Januari 2021 adalah terakhir kutulis puisi. Setahun kulewati tanpa kata tertoreh di lembar putih layar laptopku. Â Tak terasa.Momen apakah yang membuatku harus jeda?Â
Kutelusuri satu-satu kalimat demi kalimat, paragrap satu ke paragrap berikutnya dan satu tulisan ke tulisan lainnya. Seperti kembali membuka halaman buku lama yang sudah penuh peristiwa yang telah usai.Seperti mendengar seorang pemandu wisata menjelaskan makna di balik goresan dan pahatan di batu candi, serta sejarah yang melandasinya.
Betul...ini juga sejarahku. Perjalanan dari waktu ke waktu dan semua bercerita tentang cinta. Aku tertawa begitu satu cerita terbaca.
Tentang sakitnya ditinggalkan orang tercinta, hati yang terabai, dan beragam rasa entah apa. Betapa berbunga-bunganya aku kala itu.
Penuh ide, cekatan merangkai kata dan kalimat, dan romantis serta puitis.
Hahaha.....
Ada apa kala itu?
Ada apa? Mengapa setahun setelah itu jeda? Hilang seperti asap knalpot motor yang terbang bersama angin? Seperti hantu yang muncul dan tiba-tiba tak nampak?
Apakah aku sibuk? Tantangan pekerjaan menguras waktuku? Sampai tak sempat tersentuh lagi layar putih berisi puisiku?
Apakah aku lebih mementingkan hal yang lain? Memberi energi untuk menulis karya ilmiah yang menjanjikan turunnya tunjangan profesi  dan reputasi ? Apakah aku merasa sia-sia menulis fiksi karena dicemooh oleh teman kerja dianggap karya remeh dan receh?
Apakah karena itu? Ya...apakah karena itu?
Bisa jadi iya, tapi juga bisa jadi itu hanya sebagian. Mungkin ada bagian lain yang mungkin lebih mendasar?
Jadi ingat sebuah pernyataan, ketika orang sedang jatuh cinta, mendadak ia menjadi pujangga hebat.
Kubaca lagi tulisan pertamaku dan berikutnya. Setiap waktu kucatat untuk menemukan momentum apa di baliknya. Benarkah aku adalah seorang pujangga dadakan karena sedang jatuh cinta? Betulkah puisi-puisi rajutanku adalah ekspresi rasa cinta yang sedang mekar?
Sebentar...ijinkan aku mengingatnya. Sebentar....
Perlukah aku tahu tentang ini? Kalian yang mungkin ingin tahu untuk membuktikan asumsi, jatuh cinta adalah alasan utama orang menulis puisi, sama halnya dengan putus cinta.
Sebentar....aku sulit mengakuinya...
Hanya aku ingin katakan, aku adalah pujangga amatir sejak dulu, sejak masih sekolah dasar. Sejak beberapa puisiku muncul di majalah anak-anak saat itu dan cerita fiksiku bermunculan bergantian di majalah seusia gadisku dan dewasaku.
Jadi?
Entahlah. Karena puisi dan cerita adalah ekspresi dari rasa yang tak akan pernah hilang. Siapakah yang pernah cinta pergi dan tak pernah kembali? Siapakah yang pernah sakit hati dan tak pernah sembuh? Rasa tetap akan ada. Cinta juga akan tetap ada. Karena itu, jeda puisiku justru dapat berarti simbol tentang cinta, tapi terpendam yang bisa saja sewaktu waktu akan muncul kembali. **
Yogyakarta, 4 Mei 2022
Tulisan pertama setelah kembali dapat bertemu lagi dalam ruang-ruang yang pasti, meski masih pandemi.
Â
 Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H