[caption caption="Sesi Workshop bersama Prof. Sawitri di Univ Islam Indonesia"][/caption]Profesor Sawitri Sadarjoen, saya pertama kali mengenal beliau lewat rubrik konsultasi psikologi di harian KOMPAS edisi Minggu. Beliau kerap mengupas persoalan keluarga, perkawinan, relasi pasangan, dan isu psikologi yang sedang populer di masyarakat.
Saya menyukai tulisan beliau karena mencerahkan dan tidak terkesan menggurui. Selain kagum dengan tulisan beliau, saya juga kagum dengan pencapaian Profesor Sawitri di bidang psikologi klinis. Selama puluhan tahun, beliau mampu memadukan antara praktik sebagai psikolog dan aktivitas mendidik sebagai dosen dengan amat baik. Sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh segelintir orang luar biasa.
Tanpa diduga, akhir Agustus lalu, saya berpapasan dengan Profesor Sawitri ketika menghadiri sesi seminar di Universitas Padjadjaran (Unpad). Saya sangat senang sekaligus gugup karena bertemu dengan sosok guru besar dan penulis yang saya kagumi. Ketika itu saya ingin sekali menyapa dan meminta foto bersama beliau. Tapi apa daya, beliau selalu dikerumuni oleh peserta seminar lainnya.
Sesuatu yang sangat wajar karena Profesor Sawitri merupakan tokoh psikologi klinis di Indonesia, sehingga pasti banyak orang yang mengenal beliau. Dan sepertinya yang mengelilingi beliau adalah para dosen yang dahulu pernah menjadi mahasiswa Profesor Sawitri. Walhasil, saya menyerah, namun tetap berharap suatu saat bisa berbicara dengan beliau.
Pada peristiwa berikutnya, saya mengalami seperti apa yang dikatakan oleh Arai di novel Sang Pemimpi: “Tuhan tahu, tapi menunggu”. Selalu ada jawaban untuk tiap harapan yang kita ucapkan. Ternyata Profesor Sawitri menjadi moderator pada sesi presentasi di ruangan yang saya datangi. Saya girang bukan kepalang. Selama sesi presentasi, hal yang saya pikirkan adalah bagaimana cara untuk menyapa Profesor Sawitri. Hingga presentasi berakhir, saya masih ragu untuk menegur beliau.
Saya menciptakan prasangka sendiri bahwa Profesor Sawitri adalah orang tidak suka basa basi. Lagi-lagi saya keliru. Beliaulah yang terlebih dahulu menegur kami (saat itu saya hadir bersama teman). Senangnya bukan main karena impian saya jadi kenyataan. Obrolan berikutnya membahas seputar aktivitas kami selama di Unpad dan tentunya dari mana kami berasal. Beliau tampak antusias saat disampaikan bahwa kami berasal dari Universitas Islam Indonesia. Sebelum mengakhiri percakapan, beliau memberikan kartu nama dan menyatakan bersedia jika suatu saat kami undang untuk memberikan kuliah di Jogja.
Saat hendak pulang ke Jogja, saya masih merasa “wow” dengan pertemuan tersebut. Apalagi terbuka lebar peluang untuk meminta beliau memberikan kuliah di Jogja. Rasanya tak ada mahasiswa psikologi yang ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk diberikan ilmu oleh Profesor Sawitri. Sebagai salah satu psikolog klinis generasi pertama di Indonesia (sejak tahun 1960-an hingga sekarang), tentunya pengalaman beliau ibarat telaga ilmu psikologi yang tak ada habisnya.
[caption caption="Makan malam bersama Prof Sawitri di Bakmi Kadin Jogja"]
Sekitar dua pekan setelah pertemuan itu, saya memberanikan diri untuk mengirimkan pesan singkat ke Profesor Sawitri. Beliau merespons dengan amat baik dan menawarkan untuk memberikan workshop di Jogja. Mendapat kabar seperti itu, saya dan teman-teman di Jogja bergegas membentuk kepanitiaan dan menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk acara tersebut. Ketika informasi workshop dipublikasikan, pendaftar membludak dari berbagai universitas. Panitia pun terpaksa menolak banyak calon peserta karena kuota yang tidak mencukupi. Profesor Sawitri benar-benar menjadi magnet bagi banyak praktisi dan ilmuwan psikologi di Indonesia.
Di luar banyaknya peserta yang mendaftar, saya sangat terkesan dengan cara komunikasi Profesor Sawitri. Meskipun beliau seorang guru besar, tak ada selintas pun kesan garang, angkuh, atau mengerikan yang terpatri pada sosoknya. Justru ucapan dan sikap beliau menunjukkan keramahan dan sikap rendah hati. Beliau adalah profesor yang tidak mengintimidasi lawan bicaranya dan sangat menghargai orang lain.
Beberapa kali saya menghubungi dan bertanya pada beliau lewat telepon, selalu dijawab dengan tuntas. Bahkan jika saat itu tak sempat mengangkat telepon, beberapa saat kemudian beliau akan balik menghubungi saya. Sebuah sikap yang, menurut saya, menunjukkan betapa beliau adalah orang yang rendah hati.