Indonesia merupakan sebuah Negara kepulauan yang dihuni oleh banyak suku bangsa yang beragam. Keragaman yang hadir di Indonesia turut memunculkan anggapan dari berbagai negara sekitar bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya dan mengilhami kekuatan persatuan. Luasnya wilayah Indonesia turut menjadi alasan menetapnya suku bangsa yang beragam dan menjadikan Indonesia menjadi Negara layak huni. Berbagai karunia yang tercipta tersebut tidak terlepas dari campur tangan tuhan yang maha esa yang telah mempersiapkan segala keindahan dalam keragaman di muka bumi secara terencana.
Dalam menghiasi berbagai keragaman tersebut, tuhan menhadirkan manusia di dalamnya dan dijadikan sebagai tokoh-tokoh yang diharapkan mampu untuk dapat menjaga lingkungan tempat tinggalnya, membangun tradisi yang baik antar sesamanya, dan berbaur dalam mewujudkan nilai-nilai kehidupan yang harmonis. Salah satu contoh besar dalam mewujudkan nilai kehidupan yang harmonis adalah dengan cara mewujudkan aktivitas gotong royong yang pada saat ini masih menjadi salah satu nilai sosial yang tidak dapat terpisahkan dengan kehidupan masyarakat, utamanya masyarakat yang berada di lingkungan pedesaan (Danurwindo et al., 2024). Secara terang-terangan aktivitas gotong royong menjadi salah satu kekuatan yang dimiliki oleh persatuan anggota masyarakat untuk dapat menjalin hubungan yang baik.
Di antara sekian banyaknya keragaman, kekayaan, dan keindahan. Hati penulis bersungkur di tanah pariri lema bariri yang merupakan sebutan untuk Kabupaten Sumbawa Barat. Penulis yang saat ini merupakan salah satu mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha di Provinsi Bali merasa terpantik untuk menelisik nilai-nilai pawongan yang baru dalam beberapa waktu ia pelajari dengan mengeksplorasi dan mengidentifikasi secara mendalam mengenai kearifan lokal yang berasal dari daerah di mana tempat penulis dilahirkan dan dibesarkan,
Pawongan merupakan salah satu dari ketiga unsur istimewa yang dimiliki oleh Tri Hita Karana. Melalui unsur pawongan, penulis menyadari kehadiran nilai keharmonisan dapat timbul dengan terjadinya hubungan yang erat antara manusia dengan manusia yang lainnya. Meninjau lebih dalam mengenai unsur pawongan, penulis kembali menelusuri tanah pariri lema bariri yang di dalamnya telah mengimplementasikan unsur tersebut. Keharmonisan yang terjalin antar sesama manusia mencuat dari adanya rasa simpati yang diwujudkan dengan rasa empati. Tidak cukup memuaskan apabila manusia hanya bersikap simpati atas keadaan dan kebutuhan dari manusia lainnya, dibutuhkan empati yang kuat dan perlu dijunjung dengan rasa ikhlas untuk dapat menyempurnakan setiap hubungan dan interaksi yang terjalin.
Salah satu bentuk keharmonisan yang masih bersemayam di tanah pariri lema bariri adalah tradisi bakalewang. Bakalewang merupakan salah satu bentuk tradisi gotong royong yang dilakukan oleh para masyarakat lelaki dan perempuan kepada rekan sesama masyarakat mereka yang sedang melangsungkan acara khitanan, perkawinan, hingga tahlilan. Meskipun kegiatan ideal dalam tradisi bakalewang didominasi dengan aktivitas memasak yang dilakukan oleh masyarakat perempuan, masyarakat laki-laki turut mengambil andil besar dalam tradisi ini melalui aktivitas membantu menyembelih hewan, memotong daging hewan yang telah disembelih, mengupas kelapa, hingga mempersiapkan kayu bakar yang akan dijadikan sebagai alat untuk masyarakat wanita memasak. Tidak hanya sebatas menyumbangkan tenaga yang dimiliki, masyarakat turut memberikan bantuan bahan baku makanan yang akan diolah dan disajikan kepada tamu undangan. Berbagai bantuan yang diberikan merupakan bantuan yang diberikan secara ikhlas tanpa mengharapkan balasan dari pemilik acara hajatan.
Berangkat dari asas gotong royong yang coba diimplementasikan dalam tradisi bakalewang, terhimpun sepenggal kata “saleng tulong” yang bermakna saling membantu untuk menyempurnakan penjelasan singkat mengenai tradisi bakalewang. Melanjutkan upaya pemberian bantuan yang diberikan, masyarakat yang memberikan bantuan turut membawa sebuah bantuan ke rumah pemilik acara hajatan. Bentuk bantuan yang diberikan disebut sebagai “panulung” yang berarti bantuan. Secara bersemangat para masyarakat akan membantu mengolah dan menyajikan hidangan sebaik dan selezat yang mereka mampu guna terselenggaranya acara hajatan yang khidmat.
Berikut ini merupakan runtutan persiapan menjelang acara bakalewang yang dilaksanakan oleh masyarakat Kecamatan Taliwang yang dimulai dengan basemula “permulaan”, rapat keluarga “rapat yang dilaksanakan bersama dengan pihak keluarga terdekat dan bertujuan untuk mengumpulkan dana dan mempersiapkan solusi atas kekurangan dari dana yang telah tersedia”, barajak rabaya “mengundang dan menginformasikan jadwal terselenggaranya acara hajatan kepada keluarga terdekat dalam waktu sedini mungkin”, pembentukan panitia “membentuk seksi-seksi yang akan bertugas dalam menyukseskan acara hajatan”, barajak “mengajak seluruh masyarakat desa”, melala “membuat minyak goreng”, dan barulah pelaksanaan bakalewang dilaksanakan dengan datangnya seluruh masyarakat yang telah diundang untuk datang membawa bantuan yang diharapkan mampu meringankan beban ekonomi pemilik hajat (Rasada, 2019).
