Istilah caregiver umumnya sering digunakan untuk menggambarkan orang yang melakukan perawatan pada orang yang mengalami keterbatasan. Menurut Awad dan Voruganti, pengertian dari caregiver adalah individu yang secara umum merawat dan mendukung individu lain (pasien) dalam kehidupannya. Beberapa pustaka menyebutkan tugas seorang caregiver adalah sebagai emotional support, merawat pasien(memandikan, memakaikan baju, menyiapkan makan, mempersiapkan obat), mengatur keuangan, membuat keputusan tentang perawatan dan berkomunikasi dengan pelayanan kesehatan.
Secara formal, caregiver merupakan perawatan yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun tenaga professional lainnya yang diberikan dan melakukan pembayaran. Sedangkan caregiveryang tidak formal merupakan perawatan yang dilakukan di rumah dan tidak professional serta tanpa melakukan pembayaran seperti keluarga penderita seperti istri/suami, anak perempuan/laki-laki, dan atau keluarga lainnya. Beberapa jenis caregiver yang sudah ada masyarakat antara lain : caregiver diabetes, caregiver stroke, caregiver lanjut usia(lansia), caregiver Alzheimer, dan caregiver skizofrenia. Namun khusus pada lansia, caregiver tentunya harus mengetahui bahwa kondisi penderita biasanya dikarakteristik oleh adanya multipatologi sehingga tidak hanya care pada satu penyakit saja tapi juga beberapa penyakit yang menyertainya.
Penuaan adalah proses fisiologis yang menyebabkan terjadinya kapasitas fungsional dan perubahan komposisi tubuh. Peningkatan usia dapat menyebabkan risiko terjadinya penyakit jantung, diabete tipe 2, hipertensi, kanker dan beberapa penyakit degenerative seperti osteoporosis dan osteoarthritis. Definisi individu lanjut usia (lansia) atau older adult menurut American College of Sport Medicine (ASCM) adalah individu yang berusia lebih dari atau sama dengan 65 tahun dan juga individu yang berusia 50-64 tahun tapi memiliki hambatan fisik yang mengganggu sistem gerak, kebugaran dan aktivitas fisik.
Selain multipatologi, invididu lansia juga mengalami penurunan daya cadangan faali, perubahan gejala dan tanda penyakit yang klasik, gangguan status fungsional dan gangguan nutrisi, gizi kurang atau gizi buruk. Beberapa permasalahan yang sering dijumpai adalah terjadinya inkontinensia urin, imobilisasi dan ulkus dekubitus, instabilitas, jatuh dan patah tulang, perubahan status mental, gangguan tidur, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan regulasi suhu, infeksi, konstipasi serta lemah.Â
Masalah Pasien Lansia Terkait Obat
Data penelitian menyebutkan bahwa penderita lansia mengonsumsi hampir 30% dari total konsumsi obat yang ada, padahal populasinya hanya sekitar 13%. Hal ini dikarenakan oleh jumlah obat yang digunakan tiap pasien rata- rata 6 macam obat ditambah obat over the counter(otc)/obat bebas rata-rata sebanyak 3 macam obat per pasien. Permasalahan pada penderita lansia yang terkait dengan obat meliputi : masalah farmakokinetika, farmakodinamika, ketidakpatuhan(non-adherence), reaksi obat yang tidak diharapkan(adverse drug reaction), penggunaan berlebihan(overuse), penggunaan kurang(underuse), dan masalah penggunaan obat bebas/obat alternative lainnya.
Obat yang dikonsumsi oleh penderita lansia, secara farmakokinetika mengalami nasib yang berbeda dibandingkan pada usia dewasa umumnya. Perjalanan obat didalam tubuh ditandai adanya penurunan kandungan air didalam tubuh (total body water) disebabkan turunnya masa otot tubuh dan naiknya kandungan lemak tubuh sehingga terjadi perubahan volume distribusi. Kadar obat di dalam darah akan mengalami peningkatan bila volume distribusi mengalami penurunan, demikian pula dengan waktu paruh obat yang larut dalam lemak akan meningkat seiring dengan peningkatan lemak tubuh. Sedangkan untuk aborpsi obat tidak terlalu dipengaruhi oleh usia, begitu pula dengan proses asetilasi dan konjugasi tidak berubah bermakna. Metabolisme oksidatif yang melalui CYP450 berubah sehingga menyebabkan kliren penderita lansia mengalami penurunan. Fungsi ginjal yang berubah bisa menyebabkan toksisitas obat bila tidak ada penyesuaian dosis obat. Begitu pula dengan adanya perubahan sensitivitas reseptor, yang bisa menyebabkan obat yang seharusnya berefek menjadi tidak berpengaruh atau malah sebaliknya menjadi sangat toksik.
