Aku menaikkan alisku. Arah perbincangannya sudah meleset dari apa yang kuduga.
"Kamu tahu? Media sosial sekarang ini sedang marak dengan istilah badboy atau fuckboy. Dan lelaki yang demikian katanya justru disukai banyak perempuan muda."
"Terus?"
"Aku mungkin akan menjadi fuckboy, tapi gak pa palah."
"Terus?"
Adrian meneguk lagi teh panas manis. Kali ini sampai habis. Dengan sambil beranjak berdiri dan kembali mengenakan maskernya, dia menatapku.
"Yang aku suka adalah kamu." katanya sambil berlalu meninggalkanku terbengong sendirian di kantin.
***
Manakah yang benar, aku yang badgirl atau Adrian yang fuckboy? Karena kami akhirnya berpacaran. Tidak pedulilah gunjingan orang tentang kami. Tante-tante kaya yang cari daun muda, atau cowok matrek, demi materi mengiyakan segala cara. Sebetulnya sih aku kasihan pada Adrian. Sesungguhnya kami sadar resiko ini. Tapi entahlah.Â
"Abaikan apa yang dikatakan orang. Apalagi cewek-cewek." kata Adrian suatu sore. "Mereka hanya iri padamu."
Matahari di langit barat mulai tenggelam separuh. Semburat merah kecoklatan masih nampak sedikit menyeruak. Adri duduk di sampingku, menikmati sore yang lengang. Tangannya merentang ke bangku panjang sekaligus seperti menaugi tubuhku. Serius, sekalipun jauh lebih muda, aku tak pernah merasakan itu. Ia begitu dewasa.Â