Lagi, dugaan pelecehan seksual dengan cara tak lazim terungkap via pengakuan para korban di media sosial Twitter. Mengapa kasus ini tak biasa? Pelaku adalah mahasiswa (G) yang berkedok sedang mengerjakan riset dan mendekati korban dengan serangkaian perilaku manipulatif: seperti merangkai informasi palsu, memaksakan kehendak, dan membuat korban merasa bersalah.
Namun, yang membuat warganet tak habis pikir, pelaku meminta korban mengikat diri dengan lakban dan membungkus tubuhnya secara rapat dengan kain hingga menyerupai pocong.Â
Terlepas dari dugaan adanya kecenderungan parafilia (gairah seksual yang muncul karena objek/stimulus tak lazim) (Nevid, Rathus, & Greene, 2018) pada pelaku (diagnosis hanya dapat ditegakkan oleh psikolog yang langsung menangani pelaku), saya ingin membahas tentang pola yang selalu hadir dalam kasus kekerasan seksual: RELASI KUASA. Â Â
Dalam kasus kekerasan seksual, selalu ada ketimpangan relasi antara pelaku dan korban. Ketidaksetaraan ini dapat berupa perbedaan status (pimpinan-bawahan) atau perbedaan pengetahuan dan informasi yang dimiliki oleh pelaku dan korban (Farid, 2019). Pada kasus G, korban adalah mahasiswa baru yang dianggap awam dengan kehidupan kampus dan diasumsikan tunduk terhadap senior.Â
Lewat dalih riset, G melakukan kamuflase bahwa permintaannya kepada korban merupakan sesuatu yang wajar. Apa yang dilakukan oleh G merupakan indikasi mekanisme pertahanan diri rasionalisasi (Olson & Hergenhahn, 2013).
Pernahkah Anda menjelaskan sesuatu yang sebenarnya jelas-jelas keliru, tetapi disampaikan lewat hal yang dapat diterima oleh logika? Contohnya, mahasiswa telat hadir di perkuliahan dengan alasan membantu orangtua di toko.Â
Padahal sebenarnya ia telat bangun dan mencari argumen yang dapat diterima oleh pihak lain. Cara ini dinamakan dengan rasionalisasi dan wajar digunakan sesekali dalam keadaan terdesak. Rasionalisasi menjadi tidak wajar bila digunakan secara konsisten di setiap situasi dengan tujuan manipulasi informasi yang dapat merugikan orang lain.
Manipulasi informasi adalah kata kunci untuk melanggengkan relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi berulang kali. Michel Foucault, filsuf yang membahas teori relasi kekuasaan, berpendapat bahwa semua jenis wacana dan informasi merupakan upaya dari penggunanya untuk memengaruhi orang lain (Magee, 2012).Â
Tak heran bila kerap terjadi kasus kekerasan seksual yang melibatkan pihak dengan otoritas informasi, misalnya antara pimpinan dan staf di tempat kerja, oknum senior dan junior di sekolah/perguruan tinggi, oknum pendidik dan siswa/mahasiswa di dunia pendidikan, dan bahkan oknum pemuka agama dan pengikutnya.Â
Kepemilikan terhadap informasi membuat oknum tersebut leluasa menciptakan relasi kuasa antara dirinya dan para korban. Itulah mengapa terjadi kasus kekerasan seksual yang diawali dengan ancaman terhadap nilai tugas akhir (untuk korban mahasiswa/siswa dan pelaku oknum pendidik), ancaman dipecat dari perusahaan (untuk korban pekerja), hingga ancaman dianggap tak patuh terhadap oknum pemuka agama. Â Â
Kepatuhan terhadap Pelaku, Mengapa dapat Terjadi?Â
Pada kasus G, seluruh korban yang membuat pengakuan (hingga tulisan ini dipublikasikan) adalah lelaki. Banyak warganet yang heran mengapa lelaki dapat menjadi korban dan seakan tak memiliki kuasa untuk menolak.