Ketidakpatuhan terhadap terapi menjadi  masalah rumit pada penderita lansia. Umumnya mereka tidak mengerti aturan pakai obat, apalagi ketika pasien rawat inap yang akan pulang dari rumah sakit biasanya mendapat obat baru dengan rejimen obat yang komplek dan banyak jumlahnya. Banyak dijumpai penderita lansia tidak mampu menggunakan obat yang ada, meskipun ada juga yang mampu tetapi terkadang mengalami ketakutan karena sadar efek samping obat yang diminumnya. Sebagian penderita tidak faham dengan manfaat obat dan sebagian lagi mengurangi jumlah obat yang diminum karena masalah keuangan. Permasalahan ketidakpatuhan penderita akan menyebabkan tidak optimalnya terapi yang diberikan dan kemudian berakibat luaran klinik individu lansia menjadi tidak tercapai dan ujung-ujungnya kualitas hidupnya terganggu.
Interaksi obat menjadi penyebab paling sering kejadian reaksi yang tidak diinginkan pada penderita lansia mengingat banyaknya jumlah obat yang diminum. Sebagai contoh adalah interaksi quinolon dengan sukralfat, warfarin dengan banyak obat dan antihipertensi golongan ACE-Inhibitors dengan antihiperglikemia golongan sulfonylurea. Selain interaksi obat dengan obat, bisa juga terjadi interaksi obat dengan penyakitnya yang menyebabkan perburukan atau malah terjadi gejala lain yang tidak diharapkan. Sebagai contoh pada pasien parkinson, risiko untuk mengalami drug induced confusion menjadi lebih tinggi, golongan obat Non Steroidal Anti-Inflamatory Drugs(NSAIDs) bisa memperburuk CHF, obat dekongestan dan kolinergik menyebabkan retensi urin pada pasien BPH, dan obat yang mengandung kalsium, antikolinergik, golongan penyekat kanal kalsium memperburuk konstipasi. Beberapa juga bisa menyebabkan penurunan fungsi kognitif individiu dan bahkan ada juga obat yang berisiko menyebabkan jatuh atau roboh pada penderita lansia. Sebagai contoh, pasien demensia rentan mengalami delirium akibat obat, sementara obat benzodiazepine long acting, SSRI dan TCA berisiko tinggi menyebabkan jatuh.
Multipatologi pada penderita lansia menyebabkan terapi farmakologi menjadi perlu banyak obat, namun terkadang banyak obat hanya menggambarkan sebuah prescribing cascade,misalnya pada individu lansia yang menderita osteoarthritis mendapatkan obat golongan NSAIDs, kemudian karena diketahui efek samping NSAIDs bisa menyebabkan gangguan/luka pada saluran pencernaan maka diresepkan obat golongan H2RAs blocker yang ternyata obat golongan ini menimbulkan efek delirium sehingga juga diresepkan obat haloperidol untuk mengatasi deliriumnya. Fenomena prescribing cascade sering dijumpai dan menjadi penyebab terjadinya polifarmasi.
Permasalahan lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya obat yang seharusnya diberikan, misalnya penderita dengan pasca stroke iskemik tidak mendapatkan aspirin, penderita HT sistolik tidak ada antihipertensinya dan penderita atrial fibrilasi dengan antikoagulan. Begitu pula dengan adanya interaksi obat dengan makanan atau obat herbal, menjadi penyebab perburukan terapi pada penderita lansia. Obat warfarin misalnya, kontraindikasi dengan makanan yang banyak mengandung vitamin K, fenitoin kontraindikasin dengan makanan yang bisa memetabolisme vitamin D, metotreksat kontraindikasi dengan metabolism folat, digoksin menyebabkan anoreksia, dan golongan ACE-Inhibitor ternyata menyebabkan perubahan rasa kecap saat makan.