Kata-katamu yang terakhir kali begitu mengiris. Tidak ada yang berdarah. Tapi sakit hingga ke relung hati yang terdalam. Entah apakah dalam pikiranmu tentang aku saat itu. Tanganmu pun mengepal menahan kuat dorongan untuk menampar mukaku. Namun mulut yang selalu terkatup itu akhirnya tak kuasa menembakkan tiga meriam kata yang maha dahsyat ledakannya.
"Dasar anak durhaka!"
Tak ada lagi perbincangan setelah itu. Dan aku merenung. Mungkin benar aku ini memang anak durhaka. Tak pernah dalam hidupku membuat ibu bahagia. Untuk me jengukmu ketika sakit pun tidak bisa. Mudik lebaran tidak pernah datang. Tidak seperti anak satunya, yang sudah sukses, berlimpah harta, pangkat dan jabatan. Bahkan bisa membiayai ibu naik haji. Selalu datang tiap mudik lebaran. Mentraktir makan di restoran mewah dan jalan-jalan ke tempat-tempat wisata yang menyenangkan.
Pantas saja hidupku selalu sial. Ini mungkin yang disebut dengan terkena kutukan seorang ibu. Dulu pernah beberapa kali ditabrak mobil, diserempet motor, jatuh dari tangga dan didatangi penagih hutang dan mengancam membawa barang-barang di rumah. Tak ada rasa tenang dan selalu gelisah tiap malam.Â
Dipikir-dipikir lagi, sebenarnya hidup seperti ini juga bukan kemauanku. Hidupku tak pernah memaksakan diri. Mengalir begitu saja. Sekolah ya sebisanya. Kerja ya sedapatnya. Lha wong kemudian dimutasi ke luar daerah juga bukan kehendak sendiri, cuma "manut" dalam rangka bertahan hidup. Resikonya jauh dari orang tua, jauh dari saudara. Merantau sebatang kara.
Mungkin memang aku yang keterlaluan. Inget saja kata temen yang bilang," Penjual pecel lele dijalan saja, bila mudik setahun dua kali, masa kamu hampir 5 tahun gak nengok ibu di kampung halaman?"
Aku mikir lagi.
Iyah mungkin karena kebanyakan mikir juga. Takut kalau dibuat mudik trus habis duitnya. Masih gak yakin dengan rezeki Tuhan yang katanya tidak akan tertukar.
Yach.... imanku memang rendah serendahnya. Apalagi sudah dikutuk jadi anak durhaka. Entah apa lagi kesialan yang akan menimpa. Entah kenapa sudah semakin terbiasa menghadapi itu semua.
Tidak seperti anak-anak lainnya.
Mungkin memang aku bukan anakmu yang pantas dibanggakan.