Lebih 30 tahun lalu, kami para bocil, begitu tergila -- gila menjadi penabuh bedug di sebuah Langgar di gang Jenitren. Gang tempat tinggal kami di kota Kediri. Bukan penabuh bedug yang memukul kentongan bertalu -- talu, karena merupakan wilayah kekuasaan almarhum Pak Mbang  untuk hanya dan selalu dia yang memukulnya, melainkan bedug sebagai dimulainya sholat. Cukup dua kali pukulan. Sekencang kencangnya. Dan, untuk bisa menerima tongkat pemukul kentongan dari Pak Mbang, kami harus berebut dengan teman -- teman.Â
Sebuah kebanggaan bisa memukul kentongan saat waktu sholat itu tiba. Bahkan kami pun rela bangun pagi menjelang tahrim dilantunkan, agar bisa memperoleh kesempatan memukul kentongan kebanggan itu. Hanya duhurlah kami absen, karena harus bersekolah di pagi hari. Efeknya adalah kami para bocil menjadi tertib untuk selalu mengikuti sholat berjamaah di langgar itu !Â
Pemandangan pengurus takmir yang kejam dan selalu menyabetkan kopiah atau sarung kepada anak -- anak yang dianggap "mengganggu" kekhusuan ibadah para jamaah sering terlihat. Padahal dampaknya proses pengenalan anak kepada tempat Ibadahnya tersebut akan sangat terganggu. Masjid, atau rumah ibadah lainnya, adalah rumah bagi kami, para bocil itu, untuk belajar kenal dengan penciptanya. Tempat untuk memperoleh informasi tentang agama yang tidak kami dapatkan dari rumah orang tua kami. Maka akan sangat menghina jika para bocil disendirikan, di pojok ruangan, dan terlarang bagi kami beraktivitas lain selain membaca kitab atau sholat
Dalam buku pedoman Gerakan Nasional Masjid Ramah Anak tahun 2017, Dewan Masjid Indonesia memberikan arahan untuk mendukung Masjid Ramah Anak (RMA) yakni agar diizinkannya masjid diluar sholat untuk kegiatan anak. Sehingga fungsi masjid dapat dioptimalkan lagi sebagai tempat pemahaman dan kesadaran bagi orang tua terkait kesejahteraan keluarga yang berbasis anak. Dalam pengembangan fungsi Masjid, peran orang tua dipertegas lagi untuk "membawa" anak - anak dalam kegiatan keseharian mereka di lingkungan masjid.
Masjid Ramah Anak juga menetapkan kebijakan anti kekerasan kepada anak oleh pengurus Masjid. seperti memukul, menampar dengan tangan/cambuk/tongkat/ikat pinggang/sepatu/balok kayu, menendang, melempar, mencubit, menggigit, menjambak rambut, menarik telinga, memaksa anak menempati posisi yang tidak nyaman dan panas; maupun kekerasan psikis seperti menghina dan tindakan lain yang merendahkan martabat anak (hal 27)
Dunia anak adalah dunia bermain. Tak terkecuali di rumah Ibadah. Sudut -- sudutnya adalah playground. Kebahagian kami ada disitu. Barangkali kebahagian itu belum sampai "mengenal" Tuhan, tetapi berada di "rumah"Nya saja bagi kami sudah cukup.
Kebengalan kami, dan para bocil lain adalah, mengAminkan Imam saat selesai membaca Al Fatihah dengan nada yang panjaaaangggg. Atau terbatuk -- batuk bersama - sama, meski sebelumnya tidak. Di masa itu, perbuatan itu akan mendaratkan sarung atau kopiah di badan. Sakit, dan tentu, malu. Â Ada dendam untuk besok dengan perbuatan lebih gila lagi. Namun Pak Mbang tak marah, kalau kami menggila seperti itu. Ia cukup mengancam, siapa yang batuk, ndak usah ikut antri mukul !
Pendekatan "kekerasan" itu haruslah diakhiri. Rumah ibadah adalah tempat mendidik pemeluknya agar lebih religius dengan menyediakan fasilitas -- fasilitas yang mendorong para bocil mendekat ke arahnya. Tempat yang sejuk ber ac misalnya, akan membuat kami untuk barangkali sekedar ngadem di bawahnya sambil melihat jamaah lain rukuk.
Di salah satu masjid di Jalan Simolawang, Kota Surabaya, setiap Jumat ada beberapa Jamaah yang mengantarkan makanan ringan yang akan dibagikan setelah Sholat Jumat selesai. Beberapa bocil rupanya telah menentukan lokasi strategis agar nanti selesai  salam mereka berebutan mengambilnya. Masjid yang dalam keadaan "normal" dihadiri dengan jamaah sesuai dengan kapasitas jamaahnya, saat itu menjadi penuh. 2 lantai malahan. Takmir masjid sebetulnya telah melokalisir mereka untuk sholat di lantai 2, sehingga tidak terlalu mengganggu jamaah lainnya. Maka saat imam selesai mengucapkan salam, beterbanganlah laksana ninja menunju tempat pembagian kue itu.Â
Mendekatkan masjid ke sanubari anak adalah cara untuk menciptakan generasi yang selalu dekat dengan masjid. Tempatnya yang nyaman adalah magnet yang luar biasa. Di Masjid Al Hikmah Tanggulangin, setiap jam 3-5 sore adalah adalah tempat yang sangat disukai oleh anak - anak di perumahan itu. Ini terjadi karena adanya pedagang asongan khusus anak - anak di areal luar masjid saat pembelajaran TPQ. Mereka justru datang lebih awal untuk bisa melihat - lihat makanan atau mainan apa saja yang dijual hari itu.
Masjid juga menyediakan minuman mineral dingin, coklat atau kopi susu yang bisa dikonsumsi oleh siapapun selepas sholat Jamaah. Â Ada saja barangkali anak - anak yang sengaja tidak mengikuti TPQ atau sholat, tetapi sesungguhnya "kedekatan" mereka dengan masjid telah dibangun. Lantunan quran, atau tausiyah akan mereka rekam dalam memori, meski itu dilakukan dengan bermain - main.
Terbukti pengalaman dengan Pak Mbang 40 tahun silam, sampai saat ini juga tak pernah lekang dalam ingatan. Nadanya saat mengimami sepertinya terus terngiang di telinga, meski ia telah berpulang ke rahmatullah 20 tahun lalu.
Sesungguhnya, di sekolah, Masjid adalah tempat favorit kami untuk berlindung sejenak dari beberapa guru mata pelajaran tertentu. Kami bisa "sholat" bermenit - menit sambil menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke kelas tanpa dikenai sanksi. Â
Penutup
Dimasa pertumbuhan menuju perilaku kesalehan yang sesungguhnya, rumah ibadah tidak seharusnya dikelola dengan menunjukkan perilaku kasar kepada anak - anak dengan alasan apapun. Justru itulah saat yang tepat untuk memperbaiki perilaku mereka agar bisa menempatkan diri di rumah Tuhan tersebut. Terpenting bagi jiwa anak adalah mendekatkan diri sejak dini di tempat itu. Kelak, saat Tuhan memberikan hidayahnya, merekalah yang akan memakmurkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H