Penulis menyadari bahwa tradisi bakalewang tidak hanya memuat nilai gotong royong di dalam pelaksanaannya, hal ini dibuktikan dengan nilai-nilai yang turut bermunculan dan menyempurnakan nilai utama dalam tradisi ini. Nilai-nilai tersebut terdiri dari nilai kepedulian, nilai solidaritas, dan nilai jasa. Nilai kepedulian merupakan nilai yang diwujudkan melalui rasa empati masyarakat sekitar yang secara tanggap datang menghadirkan bantuan kepada pihak penyelenggara hajat. Kepedulian memungkinkan setiap individu mampu untuk dapat masuk ke dalam kondisi yang sedang dialami oleh individu yang lain, memahami perasaan yang dialami oleh individu yang tengah berada dalam kondisi tersebut, dan turut berusaha berpikir untuk menghadirkan alternative solusi yang dapat dimunculkan berdasarkan kondisi yang sedang individu lain alami (Khiyarusoleh & Ardani, 2019). Nilai yang kedua, nilai solidaritas yang dibuktikan dengan sikap masyarakat yang mengamalkan sila ketiga pancasila “persatuan Indonesia”, masyarakat bersatu untuk dapat mempersiapkan, membantu, dan menyukseskan acara hajat. Dalam sudut pandang fungsionalitas suatu solidaritas, setiap manusia perlu memiliki sikap tersebut agar mampu memahami secara mendalam bahwa ia merupakan individu yang tidak dapat hidup sendiri, membutuhkan bantuan dari orang lain, dan membutuhkan orang lain sebagai pelengkap kehidupannya (Alwi, 2020). Ketiga nilai jasa, di mana segala bentuk persiapan dan pembentukan panitia sebelum acara hajat dilaksanakan, setiap seksi-seksi dalam kepanitiaan memegang andil besar dan bertanggung jawab secara penuh dalam melaksanakan tugas yang telah ditetapkan secara bersama.
Sebagai sosok calon pendidik, penulis sangat mengharapkan agar nilai kepedulian, solidaritas, dan penghargaan atas jasa untuk ditanamkan ke dalam relung jiwa peserta didik sedari jenjang sekolah dasar. Nilai-nilai ini dapat membantu membangun karakter dasar yang mendukung mereka menjadi individu yang peduli dan mampu hidup berdampingan dalam lingkungan sosial yang harmonis. Manfaat perwujudan nilai tersebut dapat digambarkan melalui hal-hal berikut: (1) melalui pengembangan nilai kepedulian, peserta didik belajar untuk memperhatikan dan membantu orang lain yang ada di sekitarnya. Mereka akan menjadi sosok yang peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain, baik teman sebaya maupun lingkungan sekitar. Selain dari itu, rasa kepedulian turut dapat ditumbuhkan melalui kegiatan kerja sama, membantu teman yang kesulitan, atau merawat lingkungan sekolah, (2) peserta didik yang diajarkan sikap solidaritas cenderung lebih mudah berkolaborasi dan mampu menghargai keragaman. Tatkala mereka dihadapkan untuk dapat bekerja dalam suatu kelompok, mereka dapat belajar untuk saling mendukung dan menyelesaikan tantangan secara bersama-sama. Hal ini akan turut membantu mereka memahami bahwa hasil yang baik membutuhkan kerja sama dan kontribusi yang baik dari semua pihak, (3) peserta didik belajar untuk mengapresiasi bantuan yang diberikan oleh orang lain dan tidak merasa sombong atas pencapaian yang mereka peroleh. Mereka akan semakin menyadari kehadiran peran penting dari berbagai pihak dalam mewujudkan keberhasilan mereka.
Demikianlah penjelasan singkat mengenai implementasi nilai pawongan yang ditemukan melalui tradisi bakalewang di tanah pariri lema bariri, Kecamatan Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penulis sangat mengharapkan kehadiran opini yang disajikan dapat memberikan pandangan yang lebih luas mengenai indahnya nilai keharmonisan yang dapat ditemukan di lingkungan sekitar yang senantiasa lahir atas kearifan lokal yang patut dijaga kelestariannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, A. (2020). Solidaritas Masyarakat Multikultural dalam Menghadapi Covid-19. Prosiding Nasional Covid-19, 33-36.
Danurwindo, A., Rahayu, M. H. S., & Ciptandriyo, P. A. (2024). Penguatan nilai-nilai gotong royong dalam masyarakat di Desa Jendi, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri. Academy of Education Journal, 15(1), 14-23.
Khiyarusoleh, U., & Ardani, A. (2019). Strategi guru meningkatkan kepedulian peserta didik terhadap korban Bullying. Jurnal Selaras: Kajian Bimbingan dan Konseling serta Psikologi Pendidikan, 2(2), 57-66.
Rasada, N. (2019). Nilai Sosial Bakelewang pada Masyarakat Suku Samawa di Desa Lalar Liang, Kecamatan Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Ilmiah Pendidikan Indonesia, 1(1), 84-93.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H