Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Menciptakan Komunitas Sehat Jiwa, Mungkinkah?

28 Mei 2015   21:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:29 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1432824069207963399

Saya cukup kaget sewaktu melihat tajuk utama harian KOMPAS edisi Kamis 21 Mei 2015. Biasanya halaman depan KOMPAS diisi oleh berita politik atau ekonomi. Apalagi hari-hari itu berdekatan dengan momen peringatan reformasi dan kebangkitan nasional. Tapi redaksi KOMPAS menurunkan berita utama dengan judul Masyarakat Terbelenggu Stres. Saya belum pernah melihat berita tentang kesehatan jiwa menjadi sorotan di halaman depan KOMPAS. Tentu awak berita KOMPAS punya maksud tersendiri dengan pilihan berita tersebut. Apa yang bisa kita lihat dari masalah kesehatan jiwa masyarakat?

[caption id="attachment_386083" align="aligncenter" width="300" caption="sumber http://print.kompas.com/baca/2015/05/21/Masyarakat-TerbelengguStres"][/caption]

Beberapa tahun terakhir persoalan kesehatan jiwa mulai intens dibahas dalam ruang publik, termasuk media massa dan media sosial. Bisa dilihat dari cukup seringnya psikolog diminta pendapatnya ketika ada kasus yang terkait masalah kejiwaan. Awalnya masyarakat menganggap konsultasi ke psikolog hanya bagi mereka yang punya gangguan kejiwaan berat. Tapi tren saat ini menunjukkan bahwa masyarakat juga datang ke psikolog untuk tujuan preventif.

Ratih Ibrahim, psikolog sekaligus pemilik biro psikologi Personal Growth, menyatakan bahwa penderita gangguan kejiwaan dari tahun ke tahun semakin bertambah dan usianya cenderung semakin muda. Hal tersebut ia paparkan dalam workshop yang diadakan oleh Ikatan Psikologi Klinis di Solo, awal Mei lalu. Selama menjalani praktik kerja profesi psikolog (PKPP) di puskesmas dan rumah sakit jiwa, penulis memang kerap menemukan klien berusia di bawah 15 tahun. Biasanya mereka dirujuk oleh guru atau dibawa sendiri oleh orang tuanya. Kebanyakan orang tua mengeluhkan prestasi anaknya di sekolah. Setelah dilakukan pemeriksaan psikologis, sebenarnya justru orang tua yang memiliki masalah. Lalu benarkah orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) semakin banyak?

Peningkatan rujukan maupun konsultasi psikologi di institusi kesehatan tidak langsung menjadi indikator memburuknya kesehatan jiwa di suatu wilayah. Bisa jadi masyarakat semakin paham fungsi dan peran psikolog. Masyarakat tipe ini biasanya datang dengan tujuan preventif. Mereka tahu beberapa gejala gangguan kejiwaan. Sebelum kondisi memburuk, mereka berinsiatif menemui psikolog. Sebagian lagi memang dirujuk ke psikolog dengan masalah kejiwaan yang kronis.

Apa yang telah dilakukan oleh Pemda Kabupaten Sleman, DIY, bisa dijadikan contoh yang bagus. Sejak 2006, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman bekerjasama dengan Fakultas Psikologi UGM telah menempatkan psikolog di tiap puskesmas. Langkah ini diikuti oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo. Satu orang psikolog puskesmas tentu tidak cukup untuk mengakomodasi kesehatan jiwa warga satu kecamatan yang bisa lebih dari 50 ribu jiwa. Salah satu solusi, psikolog menciptakan kader sehat jiwa untuk membantu tugasnya di level kecamatan. Satu kader berasal dari satu pedukuhan, sehingga ruang lingkup pengamatan masalah kejiwaan menjadi lebih kecil. Para kader diberikan pelatihan tentang gejala-gejala umum gangguan kejiwaan. Biasanya terkait gangguan kejiwaan yang lazim terjadi di masyarakat, seperti skizofrenia dan depresi. Lewat para kader, psikolog terbantu untuk memperoleh data masyarakat yang butuh penanganan psikologis. Secara tidak langsung, para kader menjadi perpanjangan tangan puskesmas untuk sosialisasi gangguan kejiwaan ke masyarakat.

Pertanyaan besar kemudian muncul: Jika sistem kesehatan mental di DIY sudah baik, mengapa prevalensi gangguan jiwa berat DIY tertinggi di Indonesia? Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (Riskesdas 2013) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, DIY dan Aceh menempati posisi teratas untuk kasus gangguan jiwa berat. Fakta ini mirip dengan peningkatan jumlah rujukan ke layanan psikologi baik di puskesmas maupun rumah sakit jiwa/umum. Dalam laporan Riskesdas halaman 126 alinea pertama disebutkan bahwa batasan operasional  yang dinilai adalah gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) yang dapat dikenali oleh masyarakat umum. Artinya, ada kemungkinan masyarakat DIY sudah paham gejala umum gangguan kejiwaan dan bersedia melaporkannya kepada petugas kesehatan setempat. Situasi ini memang saya temui saat PKPP di puskesmas. Kebanyakan klien tahu gejala-gejala umum gangguan kejiwaan berat seperti munculnya halusinasi dan waham (keyakinan yang salah).

Setelah menciptakan kader untuk lingkup desa atau kecamatan, tugas besar selanjutnya adalah menciptakan kader sehat jiwa di sekolah. Program ini bisa dilekatkan pada fungsi Unit Kesehatan Sekolah (UKS) yang sudah lebih dahulu berperan. Sudah seharusnya para siswa paham gejala gangguan jiwa yang lazim terjadi. Mereka juga dapat belajar pertolongan psikologis pertama pada orang dengan masalah kejiwaan. Informasi ini sangat berguna untuk mencegah masalah kejiwaan ringan berkembang menjadi lebih berat. Semua usaha ini dilakukan demi menciptakan komunitas masyarakat sehat jiwa dan bahagia. Impian saya, suatu hari nanti KOMPAS bisa memberikan tajuk utama berjudul Masyarakat Semakin Bahagia. Semoga saja.

@yudikurniawan27

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun