Mohon tunggu...
Yudi Rahardjo
Yudi Rahardjo Mohon Tunggu... Sales - Engineer, Marketer and Story Teller

Movie Enthusiast KOMIK 2020 | Menulis seputar Worklife, Movie and Hobby

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Lama Menjadi CEO, Patutkah Bangga?

21 Juli 2023   09:03 Diperbarui: 21 Juli 2023   10:48 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Source : canva.com

"Saya sudah jadi CEO di perusahaan ini selama belasan tahun"

Dengan bangganya seorang pria yang ada di suatu pertemuan yang saya ikuti bercerita demikian, namun bagi saya tidak ada kekaguman yang timbul dari pernyataan tersebut, saya malah mengernyitkan dahi dan kemudian menyangsikan apakah pria yang berdiri di depan saya ini punya kemampuan kepemimpinan yang baik.

Orang-orang lain lantas berdecak kagum, mengatakan jika pria ini adalah orang yang hebat karena menjadi CEO selama belasan tahun ini adalah sebuah prestasi yang luar biasa, berbeda dari mereka, saya mengganggap hal tersebut bukanlah prestasi.

Waktu Ideal Menjabat CEO.

Dilansir dari Thinker50.com, nilai rerata untuk seseorang mengisi jabatan sebagai CEO adalah diantara 4 hingga 9 tahun, memang ini bukan suatu hal yang menjadi tolak ukur yang sama untuk semua perusahaan, tergantung pada skala perusahaan dan sektor bisnis dari perusahaan tersebut.

Namun memang durasi tersebut, bisa dikatakan durasi yang ideal untuk membuat sebuah perubahan dalam sebuah perusahaan.

Ilustrasi | Source : canva.com
Ilustrasi | Source : canva.com

Ketika merekrut seorang karyawan, maka perusahaan punya beberapa ekspektasi pada karyawan tersebut dan umumnya dituangkan dalam KPI (Key Perfromance Indicator) yang kemudian menjadi tolak ukur dari kinerja karyawan tersebut apakah sudah berhasil atau tidak.

Key Performance Indicator | Source : canva.com
Key Performance Indicator | Source : canva.com

Dalam masa probation, jika karyawan dinilai tidak bisa memenuhi KPI, maka perusahaan tidak akan memperpanjang kontrak dari si karyawan tersebut, lantas kemudian karyawan itu tidak akan lagi bekerja disitu. Ini yang terjadi pada karyawan di level staff hingga manajer, di C-Level atau direksi tidak bisa semudah itu mengaplikasikannya.

Saat perusahaan menghire CEO alias Chief Executive Officer baru, maka ada ekspektasi untuk melakukan perubahan yang signifikan dalam perusahaan. Untuk direksi dan perusahaan yang sudah bijak, pasti mereka akan sadar jika perubahan itu tidak akan terjadi hanya dalam waktu 1-2 tahun.

Ilustrasi | source : canva.com 
Ilustrasi | source : canva.com 

Perubahan seperti yang dikehendaki ini, umumnya baru terjadi di tahun ke 3 atau ke 4, lantas barulah di tahun tahun berikutnya ekspektasi yang diharapkan dari perusahaan benar terjadi.

Lantas kemana CEO tersebut setelah hal itu terjadi?

Jika CEO tersebut sudah berhasil menyelesaikan tugasnya dan memenuhi ekspektasi dari perusahaan, maka dia akan diberikan tugas yang lebih besar lagi, bisa dengan permasalahan yang lain dari perusahaan tersebut, bisa pula kemudian dia berpindah ke perusahaan yang lain dengan tantangan yang berbeda lagi.

Ilutrasi CEO baru | source : pexels.com
Ilutrasi CEO baru | source : pexels.com

Perpindahan si CEO ini menunjukan jika dia ingin berkembang, dia ingin tantangan yang berbeda, ingin sesuatu tantangan baru yang harusnya bisa dia selesaikan untuk memenuhi pencapaian dalam hidupnya.

Jika CEO ini masih stuck di perusahaan tersebut, bisa saja diam emang enggan untuk berpindah dan merasa sudah "terlalu nyaman" dengan kondisinya sekarang sehingga tidak mau lagi berpindah ke perusahaan lain, dia ingin selamanya menyelesaikan masalah-masalah yang sudah sering terjadi.

Kelewat nyaman ini yang nantinya akan membuat CEO dan perusahaan ini terjebak dalam bahaya, perusahaan bisa jadi menjadi stuck dengan kinerja yang begitu-begitu saja. Sementara kompetitor perusahaan lain sudah berkembang makin jauh.

Tukang Cukur Lintas Generasi

Ada tambahan cerita lain yang berkaitan dengan CEO ini, di kampung saya, ada seorang tukang cukur  yang mewariskan profesinya pada anaknya.

Setelah bertahun-tahun menjadi tukang cukur, anaknya yang sedari kecil melihat ayahnya mencukur banyak orang kemudian juga mengikuti jejak ayahnya menjadi tukang cukur.

Karena mencukur adalah profesi turun temurun dalam keluarga begitu dalih si anak, saat ditanya mengenai kenapa dia memutuskan menjadi tukang cukur, oke... memang tidak ada masalah menjadi tukang cukur, perkejaan tersebut halal dan bermanfaat bagi banyak orang, namun apa yang dilakukan si anak ini bisa dikatakan hanya meneruskan saja, tanpa ada perubahan berarti.

Di era banyaknya barbershop yang bertebaran, gubuk kecil yang dulunya biasa digunakan sang ayah untuk mencukur juga masih serupa seperti dulu, pelayanan yang dia berikan juga sama saja seperti yang dilakukan sang ayah.

Ilustrasi Tukang Cukur | Source : pexels.com 
Ilustrasi Tukang Cukur | Source : pexels.com 

Alhasil tukang cukur tersebut jadi tidak seramai dulu karena pelangganya berpindah ke tempat cukur lain yang sudah memberikan pelayanan lebih baik.

Analogi ini kurang lebih sama dengan seorang CEO yang tidak melakukan apa-apa dan hanya berada pada zona nyamannya saja, dia sudah nyaman dengan semua hasil yang didapatkan dari usahanya, padahal jika dia memberikan usaha yang lebih, maka hasil yang dia dapatkan juga akan jadi makin meningkat.

Penutup

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari rangkaian tulisan CEO yang rencananya akan memiliki tiga bagian, untuk bagian pertama anda bisa membcanya di link yang tertera dibawah.

Bagian Pertama :

Modal Jadi CEO.

Tulisan Lain Mengenai Worklife :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun