... Sales - Engineer, Marketer and Story Teller

Movie Enthusiast KOMIK 2020 | Menulis seputar Worklife, Movie and Hobby

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Micromanaging, Jadi Terstruktur atau Makin Ribet?

13 Desember 2023   17:04 Diperbarui: 14 Desember 2023   00:02 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Sources : pexels.com

"Don, Coba jelasin jobdeskmu hari ini !"

Doni mulai kelihatan panik.

Pagi ini ada hal berbeda yang terjadi di perusahaan PT Wibowo, Pak Lukman sebagai manager akan melakukan pengawasan pada setiap karyawannya, hal ini dilakukan karena kinerja perusahaan secara umum dinilai menurun.

Untuk membuat kinerja perusahaan kembali naik, maka Pak Lukman coba untuk "turun tangan", pria  paruh baya dengan perut buncit yang biasanya hanya terima laporan saja, kini  akan memeriksa kinerja setiap orang yang secara structural berada di bawahnya.

Baik Tapi Tidak Terstruktur.

Beruntungnya Doni, dialah karyawan pertama yang menjadi target Pak Lukman.

Secara kinerja sebenarnya Doni tidak bisa dibilang jelek, sebagai seorang fresh graduated yang masih punya semangaat membara, dia memiliki etosdan semangat kerja yang tinggi. Namun Doni tidak terbiasa bekerja secara terstruktur.

Biasanya, saat awal, Doni akan mengerjakan secara santai, lalu bekerja sembari melakukan hal lain, bisa pekerjaan lain  atau sekedar bermain game dan scroll sosial media, lantas saat mendekati deadline, barulah dia langsung ngebut menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Kinerja yang seperti ini kemudian yang membuat Pak Lukman geleng-geleng, terungkap sudah alasan kinerja  perusahaan  jadi tidak sesuai target, karena karyawannya seperti Doni ini.

"Loh kok kerjamu begitu, Don ?"

"Kamu kerjanya gimana sih, Don?"

Ilustrasi | Sources : pexels.com
Ilustrasi | Sources : pexels.com

Mendadak Micromanaging. 

Apa yang dilakukan oleh Pak Lukman ini adalah yang disebut dengan micromanaging, melakukan pengawasan yang lebih detail pada kinerja bawahan, memastikan apakah para karyawan ini sudah melakukan pekerjaannya dengan SOP (Standar Operating Procedure) yang ditetapkan, hal ini juga yang menjadi acuan dari hasil kinerjanya, apakah sudah sesuai KPI (Key Performance Indicator) atau belum.

Sebagai seorang atasan, maka Pak Lukman memang bertanggung jawab pada kinerja Doni, maka tindakan micromanagingnya ini adalah hal yang benar, namun dalam prespektif lain, micromanaging, menjadi sesuatu yang negative, karena karyawan merasa ruang geraknya menjadi terbatas dan malah jadi tidak bisa bekerja dengan optimal.

"Ih Bawel banget sih"

"Iya, kita beneran kerja kok"

"Dasar aki aki"

Ilustrasi | sources : pexels.com 
Ilustrasi | sources : pexels.com 

Berbagai macam sambatan (keluhan) kemudian keluar dari mulut Indah, karyawan Perempuan yang juga berada di divisi Pak Lukman, Perempuan usia 20an yang lebih sering minum boba dibanding minum air putih ini (Gen Z banget), menjadi tidak nyaman dengan apa yang dilakukan oleh Pak Lukman.

Dia merasa kondisi mentalnya jadi terganggu dan dia harus healing, paling tidak satu bulan, padahal dia baru kerja di perusahaan tersebut selama 3 bulan, menurut Indah, dia harus mengembalikan keadaan mentalnya kembali sehat.

Namun karena peraturan perusahaan yang tidak memperbolehkan karyawan baru untuk mengambil cuti, maka Indah lebih memilih mengundurkan diri (resign), kembali pada pemikirannya jika keadaan mental yang sehat adalah yang utama.

Kepergian Indah kemudian disusul oleh  beberapa karyawan lain yang kemudian membuat divisi HRD jadi berkeluh kesah, karena harus merekrut banyak karyawan baru.  

Tepatkah Micromanaging ?

Setelah memakan korban, apakah tindakan micromanaging Pak Lukman sudah tepat ?

Jika melihat hasil yang didapatkan, maka menjadi tidak tepat, karena sumber daya manusia jadi makin berkurang, dan kini butuh waktu tambahan untuk melakukan training pada para karyawan baru.

Namun ini juga bukan menjadi sepenuhnya salah Pak Lukman, karena memang mental generasi sekarang tidak bisa disamakan dengan mental yang dimiliki oleh generasi Pak Lukman. 

Kenyamanan kerja dan Kesehatan mental adalah yang utama, dengan perkembangan teknologi yang massif, anak muda ini bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan baru.

Ilustrasi | source: pexels.com 
Ilustrasi | source: pexels.com 

Ada kerugian lain juga yang dialami Pak Lukman, karena kegiatan micromanaging ini malah menghabiskan waktunya, padahal Pak Lukman juga memiliki jobdesk sendiri yaitu untuk melakukan kebijakan strategis, jobdesk ini kemudian tidak bisa dia lakukan dengan optimal.

Menyikapi dengan Positif.

Micromanaging adalah tindakan yang tepat, namun akan jadi menimbulkan masalah baru jika tidak dieksekusi dengan baik, perlu dipertimbangkan juga seperti apa pemikiran generasi z, memang sebagai perusahaan, tidak bisa begitu saja mengikuti kemauan para muda-mudi ini, namun menghargai dan mengapresiasi mereka adalah hal yang perlu dilakukan.

Para generasi Z juga, cobalah untuk memahami apa yang dipikirkan mereka yang lebih tua, karena mereka hidup lebih lama daripada masa kalian, jika memang perusahaan memiliki "rules" maka ikutilah rules tersebut, rules ini ada untuk membuat semuanya nyaman, bukan hanya kalian saja yang nyaman, karena semua ini demi kepentingan bersama.

Semoga bermanfaat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun