Mohon tunggu...
Yudi Rahardjo
Yudi Rahardjo Mohon Tunggu... Sales - Engineer, Marketer and Story Teller

Movie Enthusiast KOMIK 2020 | Menulis seputar Worklife, Movie and Hobby

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Selamat Datang, Para Pencari Kerja

5 Oktober 2018   08:09 Diperbarui: 5 Oktober 2018   13:10 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : Google.com

Beberapa minggu lalu, yang saya lakukan adalah duduk berjam jam di depan laptop sembari menghitung dan mencari referensi yang bisa dijadikan dasar acuan skripsi yang saya buat, yang saya pikirkan adalah bagaimana skripsi ini bisa selesai, perjuangan saya mengerjakan skripsi ini sudah begitu lama,  target kelulusan saya juga sudah mundur sekian tahun.Hal terpenting yang ada di pikiran saya saat itu hanyalah saya bisa ikut sidang dan lulus.

Akhirnya sidang berhasil saya lalui, alhamdulillah saya lulus, dengan predikat yang lumayan, hanya lumayan saja, karena kebanyakan yang diujikan saat sidang adalah bagian bagian awal skripsi saya,  yang dikerjakan sufah bertahun-tahun yang lalu. Penilaian dari dosen penguji juga tidak sesuai harapan, hal ini berimbas kepada indeks prestasi kumulatif (IPK)  yang sedikit melesat di bawah harapan.

Awalnya saya tidak begitu mempermasalahkan hal tersebut, selalu ada kata kata motivasi seperti "IPK bukan penentu nasib", "IPK dua calon manajer, IPK tiga calon bawahan" dan banyak lainnya. Tetapi hal itu berubah saat saya ikut jobfair, kebanyakan syarat minimal yang diperlukan untuk diterima kerja adalah minimal IPK tiga, ddan ternyata yang dilihat paling awal adalah IPK, jika IPK kurang dari tiga, maka otomatis langsung ditolak. Hal demikian yang membuat mental saya menciut seketika, suddah kuliah lama, tetapi ketika lulus ternyata malah tidak dibutukan oleh perusahaan.  

Penyesalan sudah tentu ada, penyesalan saya adalah karena saya terlalu berfokus mengerjakan skripsi, dan tidak mau mengulang mata kuliah supaya bisa mendongkrak IPK, tapi nasi telah menjadi bubur, kesempatan tersebut sudah tidak bisa saya ambil lagi, sekarang bagaimana caranya nasi yang sudah menjadi bubur bisa enak untuk dimakan, buburnya harus dikasih ayam, dikasih kerupuk dan tambahan tambahan lain supaya tak kalah dengan nasi. Bumbu tambahan ini diartikan sebagai kemampuan-kemampuan atau yang bisa disebut soft skill yang membuat seperti kepemimpinan, kemampuan berorganisasi dan banyak hal lain yang membuat saya dipandang punya nilai lebih di mata perusahaan perusahaan.

Salam Hangat

Yogyakarta, 5 Oktober 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun